HappyReading!
"Kamu butuh apa, Sayang? Mau Kakak ambilkan apa?" tanya Alfa dengan nada sumringah. Akhirnya. Setelah sekian lama Alfa menantinya, akhirnya Zafia mau berbicara kembali padanya.
Zafia membuang muka dari Alfa. "Aku benci Kak Al."
Senyum Alfa sirna. Sakit. Itulah yang kini kedua makhluk itu rasakan. Begitu sakit Zafia mengatakan itu pada Alfa, pun bagi Alfa. Begitu sakit mendengar itu dari Zafia.
Zafia terdengar menghela nafas. Dia memberanikan diri menatap Alfa. Lekat, sangat lekat.
"Aku benci Kak Al. Aku muak lihat Kak Al. Sakit, Kak. Sakit! Kak Al melarangku dekat dengan siapapun, tapi Kak Al merasa bebas bisa dekat dengan siapapun. Egois! Aku benci!"
Zafia berusaha duduk bersandarkan sandaran kasur Syifa. Tangan Alfa yang hendak membantunya kembali mengambang di udara saat melihat Zafia seakan menolak untuk disentuh olehnya.
"Untuk saat ini, jangan pernah sentuh aku!"
Alfa masih mematung dengan kepala menunduk. Suaranya menyangkut di tenggorokan saat ingin mengeluarkannya. Berat. Itu yang Alfa rasakan kala ingin mengucapkan sepatah kata.
"Aku mau Kak Al jauhi Siska."
Alfa mengangkat kepalanya. Senyum kembali mengembang di bibir yang tampak sedikit pucat itu.
"Pasti! Kakak pasti jauhi dia demi kamu." Alfa meraih tangan Zafia dan menciumnya.
"Lepas!" Zafia menarik tangannya dengan kasar. "Aku masih marah sama Kak Al. Aku masih benci sama Kak Al. Jadi, jangan coba-coba sentuh aku sebelum aku benar-benar memaafkan Kak Al."
Alfa kembali mematung, kemudian tersenyum lagi. "Kakak janji. Sekarang, boleh Kakak jelasin semuanya ke kamu? Agar kesalahpahaman ini berakhir."
Zafia membuang muka, lebih memilih menatap wajah damai Syifa. Kepalanya perlahan menggeleng. "Aku takut 'tak terkontrol. Aku takut makin benci Kak Al kalau sampai dengar yang sebenarnya. Aku--"
"Nggak! Kamu nggak akan benci Kakak setelah dengar penjelasan Kakak. Kakak bisa pastikan itu. Sekarang--"
"Aku nggak mau! Aku takut bayangan itu kembali datang. Kecelakaan. Pertemuanmu dengan Siska. Ucapan Siska yang ... yang mengatakan akan tinggal di sini. Nggak! Aku nggak mau dengar. Apalagi ..."
Zafia menelan salivanya susah payah. "Selama aku ada di Rumah Sakit, pasti kalian banyak menghabiskan waktu berdua. Secara ... Siska sekarang bekerja di kantormu, bukan?"
"Nggak, Zaf. Ucapan Siska--"
"Iya. Ucapan Siska pasti benar. Aku hanya ingin mengambil milikku. Aku 'tak mau milikku dimiliki orang lain. Jadi, Kak Al jangan buat aku goyah untuk tetap mempertahankan milikku," ucap Zafia memberanikan diri menatap mata Alfa.
Alfa membalas tatapan Zafia. Sorot matanya menandakan kebahagiaan. Jelas. Alfa jelas sangat bahagia karena Zafia masih mengharapkan dirinya menjadi milik Zafia.
Zafia kembali membaringkan tubuhnya memeluk Syifa. "Sekarang Kak Al pergi. Aku mau istirahat."
Alfa langsung menganggukkan kepalanya. Sebelum beranjak, ia mendekatkan wajahnya di telinga Zafia. "Kakak juga akan mempertahankan milik Kakak. Jangan dekat-dekat dengan Dokter tadi. Kakak cemburu. Selamat istirahat, Istriku."
Kecupan singkat Alfa berikan di kening Zafia sebelum benar-benar beranjak pergi. Di balik sana Zafia tengah menahan senyum dan air mata yang ingin meluncur.
Dia bahagia karena ternyata Alfa masih akan tetap menjadi miliknya. Tapi di sisi lain, hatinya menaruh ragu pada Alfa yang sempat berkhianat.
Zafia berfikir, berkhianat adalah kecanduan. Bila Alfa khilaf untuk saat ini, bisa jadi ia akan khilaf untuk lain kesempatan, bukan?
