52

9.8K 425 7
                                    


Happy Reading..

Dua hari sudah Zafia terbaring di kasur empuk Rumah Sakit. Kasur single tapi sedikit lebar itu menemani Alfa dalam setiap hembusan nafasnya saat menjaga tidur Zafia. Belum ada tanda-tanda akan sadarnya, tapi semuanya tetap normal.

Hari ini adalah ulang tahun Zafia. Semuanya menyiapkan kejutan kecil mewah di ruangan rawat Zafia. Syifa, Tari, Wisnu, Kartika, Dinda, Bima, Denzi, Fikri, dan jangan lupakan Alfa. Semuanya tengah berkumpul di sana.

"Selamat bertambah usia, Sayang. Semoga kamu lekas sadar. Kami di sini selalu menunggumu. Happy birthday, putri kecil Papa." Wisnu mencium kening Zafia.

"Anak Mama yang cantik. Seharusnya ini menjadi hari bahagiamu, Nak. Cepat sadar. Kalau kamu bertemu Mama Liska di mimpumu, jangan ikut dia dulu, ya? Mama masih ingin merangkai kenangan indah bersamamu," lirih Tari kemudian mengecup kening Zafia.

Denzi dan Fikri hanya mengucapkan 'Happy sweet seventeen' dari jarak jauh. Mereka hanya sekilas mengatakannya. Sedangkan Bima hanya diam, dan mendoakan Zafia dalam hati.

Kartika dan Dinda sama-sama mendekat. Berdiri di kedua sisi kiri kanan Zafia. Awalnya keduanya saling tatap. Kemudian bersamaan meneteskan air mata, disusul pelukan hangat ke tubuh Zafia.

"Kau jahat, Fi. Dua hari kau diamkan aku hanya karena rencana bodoh yang bahkan belum kau ketahui, Fi. Kau jahat, Fi. Hiks ..." isak Dinda dalam pelukan Zafia.

"Aku senang bisa berkunjung ke sini, Fi. Tapi bukan untuk melihat kau tertidur pulas di kasur ini. Aku sudah membayangkan jika datang ke sini ingin memberikan undangan pernikahanku dan Bang Bima. Tapi kenapa kau tak mau menyambutku, Fi? Kenapa kau ikut mendiamiku seakan aku ikut andil dalam rencana Dinda?" lirih Kartika pula.

Semua yang ada di sana hanya bisa melihat dengan air mata yang berusaha ditahan. Pemandangan menyedihkan itu tak membuat Dinda ataupun Kartika menghentikan aksinya.

"Selamat ulang tahun, Fi. Aku janji, setelah kau sadar nanti aku tak akan menghukum kau karena sudah mendiamiku lama sekali. Aku janji. Tapi kau harus sadar sekarang," ucap Kartika disela isak tangisnya.

"Happy sweet seventeen, Fia. Aku ingin memberikan hadiah motor untuk kau. Kau tahu? Aku, Fikri, dan Bang Denzi patungan uang hanya untuk memberikan kau motor. Kau cepatlah sadar, agar kita bisa belajar bersama," lirih Dinda.

Perlahan kedua orang itu melepaskan pelukannya. Mereka berdua menjauhi kasur Zafia yang mulai didekati Alfa dan Syifa.

Alfa yang tengah menggendong Syifa perlahan menurunkannya. Alfa meletakkan Syifa duduk di sebelah Zafia.

"Bunda?" Syifa mengguncang lengan Zafia pelan. Tak ada pergerakan. Mata Syifa mulai mengembun.

"Selamat ulang tahun, Zaf," hanya itu yang terucap dari bibir Alfa. Suaranya datar dan ... dingin. Tak bergetar sama sekali, apalagi menunjukan kesedihan.

Kaki Alfa perlahan melangkah, meninggalkan sejuta pertanyaan di dalam ruangan. Dinda ingin berteriak, memaki Alfa yang bersikap menjengkelkan. Namun tangan Fikri menghalangi langkahnya.

"Ayah ..." cicit Syifa dengan mata berkaca. Tari segera mendekati cucunya dan memeluknya yang masih setia duduk di sebelah Zafia.

"Ayah, Oma. Ayah kenapa jahat? Dari kemarin Ayah diami Ifa terus. Bunda bobonya nggak selesai-selesai. Apa Ayah yang buat Bunda bobo lama, Oma? Ayah buat Bunda capek, ya, Oma?" tanya Syifa di dalam dekapan Tari.

Syifa perlahan melepaskan pelukan dari Oma-nya. Dia mendekati Zafia dan memeluk Bundanya.

"Bunda, Ifa kangen sama Bunda. Bunda 'kan ulang tahun sekarang, kenapa Bunda bobo terus? Bunda bobo karena nggak ada yang beliin Bunda kue, ya?" tanya Syifa.

Semua yang ada di sana mati-matian menahan bulir bening yang sudah terbentuk di pelupuk mata. Hanya Dinda. Hanya Dinda yang menampakkan wajah emosinya dalam ruangan itu.

"Kalau Bunda mau bangun sekarang, ayo kita beli kuenya, Bunda. Nanti Bunda bebas, deh, pilih yang mana aja. Ifa nanti temenin Bunda aja. Bunda jangan marah sama Ifa, ya, Bunda. Ifa nggak tahu kalau Bunda ulang tahun sekarang. Oma sama Opa nggak bilang sama Ifa, Bun," celoteh Syifa di dalam dekapan Zafia.

Tari tak kuasa menahan tangisnya. Dia bersandar di pelukan Wisnu dan menumpahkan air matanya di sana. Kartika pun sama tak kuatnya dengan Tari. Dia juga menjatuhkan tubuhnya dipelukan Bima.

Dinda. Lagi-lagi Dinda yang berbeda. Gadis berambut hitam sebahu itu masih mengepalkan tangannya menahan emosi yang bergejolak di dada. Ingin ia tumpahkan segera, namun dengan siapa? Sang empu sedang tidak berada di tempat.

***

Di atas atap bangunan bertingkat, terlihat seorang lelaki tengah beriri dengan pandangan lurus ke depan. Panasnya udara Jakarta tak membuat lelaki itu pergi dari tempatnya.

Segelas wine berada di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memegang sepuntung rokok. Sesekali mulutnya meracau memanggil seseorang dengan sebutan yang tak jelas.

"Zafia akan bangun. Malam ini dia akan bangun."

Nama yang sama. Kalimat yang sama. Dan ingatan mengenai ucapan dokter yang sama.

'Jika sampai nanti malam pasien belum juga sadar, kemungkinan amnesia itu semakin besar, Tuan. Semakin lama pasien belum membuka matanya, semakin bertambah jumlah persen untuk menentukan keadaan pasien yang akan amnesia atau tidak.'

Minuman berwarna merah itu kembali diteguk oleh Alfa. Ya. Lelaki itu adalah  Alfa. Ia berada di atap rumahnya. Atap itu ia buat khusus untuk Zafia. Ia berniat ingin membocorkan tentang perselingkuhan pura-pura itu di atap ini. Di malam hari, saat yang tepat untuk melihat ribuan bintang di angkasa.

"Zafia akan bangun. Malam ini dia akan bangun."

Kaki itu kembali melangkah. Lebih dekat di ujung bangunan yang bila kita menundukkan kepala, maka akan melihat jalanan padat kota Jakarta.

Otak Alfa mulai bimbang. Antara fikiran positif dan negatif yang berebut ingin menguasai hati dan pola fikirnya.

'Loncat dan kamu akan lebih cepat bertemu dengan Zafia.'

'Bertahan, Alfa. Zafia akan sadar. Zafia butuh kamu sebagai menguatnya.'

'Lupakan. Zafia jelas akan melupakanmu bila dia sadar. Jika pun ingat, ia akan sangat membencimu.'

'Berhenti, Alfa. Zafia pasti lebih membencimu jika kamu mati konyol di rumah penuh kenangan ini.'

'Loncat.'

'Jangan.'

'Loncat.'

'Jangan.'

"Arrgghh!" Alfa meremas rambutnya Frustasi. Dia mendudukkan tubuhnya di dekat pembatas atap itu. Benar-benar dekat. Selangkah saja Alfa melangkahkan kakinya, ia benar-benar mari konyol di sana.

Segelas wine itu jatuh. Percikan beling mengenai kakinya. Entah apa yang menguasai Alfa, tangan itu mengambil pecahan beling. Tangan yang memegang rokok segera membuang puntung rokok itu dan beralih ke beling kaca di bawahnya.

Sreet ...!

.

.

-tbc-

Jngn lupa vote& komen 🥰

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang