4

22.6K 959 9
                                    

Happy Reading 🍂

Perjalanan kembali senyap setelah Dinda membujuk Zafia untuk tidak marah. Zafia hanya diam memandang keluar jendela tanpa menghiraukan bujukan Dinda. Ya, Dinda gagal untuk kali ini, karena sebelum Zafia berhenti kesal padanya, mobil Alfa sudah berada di depan rumah Zafia.

Zafia yang kesal pada kedua orang di mobil itu tak menyadari bahwa Alfa benar mengantarnya tepat di rumahnya. Namun beda dengan Dinda. Gadis itu bertanya-tanya dalam hati, 'Dari mana Pak Alfa tahu rumah Fia? Padahal dia tak ada bertanya pada kami.'

"Ayo, turun." Alfa membukakan pintu untuk Dinda dan Zafia, lebih tepatnya untuk Zafia.

"Turun duluan, Din. Bantu aku turun," ketus Zafia tanpa mengindahkan tangan Alfa yang sudah tersodorkan untuk membantunya.

Tanpa menunggu jawaban Dinda, Alfa langsung menggendong Zafia ala bridal style. Zafia memekik kaget karenanya. Dia memukul dada bidang Alfa agar diturunkan.

"Tutup pintunya, Dinda. Dan bantu bapak bawa Zafia ke dalam," ucap Alfa sambil menurunkan Zafia di depan pintu gerbang. "Kalau kamu jatuh kaki kamu beneran akan patah. Sedikit saja nurut sama saya kenapa?" lanjut Alfa memandang Zafia sedikit kesal.

"Bapak yang apa-apaan? Saya nggak suka digendong-gendong kayak tadi. Saya masih mampu jalan," ketus Zafia berjalan tertatih berpegangan pada pintu gerbang yang belum di buka.

"Astaga, Fi. Kau sok kali jadi orang. Kaki pincang gitu dipaksakan jalan. Benar kata Pak Alfa, nurut dikit kek sama dia," ucap Dinda berjalan membantu Zafia.

"Udah tahu aku jalan pincang, kau cepat sedikit jalan ke sininya. Bantu aku," jawab Zafia yang masih ketus.

"Ya Allah, maafkan sahabat lucknat saya ini, ya, pak. Kalau lagi marah, otaknya tambah gesrek," ucap Dinda cengengesan saat sampai di dekat Zafia.

"Lama!" ketus Zafia lagi sambil menyodorkan tangannya untuk meminta bantuan Dinda. Dinda langsung memegang tangan Zafia dan membantunya berjalan masuk.

"Saya tunggu di luar, Dinda. Biar saya antar pulang kamu," ucap Alfa berjalan ke arah mobilnya.

"Iya, Pak. Terimakasih atas nama Zafia. Mohon kata-katanya jangan masukkan hati, apalagi jantung. Kalau sakit, bahaya," ucap Dinda menoleh ke arah Alfa sebentar.

Alfa hanya mengangguk dan berdiri di depan mobilnya. Dia mengeluarkan handphonenya dan menghubungi istri dan anaknya, karena tadi tak sempat berpamitan.

Sedangkan di depan gerbang, Zafia tak henti-hentinya mengomel pada bodyguard nya karena lama membuka gerbang. Sedangkan yang lainnya hanya menunduk tak berani menyela, kebanyakan juga sudah kebal dengan omelan Zafia yang setiap hari tiada absen.

"Cuma buka gerbang aja lamanya kayak siput yang aku minta bukain. Tugas kalian itu apa sebenarnya, hah? Jangan lelet-lelet kalau mau kerja di sini. Awas kalau papa tahu, kalian bisa di pecat. Mengerti!" ucap Zafia.

Semuanya masih menunduk tak ada yang berani membuka suara.

"Mengerti tidak aku bilang?" teriak Zafia sekali lagi.

"Mengerti, nona," ucap salah satu bodyguard yang merupakan bodyguard kepercayaan Papa Zafia untuk mengurus Zafia. Juga merupakan bos untuk bodyguard-bodyguard lain di rumah itu.

"Ajarkan anak buah kau itu, Abim. Percuma badan gagah kalau berhadapan sama aku aja sukanya nunduk gitu," ucap Zafia.

"Maaf, nona. Nama saya Bima bukan Abim," ucap Bima membenarkan namanya pada nonanya.

"Siapa bos kau di sini? Suka-suka aku lah mau panggil kau siapa aja. Ayo, Din." Zafia meminta Dinda untuk melanjutkan perjalanan masuk ke dalam rumahnya.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang