38

12.9K 610 6
                                    


Happy Reading 🍂

"Kalian berdua bareng dengan kami atau mau pulang sendiri?" tanya Zafia  pada Dinda.

Mereka bertiga --Zafia, Dinda, dan Syifa-- tengah berjalan ke arah parkiran bandara di Jakarta. Pesawat mereka baru saja tiba di bandara lima menit lalu. Kini Alfa dan Denzi tengah mengambil barang mereka di bagasi pesawat.

"Kata Bang Denzi kami akan naik taxi aja, Fi. Lagian nanti kita bertemu di rumah baru 'kan? Ah, baik kali Om Wisnu mau membelikan rumah yang dekat dengan rumahmu dan Bang Alfa," ucap Dinda sambil menangkupkan tangannya, tersenyum senang.

"Iyalah, Papa Zafia gitu kan," ucap Zafia dengan nada bangga. Ia kini tengah menggendong Syifa yang terlelap dipelukannya dengan tangan melingkar di lehernya.

"Zafia."

Zafia dan Dinda sama-sama menoleh ke belakang kala suara itu memanggil Zafia. Alfa berlari kecil mendekati Zafia dan Dinda dengan tangan yang hanya membawa satu koper.

"Bang Alfa, ke mana Bang Denzi?" tanya Dinda yang tak mendapati Denzi di sekitar Alfa.

"Itu." Alfa menunjuk orang yang tengah susah payah membawa sekitar tiga koper dan tas punggung yang lumayan besar di punggungnya.

"Kenapa Denzi membawa barang kita? Kak Al kenapa tak membantunya?" tanya Zafia sambil membenarkan letak kepala Syifa.

"Itu hukuman dan hadiah buat dia," jawab Alfa dengan entengnya. Dia berjalan ke arah Zafia dan mengusap kepala Syifa yang tertidur dengan nyenyak.

"Hukuman dan hadiah?" tanya Zafia dan Dinda dengan kompak.

Alfa menganggukkan kepalanya. "Hukuman karena dia berani memberi Zafia handphone tanpa sepengetahuanku. Dan hadiah karena aku sudah dengan memberitahu langsung kalau aku suami Zafia," ucap Alfa.

"Eh?" Zafia dan Dinda saling pandang dengan tatapan bingung.

"Huh ... huh ... huh ..." Denzi terduduk di lantai parkiran sambil meregangkan ototnya. Nafasnya terdengar tidak teratur karena membawa barang yang lumayan banyak itu tanpa bantuan siapapun dan alat apapun --karena Alfa melarangnya.

"Waah, Denzi kasihan," lirih Zafia sambil memandang kasihan Denzi.

"Kasihan, kasihan. Kau jangan mengejekku dengan ucapanmu, Fi. Ini semua karena suami kau. Padahal aku sudah tahu dari Dinda kalau kau istri dia. Ada aja dia bilang memberiku hadiah dan hukuman. Yang ada hadiah pegal yang aku dapat," gerutu Denzi masih dengan terduduk di lantai.

"Bang, kali ini kuakui kau hebat. Tiga koper? Waw," ucap Dinda sambil mengacungkan kedua jempolnya ke arah Denzi.

"Diamlah. Bawa koper kau, tuh. Entah apa isi koper-koper ini, ah. Buang-buang tenagaku," gerutu Denzi sambil melepaskan tas punggungnya. "Nih, bawa juga punyamu."

"Hey? Yang benar aja. Kau memintaku membawa barang-barang berat ini? Aku kan cewek, tak mungkin bawa barang seberat ini, Bang Zi," ucap Dinda dengan wajah memelas.

"Ini semua gara-gara kau. Kalau kau tak memberi tahuku dan Fikri tentang Zafia istrinya Bang Alfa, pasti ototku tak akan pegel macam sekarang," gerutu Denzi sambil memandang jengkel Dinda.

"Ooh, jadi kau yang memberitahu Denzi dan Fikri? Jadi Fikri juga kau beritahu?" tanya Zafia sambil memandang Dinda.

Dinda menggaruk kepalanya. "Hmm, sebenarnya Fikri yang memaksa untuk diberitahu hubungan kau dan Bang Alfa. Ya aku jawab jujur aja. Aku kan masih polos, jadi jangan memaksaku untuk berbohong," ucap Dinda cengengesan.

"Polos-polos pala kau," ketus Denzi mulai berdiri.

"Kalian pulang dengan kami atau naik taxi?" tanya Alfa mengambil Syifa dari gendongan Zafia.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang