29

13.2K 614 2
                                    


Happy Reading🍂

"Ekhem. Bukannya tadi kita tengah membahas Tisya? Kenapa sekarang berbalik membahas perasan saya pada Zafia? Jadi ... apa kata dokter mengenai Tisya?" tanya Alfa mengalihkan topik pembicaraan.

Kartika dan Bima saling pandang. Bima mengatakan lewat tatapan matanya untuk tidak perlu membahas perasaan Alfa sekarang. Bukan waktu yang baik menurut Bima.

"Hmm, begini, Bang Alfa, dokter mengatakan kalau kondisi Tisya sangat drop. Apa Tisya sebelumnya memang belum mendapat pertolongan yang lebih serius? Maksudku, apa Tisya belum diperiksa oleh dokter spesialis sebelumnya?" tanya Kartika.

Alfa menatap lantai rumah sakit. "Dokter sudah menyarankan untuk mengikuti proses kemoterapi dan cuci darah. Karena itulah cara agar Tisya bertahan hidup lebih lama."

"Apa dokter tidak mengatakan kemungkinan untuk sembuhnya Nona Tisya, Tuan?" tanya Bima ikut bersuara.

"Ada." Alfa menengadahkan kepalanya. "Ada dokter yang bisa membantu penyembuhan Tisya. Sayangnya, dokter itu tidak ada di tempat. Lebih tepatnya dokter itu tengah mengikuti pembelajaran untuk menjadi dokter spesialis lebih handal di Amerika."

"Tidak ada yang memberitahukan kapan dokter itu kembali?"

"Satu bulan lagi. Daftar tercepat dokter itu kembali ke Indonesia tepat satu bulan lagi. Dan kemungkinan untuk sembuhnya Tisya semakin tipis," ucap Alfa mendesah kecewa.

"Kenapa Tisya tidak dibawa ke Amerika saja, Bang? Itu lebih baik, bukan?" tanya Kartika mengerutkan keningnya.

"Dia menolaknya."

"Alasannya?" tanya Kartika lagi.

"Menyusahkanku. Entah apa yang difikirkan Tisya untuk dirinya sendiri. Aku pernah menawarinya, memaksanya bahkan. Tapi jawabannya tetap sama. 'Aku tidak ingin membuang uangmu sia-sia, Mas Alfa. Aku sudah bersyukur bisa bersamamu dan Syifa dan hari-hari terakhirku.' Aku bingung dengannya," ucap Alfa menatap nanar pintu ruang rawat Tisya.

"Hmm, Bang Al, sejak kap--"

Pertanyaan Kartika tertunda kala beberapa dokter berlari tergopoh-gopoh menuju ruangan Tisya. Alfa, Kartika, dan Bima langsung saja berdiri dan mendekati dokter-dokter itu.

"Apa yang terjadi, Dok?" tanya Alfa dengan wajah cemas.

"Alat pasien di dalam berbunyi, menandakan ada sesuatu yang terjadi di dalam. Sepertinya kondisi pasien semakin menurun. Kami permisi dulu," ucap salah satu dokter itu. Mereka --yang jumlahnya sekitar empat dokter-- langsung berlari memasuki ruangan Tisya.

"Ada apa? Kenapa? Apa yang terjadi dengan Tisya?" gumam Alfa bertanya pada dirinya sendiri. Dia mendekat ke arah pintu kaca ruangan Tisya. Para dokter tengah mengecek kondisi Tisya. Denyut nadinya, belalai-belalai yang menempel di tubuhnya.

Bima menarik pundak Alfa, membawanya duduk dan menenangkannya. "Nona Tisya pasti baik-baik saja, Tuan. Berdoalah, semoga semuanya berjalan dengan lancar."

Alfa hanya mendesahkan nafas cemas. Semoga semua baik-baik saja. Semoga Tisya bisa melewati semua ini. Semoga, semoga, dan semoga.

Setengah jam kemudian. Salah satu dokter keluar dari ruangan Tisya. Alfa segera berdiri, diikuti Bima dan Kartika.

"Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Alfa dengan nafas memburu. Dia panik. Sangat.

"Pasien sudah sadar, Tuan. Beliau ingin menemui Anda," ucap dokter paruh baya itu dengan sorot mata prihatin.

Tanpa menunggu diminta dua kali, Alfa langsung berlari memasuki ruangan Tisya. Tiga dokter di dslam tengah sibuk melepas alat-alat yang membantu kehidupan Tisya.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang