56

9.4K 455 4
                                    


Happy Reading^

Alfa membuka matanya kala merasa pergerakan dari kasur Zafia. Didapati olehnya, Zafia tengah memegang kepalanya dengan ringisan berkali-kali. Alfa langsung memeluk Zafia tanpa menghiraukan ringisan itu.

"Kamu bangun, Zaf. Kakak tahu kamu pasti bangun, Sayang," lirih Alfa dengan suara serak dan air mata menggenang.

Zafia mendorong pelukan Alfa hingga Alfa tersungkur ke bawah kasur. Kaget. Itulah yang Alfa rasakan. Sakit. Itupun juga demikian.

"Jangan mendekat. Awss ... jangan sentuh aku." Zafia terus memegang kepalanya yang terasa berdenyut nyeri dan begitu pusing.

"Zafia, kamu baik-baik aja, 'kan?" Alfa langsung berdiri dari duduknya. Tanpa menghiraukan rasa pusing yang juga menderanya, Alfa langsung memeluk Zafia dan mengusap kepalanya.

Lagi. Alfa kembali didorong oleh Zafia. "Jangan mendekat kubilang! Bisakah kau berhenti mengusik hidupku!" teriak Zafia masih dengan tangan memegang kepalanya.

"Biar Kakak panggil Dokter," ucap Alfa cepat. Dia langsung berlari ke luar ruangan Zafia dan hanya berhenti di ambang pintu.

"Zafia bangun. Panggilkan Dokter. Cepat!" ucap Alfa terburu-buru dengan nada memekik.

Semua yang ada di luar tentunya terkejut dengan ucapan Alfa yang tiba-tiba. Dengan masih mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya, semua orang di sana langsung berdiri sedikit limbung.

"Biar saya panggil, Tuan," ucap Bima dengan cepat lari ke ruangan Dokter.

Alfa kembali masuk ke ruangan Zafia, disusul Tari dan yang lainnya. Semuanya berdiri melingkar di sisi ranjang Zafia. Alfa dan Tari berada di kiri kanan Zafia.

"Apanya yang sakit, Sayang? Sabar, ya. Bima masih panggilkan Dokter," ucap Alfa sambil mengusap kepala Zafia, berharap itu bisa mengurangi rasa sakit di kepala Zafia.

"Pergi! Jangan pernah sentuh aku lagi. Dasar kau pengkhianat!" teriak Zafia sambil menepis tangan Alfa dan mendorong bahunya kuat. Alfa terhuyung ke belakang beberapa langkah. Semuanya jelas terkejut dengan perlakuan Zafia.

"Sayang, kamu yang tenang. Kamu baru aja sadar. Jangan emosi dulu," ucap Tari sambil membawa kepala putrinya di dekapannya. Zafia terdiam, tapi 'tak menolak.

"Fi, kau 'tak lupa kami, 'kan? Kau 'tak hilang ingatan, 'kan? Jawab aku, Fi," tanya Dinda 'tak sabaran.

Belum sempat Zafia membuka mulut, Dokter sudah masuk lebih dulu bersama Bima dan dua suster di belakangnya.

"Biar pasien kami tangani dulu. Silahkan kalian tunggu di luar," ucap Dokter sambil mendekati Zafia.

Sebelumnya Dokter itu melirik salah seorang suster, memberikannya kode agar membawa keluar semua yang di dalam. Suster itu mengerti dan segera menurutinya.

"Kamu tenang di sini dulu, Sayang. Nanti Mama masuk lagi kalau Dokternya udah selesai," ucap Tari sambil melepaskan pelukannya pada Zafia.

Zafia menggelengkan kepalanya pada Tari. Tangannya menggenggam tangan Tari seolah tidak membiarkan dia pergi.

"Nggak. Biar saya temani istri saya di sini. Saya nggak percaya dengan pelayanan kalian yang hampir menewaskan istri saya," ucap Alfa tegas saat seorang suster memintanya untuk keluar.

Zafia langsung menoleh ke arah Alfa. Menatap mata yang penuh kerinduan itu dengan sorot tajam. Kemudian mengalihkannya lagi ke arah Tari.

"Cuma sebentar. Kamu tenang, ya?" ucap Tari kemudian melepaskan genggaman Zafia.

Alfa kembali mendekat ke arah Zafia, menggenggam tangannya. "Biar Kakak temani, ya? Kamu nggak perlu takut."

"Nggak! Pergi, aws ..." Zafia kembali meringis kala rasa pusing kembali menyerangnya.

"Kami mohon, Tuan. Jangan menghambat tugas kami dengan keberadaan Tuan. Istri Tuan perlu pertolongan kami secepatnya," ucap Dokter itu berusaha membujuk Alfa.

"Saya nggak percaya dengan kalian. Lakukan tugas kalian, dan anggap saya tidak ada di sini!" ucap Alfa setengah membentak.

"Pergi ... aku minta kau pergi. Aws, sakit ..." Zafia meremas rambutnya kuat. Otot-otot tangannya sampai terlihat.

"Tuan ..."

Dengan berat hati Alfa melangkahkan kakinya keluar. Dia tidak menyangka Zafia akan melakukan hal itu. Mengusirnya, mendorongnya, dan dengan jelas mengatakan kalau Alfa mengusik hidupnya.

Alfs terduduk di depan pintu ruangan Zafia. Penampilannya sangat acak-acakan, terlebih rambutnya. Tari mendekat, dan mengusap rambut berantakan itu.

"Pergilah ke Musholla Rumah Sakit. Bentar lagi masuk waktu Subuh. Yang lain sudah ke sana terlebih dahulu," ucap Tari sambil membantu Alfa berdiri.

"Zafia, Ma. Zafia benci Alfa," lirih Alfa sambil menjambak rambutnya.

"Minta petunjuk Allah, Nak. Mama nggak tahu harus bilang apa, tapi kamu jangan gegabah. Zafia pasti baik-baik aja. kamu lihat, 'kan? Zafia bangun. Zafia membuka matanya," ucap Tari.

Alfa mengangguk. Dia mulai berdiri dan melangkah dengan lemas menuju Mushola.

***

"Pasien sudah membaik. Syukurlah pasien segera siuman dari komanya. Jika saja pasien lebih lama lagi tertidur, mungkin pasien akan kehilangan ingatannya dengan permanen," jelas Dokter yang baru saja keluar dari ruangan Zafia.

Tari bersyukur dalam hati. "Terimakasih, Dok. Apa saya boleh masuk?"

Dokter itu mengangguk. "Silahkan, Nyonya. Tapi, saran saya, jangan dekatkan dulu pasien dengan Tuan yang tadi. Pasien terlihat tertekan saat berada di dekatnya. Dan itu bisa memicu pada kesehatan pasien juga."

Tari mengangguk, ragu.

Kaki Tari melangkah memasuki ruangan Putrinya. Dilihatnya Zafia tengah berbaring dengsn tangan memijat pelipisnya.

"Mama?" Zafia merentangkan tangannya. Tari menyambutnya dengan senyum haru.

"Akhirnya kamu sadar, Sayang. Mama khawatir sekali saat kamu belum sadar tiga hari ini. Bahkan kamu melewatkan ulang tahun kamu, Nak. Selamat, ya. Selamat atas ulang tahun kamu dan selamat karena kamu sudah sadar dari koma," ucap Tari sambil mengusap punggung Zafia.

"Terimakasih, Ma."

"Masih sakit, Sayang?" tanya Tari melerai pelukannya.

Zafia mengangguk. "Kepala Zaf sakit, Ma. Pusing. Nyeri juga tangan yang diinfus," ucap Zafia mengangkat tangannya yang diinfus. "Dan ..."

Tari mengernyit. "Dan apa, Sayang?"

"Kak Al selingkuh, Ma. Hati Zaf juga sakit," lirih Zafia dengan kepala menunduk. Tangannya yang tidak diinfus meremas baju pasien yang dipakainya tepat di dads sebelah kirinya.

Tari kembali memeluk Zafia.

"Zaf nggak suka lelaki yang selingkuh, Ma. Pecundang. Kalau dia memang nggak mau lagi sama Zaf, kenapa nggak tinggalin Zaf dengan cara baik-baik? Zaf benci dengan perselingkuhan, Ma. Mereka pecundang," Zafia menumpahkan keluh-kesahnya untuk pertama kali pada Tari.

Tari mengusap punggung Zafia, belum mampu menjawab.

Tak berselang lama, Alfa masuk dengan keadaan lebih baik. Maksudnya, rambut dia sudah tidak seacak-acakan tadi.

"Zafia? Kamu baik-baik aja, Sayang?" Alfa berlari ke arah Zafia dan memeluknya.

Zafia kembali memberontak. "Ceraikan aku! Aku nggak mau hidup dengan Kak Al lagi!"

.

.

-TBC-
Jngn lupa vote&komen😗

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang