10

23.7K 875 28
                                    

Zafia sampai di kelas dan sudah mendapatkan Dinda duduk di sebelah kursinya. Zafia segera menghampiri Dinda dan meletakkan tasnya di kursi samping Dinda.

"Din?" Zafia mengguncang lengan Dinda. Hanya deheman yang Zafia dapat, karena Dinda tengah asik dengan ponselnya.

"Ish, jangan buat aku iri, dong. Sini bentar, kenapa? Aku mau tanya," ucap Zafia mengguncang lengan Dinda lebih kencang.

"Iya-iya, kenapa?" Dinda meletakkan handphonenya dan menghadap sepenuhnya pada Zafia.

"Fikri kemarin memang tak masuk, ya? Tadi aku nampak dia pakek tongkat, kakinya patah. Apa itu karena Abim?" tanya Zafia.

"Sebentar, Fikri, ya?" Dinda mengetuk dagunya pelan, berfikir. "Ah, iya. Saat Pak Alfa per--"

"Ini bicarakan Fikri, bukan Pak Alfa. Kenapa kamu jadi suka sekali bicarakan orang itu, sih?" tanya Zafia memutar bola mata malas.

"Iya, karena memang ada hubungannya sedikit. Ketika Pak Alfa pertama mengajar kita untuk praktek olahraga, bukannya kita berusaha kabur saat itu? Nah, kita gagal, bukan?" Zafia menerawang jauh ke atap-atap kelasnya, kemudian mengangguk.

"Kau saat itu marah-marah karena rencanamu digagalkan Pak Alfa, bukan? Kau marah sama dia dan bandingkan dia sama wali kelas sekaligus guru olahraga kita dulu karena guru yang dulu bolehin kita kabur, bukan begitu?" Zafia mengangguk lagi. Dia belum mengerti arah pembicaraan Dinda.

"Di situlah masalahnya. Fikri yang mengolok-olok kau terus kau tak terima, kau bilang akan balas dendam dengannya, bukan? Nah, itu. Yang balas dendam Bima. Kau menyuruh Bima untuk menghajar Fikri?" tanya Dinda menautkan alisnya.

"Aku? Ya, tidaklah. Untuk apa aku minta bantuan dia kalau aku bisa lenyapkan Fikri dengan tanganku sendiri? Jadi, yang buat kaki Fikri patah, memang Abim?" tanya Zafia memastikan.

"Ya, begitulah." Dinda menggidikkan bahunya.

"Kau tahu dari mana? Kenapa tak pernah mengatakan apapun padaku?" tanya Zafia bingung.

"Aku tahu dari Fikri sendiri. Kata dia saat aku jenguk dia di hari ke tujuh dia tidak masuk sekolah, katanya pengawalmu yang telah buat dia seperri itu."

"Terus? Orang tuanya terima?" tanya Zafia lagi.

"Kau tak tahu siapa Papamu? Mana berani ortu Fikri melawan orang penting seperti Papa kau. Tapi, kalau Fikrinya jangan di tanya. Sampai kodok beranak jerapah juga, dia tak akan berhenti mengganggumu," ucap Dinda. Zafia hanya mangut-mangut.

Saat bayangan Alfa melintas di fikirannya, Zafia sontak mengingat sesuatu yang penting yang harus di beri tahu ke Dinda.

"Eh, Din?"

"Apa lagi?" Dengan malas Dinda kembali menghadap ke Zafia.

"Pak Alfa. Pak--"

"Tadi kau memintaku untuk berhenti membicarakan pak Alfa. Tapi kenapa sekarang kau yang memulai pembicaraan tentangnya? Oh, atau kalian melakukan malam pertama semalam? Bukannya kau pingsan?" tanya Dinda menggoda Zafia.

Mendengar pertanyaan terakhir Dinda, pipi Zafia seketika memerah. Dia ingat sekali saat terakhir kali pingsan di rumah sakit, Zafia pingsan akibat melihat darah di tangannya.

"Hey, pipi kau memerah? Apa kau sudah melakukan malam pertama itu?" tanya Dinda menyeringai.

"Heh, malam pertama apa? Malam pertama aku tinggal di rumah dia? Malam yang biasa-biasa saja. Bedanya, saat bangun aku--"

"Kenapa? Baju kau sudah terlepas dari tubuh kau?" Dinda lagi-lagi menyeringai.

"Sembarangan, kau!" Zafia menyentil kepala Dinda lumayan keras, mampu membuat sang empu meringis. "Bukan itu."

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang