Happy Reading!"Zaf ..."
"Jangan sentuh aku! Aku benci Kak Al! Aku 'tak mau dengan Kak Al lagi. Kak Al selingkuh! Aku benci lelaki selingkuh! Pecundang!" teriak Zafia sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.
"Nak, dengerin dulu penjelasan Alfa. Jangan ter--"
"Nggak! Aku nggak mau! Pergi! Kalian semua pergi! Arrgghh ... aku mati! Aku nggak mau mati. Tolong ...!" Zafia berteriak histeris dengan bayangan kecelakaannya beberapa hari lalu memutar di memori otaknya.
"Zafia, kamu kenapa, Sayang? Kepala kamu sakit? Apa yang harus Kakak lakukan, Zafia? Jangan begini," ucap Alfa sambil memegangi lengan Zafia yang terus meronta.
"Biar Mama panggil Dokter, Nak. Kamu jaga Zafia, ya?" Alfa menganggukkan kepalanya dengan masih memegangi Zafia.
"Pergi! Aku akan mati! Tolong ... tolong jauhkan motor itu dariku! Aku nggak mau mati! Aku akan tertabrak! Tolong ...!" Zafia terus berteriak sambil meronta dari pegangan Alfa.
"Jangan begini, Sayang. Kakak mohon," lirih Alfa sambil mendekap kepala Zafia.
"Kak Al jahat! Pergi! Kak Al ingin membunuhku! Kak Al pasti ingin membunuhku dengan orang itu! Pergi! Aku akan biarkan Kak Al dengan wanita itu, tapi biarkan aku hidup. Pergi! Jangan sentuh aku! Pergi ...!"
Zafia mendorong Alfa dengan kuat sampai tubuh Alfa terhuyung ke belakang. Zafia dengan bebas mengacak-acak kasur tidurnya hingga selimutnya jatuh ke bawah, begitu pun bantalnya. Untunglah 'tak lama dari itu Dokter datang bersama dua suster di belakangnya.
"Dokter, kenapa istri saya jadi begini? Apa yang terjadi, Dok?" tanya Alfa kembali mendekat ke arah Zafia.
"Keluar dulu, Tuan. Agar kami bisa mengecek kondisi pasien," ucap Dokter itu juga mendekati Zafia.
"Aku akan mati. Darah? Kepalaku berdarah. Aku akan mati. Aku akan menemui Mama. Mati? Aku tidak mau mati," racau Zafia sambil memegangi kepalanya kemudian berpindah lagi memeluk lututnya. Nada suaranya sudah terdengar rendah.
"Dokter, lakukan yang terbaik untuk istri saya," ucap Alfa. Dengan berat hati kaki itu melangkah keluar dari ruangan Zafia.
***
"Seperti yang saya katakan sebelumnya. Jika pasien tidak kehilangan memori ingatannya, kemungkinan besar Pasien akan mengalami trauma berat. Terlebih saat melihat orang terakhir sebelum kecelakaan itu terjadi. Mungkin saja, orang terakhir itu ia anggap menjadi penyebab kecelakaannya."
Alfa tertunduk dengan air mata jatuh dari pelupuk matanya. Dia membenarkan ucapan dokter. Memang dialah penyebab kecelakaan Zafia.
"Anak saya masih bisa sembuh 'kan, Dok?" tanya Tari dengan mata berkaca.
"Insya Allah bisa, Nyonya. Pasien sebaiknya cepat dibawakan kepada ahli psikolog. Saran saya, setelah kondisi pasien stabil dan bisa beraktifitas lebih baik, Pasien segera dibawa ke psikolog terbaik," ucap Dokter.
"Ahya, satu lagi untuk himbauan ke depannya. Sebelum melakukan terapi kepada dokter psikolog, sebaik suami pasien tidak menemui pasien terlebih dahulu. Maaf sebelumnya, Tuan. Saya hanya ingin menutup kemungkinan buruk yang akan terjadi. Selebihnya, saya permisi dulu."
Semua mata menatap Alfa. Iba. Tentu saja tatapan itu yang Alfa dapatkan. Alfa bangkit dari duduknya dan berjalan ke ruangan Alfa. Tidak! Ia tidak akan masuk. Ia hanya melihat Zafia dari pintu kaca yang sedikit buram.
'Melihatmu dari sini saja sudah cukup, Zaf. Yang penting kamu sudah mau membuka matamu kembali,' gumam batin Alfa.
Tari menepuk pundak menantunya, "Kembalilah dulu ke kamarmu, Nak. Wajahmu semakin pucat. Kamu mau menemani Zafia terapi untuk menghilangkan traumanya, 'kan?"
Alfa menoleh ke arah Tari. Kemudian mengangguk, "Jaga Zafia untuk Alfa, Ma. Jangan jelaskan apa pun padanya meski trauma Zafia sudah hilang. Alfa ingin Zafia mendengar penjelasan itu dari Alfa langsung."
Tari mengangguk, begitu pun yang lain saat mereka ditatap Tari. Kemudian Alfa berbalik dan berjalan pelan menuju kamar rawatnya.
"Biar saya antar, Tuan," tawar Bima sambil mengikuti Alfa.
Alfa menggeleng lemah. "Aku ingin sendiri, Bim."
Akhirnya Alfa hilang dari pandangan semuanya. Tari menghela nafas sesaat, kemudian menoleh ke arah para sahabat putrinya. "Ingat pesan Alfa. Jangan ada yang menceritakan sesuatu pada Zafia."
Semuanya serentak mengangguk. Kemudian Tari langsung membuka pintu kamar Zafia dan mendapati putrinya tengah memandang kosong langit-langit ruangan. Sepertinya Zafia sudah diberikan obat penenang.
"Masih pusing, Sayang?" tanya Tari sambil mendekati Zafia. Zafia menggeleng pelan dengan senyum tipis di wajahnya.
Semua orang bercengkerama bersama Zafia. Membuat Zafia seolah-olah melupakan kejadian sebelumnya.
Tak lama dari itu, para lelaki izin pergi untuk melakukan tugasnya. Mereka mengatakan pada Zafia hanya ingin sarapan. Padahal mereka sudah sarapan tadi. Untung saja Zafia percaya dengan ucapan mereka.
Bima, Denzi, Fikri, dan Ilham pergi ke Apartemen Siska. Sebelumnya mereka ingin pergi ke kantor polisi dulu untuk membawa rombongan, mana tahu Siska akan kabur nanti.
***
Di kamar rawat lain. Alfa memejamkan matanya dengan fikiran melayang ke mana-mana. Bulir bening jatuh melalui ekor matanya. Dengan cepat tangan itu mengusapnya.
Ucapan Dokter tadi terus terngiang-ngiang di fikirannya. Jangan menemui Zafia? Memangnya dia bisa?
"Ini salahku. Memang seharusnya aku melakukan hukuman yang pantas untuk itu."
Ruangan itu terasa sepi. Ya. Itulah yang Alfa butuhkan sekarang. Kesepian. Kesenyapan. Sendirian.
Berjam-jam Alfa hanya berdiam diri di atas ranjangnya. Dokter datang untuk memasang infus dan mengecek kondisi tubuhnya hanya diacuhkan olehnya.
Matanya enggan membuka. Sepertinya cairan bius yang disuntikkan ke tubuhnya sedang bekerja. Perlahan mata itu meredup, dan mampir ke alam bawah sadar.
Alfa membuka matanya yang terasa berat. Dia mendapati keributan di depan ruangannya. Sangat bising hingga membuat tidurnya terganggu. Mau 'tak mau mata itu akhirnya terbuka juga.
"Lepasin! Harus berapa kali gue bilang! Bukan gue yang motong alat pernapasan jal*ng itu! Bukannya lebih baik kalau dia mati, hah!" teriak seorang wanita yang sangat Alfa kenal orangnya.
"Enak ya lo ngomong? Lo bilang sepupu gue apa? Jal*ng? Ngaca kalau ngomongin orang! Yang jal*ng itu lo, atau sepupu gue!" teriak Ilham terpancing emosi dengan ucapan Siska.
"Sekarang kau masuk dan jujur pada Bang Alfa, kalau kau yang ingin mencelakai Zafia!" ucap Fikri dengan suara tak kalah tinggi.
Ilham dan Fikri menarik kedua lengan Siska dan membawanya masuk ke ruangan Alfa.
"Kenapa kalian bawa dia ke sini?" tanya Alfa dengan nada datar.
"Bilang sama dia sekarang, atau kau akan lebih cepat dibawa polisi di depan sana!" ucap Denzi mendorong bahu Siska kuat.
"Ish! Lo semua apa-apaan! Kasar banget sama cewek!" pekik Siska tidak terima. Pandangannya langsung tertuju pada Alfa yang terbaring lemas di ranjangnya.
"Alfa! Kamu kenapa bisa begini?" tanya Siska dengan wajah khawatir. Ilham dan Fikri berdecak jijik melihat kelakuan Siska.
"Jangan mendekat! Apa yang harus kudengar darimu? Cepat katakan dan segera pergi dari sini!" ucap Alfa dengan nada datar tapi tegas.
.
.
-TBC-
jngn lupa vote&komen😗
![](https://img.wattpad.com/cover/235745520-288-k775587.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]
General FictionBagaimana ketika siswi SMA menikah dengan guru nya karena terjadi kesalahpahaman? Bahkan guru yang mengajar mata pelajaran olahraga tersebut sudah mempunyai istri bahkan mereka sudah dikaruniai seorang putri? Dan apa alasan istri pertamanya rela sua...