Zafia menggelengkan kepalanya. Dia memutuskan untuk tidur daripada harus memikirkan sesuatu yang membuatnya kembali pusing. Percayalah. Zafia tersiksa akan rasa pusingnya.
***
Dua hari kemudian. Sekarang adalah hari di mana Zafia akan melakukan terapinya di rumah. Bersama Dokter Rizal tentunya.
Selama dua hari ini 'tak pernah tertinggal semenit pun bagi Alfa mendekati Zafia. Membawakan sarapan, juga makan siang dan malamnya. Karena Zafia masih enggan keluar dari kamar Syifa.
Pagi ini Alfa kembali membawakan sarapan bubur untuk Zafia. Menurut saran Dokter, untuk beberapa hari ke depan Zafia dilarang untuk makan yang berat-berat. Jadi untuk sarapan jelas bubur, siang dan malam makan dengan nasi dan hanya berlaukkan sayur.
"Pagi, Sayang?" sapaan Alfa yang sama dua hari terakhir. Zafia 'tak menyahuti. Dia masih fokus membaca buku novel di tangannya. Seperti sebelumnya juga.
"Pagi ini Kakak bantuin Mama buat bubur untuk kamu. Pasti rasanya lebih enak. 'Kan Kakak buatnya dengan penuh cinta."
Alfa duduk di sebelah kasur Syifa. Semua anggota keluarga tengah sarapan di bawah. Sedangkan Alfa sendiri akan makan setelah memastikan sesuatu masuk ke perut Zafia. Jika belum, ia pun enggan makan.
"Mau Kakak suap, Zaf?" pertanyaan pertama yang seperti biasa.
Pasti jawabannya sama juga, "Nggak usah. Aku bisa sendiri."
Zafia meletakkan buku novelnya di nakas. Tangannya beralih mengambil mangkuk bubur di tangan Alfa. Senyum indah menjadi objek Zafia dua hari terakhir setiap menatap Alfa.
"Ada yang beda, Sayang? Rasanya lebih enak, 'kan?" tanya Alfa senyum senyum sumringah.
Zafia 'tak menyahuti. Dia masih fokus di buburnya juga pada terapi yang akan dilakukannya nanti di rumah ini. Apakah Alfa sudah tahu? Zafia pun 'tak tahu itu.
Tok! Tok! Tok!
Zafia dan Alfa saling pandang. Kemudian mengalihkannya ke arah pintu.
Ceklek!
"Pagi, Zafia?" sapa Dokter Rizal sambil melangkahkan kakinya menuju Zafia. Langkahnya kian melambat saat netranya menangkap sosok Alfa di dekat Zafia.
"Pagi, Bang Rizal," jawab Zafia sambil meletakkan mangkuk buburnya di nakas.
Alfa segera menoleh ke arah Zafia. Berharap pendengarannya tuli saat ia mendengar Zafia memanggil lelaki berjas putih itu Bang.
"Bagaimana kondisi kamu, Zaf? Apa sudah lebih baik menerima bayangan-bayangan menyeramkan itu?" tanya Rizal yang kini berjalan lebih yakin ke arah Zafia.
Zafia tertawa pelan mendengar ucapan Rizal. "Sedikit bisa, Bang. Ya ... memang seharusnya bisa, 'kan?"
"Baik, baik. Saya mengerti. Dia ..." Dokter Rizal menatap Alfa.
"Hmm, Kak Al, ini Dokter Rizal. Dokter yang menangani aku untuk terapi. Dan Dokter Rizal, ini Kak Alfa. Dia ..." Zafia menggantungkan ucapannya sambil menatap Alfa.
"Dia siapa, Zaf? Kakak kamu? Ah, perkenalkan, saya Rizal. Dokter yang membantu terapi Zafia di rumah ini," ucap Rizal dengan tangan disodorkan ke arah Alfa.
Alfa menatap Zafia kecewa. Tanpa sepatah kata pun, Alfa melangkahkan kakinya keluar kamar Zafia. Dengan segenap kekecewaan tentunya.
Zafia menatap pintu yang baru saja ditutup Alfa. Bukan hatinya ragu untuk mengatakan Alfa suaminya. Namun Zafia hanya mengetes Alfa, bagaimana reaksinya nanti.
"Dia suami saya, Dok."
"Apa?!"
.
.
.
-Tbc-
Pendek ya?😅
978Word✨
Jngn lupa vote&komen❤️-18Agustus2021-

KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]
General FictionBagaimana ketika siswi SMA menikah dengan guru nya karena terjadi kesalahpahaman? Bahkan guru yang mengajar mata pelajaran olahraga tersebut sudah mempunyai istri bahkan mereka sudah dikaruniai seorang putri? Dan apa alasan istri pertamanya rela sua...