58

9.4K 453 8
                                    


Happy Reading!

"Ya ampun, Fa. Kamu ini kenapa, sih? Sejak kamu nikah, kamu itu beda banget. Udah lupa sama aku? Pasti ini karena bocah ingusan itu, 'kan?" tuding Siska sambil duduk di kursi samping ranjang Alfa.

Bima, Fikri, Denzi, dan Ilham membolakan matanya. Kenapa makhluk di depan mereka kini malah bersantai riang? Mereka 'tak dianggap?

"Sudah saya bilang, Tuan. Sebaiknya langsung minta polisi bawa dia saja. Hanya menyusahkan bila dibawa ke kamar Tuan Alfa. Menambah bebannya," lirih Bima sambil menatap satu persatu lelaki di sampingnya.

"Tuan, tuen. Gue bukan majikan lo. Panggil gue Ilham," ketus Ilham membalas tatapan Bima tajam.

"Tau, tuh. Sejak kau jadi tunangan pacar aku, kau udah termasuk daftar teman kami. Panggil nama aja. Kecuali Bang Alfa," ucap Fikri juga menimpali. Denzi hanya menganggukkan kepalanya tanpa komen.

"Geret!" ketus Ilham maju mendekati Siska. Fikri juga ikut maju untuk membantu Ilham membawa keluar Siska.

"Ish! Apaan, sih! Ngapain lo pegang-pegang gue? Lo yang bawa gue ke sini, dan lo yang mau usir gue juga? Lepasin nggak, hah!" teriak Siska meronta di pegangan Ilham dan Fikri.

"Singkat aja, nih, ya. Cewek di depan lo ini adalah orang yang hampir buat nyawa sepupu gue melayang. Singkatnya, gue bakal bawa dia ke kantor polisi," ucap Ilham pada Alfa kemudian menggeret Siska yang masih meronta dibantu dengan Fikri.

"Sialan lo! Bukan gue yang motong alat itu! Nggak guna juga lo bawa gue ke kantor polisi. Bukan gue yang ada di dalam CCTV itu!" teriak Siska terus berusaha melepaskan diri dari Ilham dan Fikri.

"Memang bukan kau yang memotong. Tapi kau yang meminta salah satu perawat yang memotongnya," ucap Fikri.

"Jangan berkilah lagi, Jal**g. Perawat yang kau bayar itu sudah mengaku dan dikeluarkan dari Rumah Sakit ini," ucap Denzi sambil menarik rambut Siska kala Siska ingin kembali membuka suara.

Setelahnya 'tak terdengar lagi perdebatan mereka di dalam ruangan Alfa. Alfa hanya bisa mengurut keningnya pelan dengan telunjuk dan ibu jarinya. Bima yang masih berada di dalam ruangan itu mendekat ke arah Alfa.

"Maaf, Tuan. Sebaiknya memang tidak kami beritahu mengenai ini. Tapi Ilham begitu keras kepala hingga ingin membawa teman Tuan tersebut kemari," ucap Bima sambil menundukkan kepalanya.

"Nggak pa-pa, Bim." Alfa membenarkan posisi tidurnya. "Bagaimana kondisi Zafia? Apa dia masih teriak-teriak seperti tadi?"

Bima menggaruk tengkuknya. Dia sedikit canggung untuk mengatakan ini, "Menurut analisis Dokter, sepertinya Nona Zafia hanya bersikap seperti itu ketika di dekat ... Anda, Tuan."

Alfa mengembuskan nafasnya pelan. Sudah ia duga, ini memang salahnya.

"Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud--"

"Nggak pa-pa, Bim. Aku suka kejujuranmu," jawab Alfa pelan sambil berusaha tersenyum. "Pergilah. Aku ingin sendiri."

Bima mengangguk, kemudian berucap, "Bila ada perkembangan, saya langsung beritahu Anda, Tuan."

Alfa tersenyum tipis. Kemudian berbalik memunggungi Bima dan menutup mata perlahan.

***

Tujuh hari semenjak sadarnya Zafia dari koma. Zafia tidak pernah menanyakan apa pun mengenai Alfa. Pun orang di sekitarnya tidak pernah mengungkit apa pun mengenai Alfa. Bahkan Syifa sampai diminta untuk tidak mengungkit mengenai Ayahnya pada Zafia.

Kini Zafia tengah bersiap untuk menuju ruangan tempat di mana ia akan melakukan terapi akibat traumanya terhadap kecelakaan yang terjadi beberapa minggu lalu.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang