24

15.2K 630 3
                                    


Happy Reading 🍂

Ceklek!

Pintu kamar mandi Zafia terbuka. Menampakkan sosok Dinda yang tengah membersihkan tetesan air di wajahnya. Dia keluar dengan pakaian milik Zafia. Tubuh mereka cenderung sama, hanya saja Dinda terlihat lebih tinggi tiga cm di banding Zafia. Sama-sama pendek.

"Wajah kau tak bisa di santaikan sedikit kah, Fi? Dari kita masuk kamar sampai aku selesai mandi wajah kau tampak kusut begitu," ucap Dinda sambil melepas handuk di kepalanya dan menyantelkannya di samping pintu kamar mandi, tempat khusus cantelan handuk.

"Diamlah, Din. Jangan memancing emosiku lagi," ketus Zafia berdiri dari ranjangnya dan berjalan ke arah balkon kamarnya.

Dinda hanya bisa menghela nafas kasar saat melihat Zafia. Dia memilih berjalan ke arah meja rias Zafia dan menyisir rambutnya yang basah. Selesai itu dia menyusul Zafia ke balkon.

Zafia tengah duduk di sofa panjang kecil yang berada di sana. Menatap kosong pohon jambu milik Bapak berkaca mata yang buahnya tidak selebat saat Zafia dan Dinda mengambil beberapa minggu lalu.

"Kau ingin jambu itu, Fi? Ayolah, kita ambil kalau kau memang mau. Jangan hanya dipandang kosong aja pohon itu. Kau tak akan bisa mendapat buahnya kalau hanya dilirik saja," ucap Dinda mengambil alih duduk di sebelah Zafia, mencoba bergurau.

Zafia tak menjawab. Tatapannya masih kosong ke arah pohon jambu itu. Tangan kanannya digunakan untuk menopang tangan kirinya yang tengah bertopang dagu. Punggungnya disandarkan ke sandaran sofa.

"Kau tahu, Bapak kaca mata itu baik sekali sebenarnya. Dia memperbolehkan kita minta buahnya disaat kita pernah mengambil buahnya dulu, tanpa izin."

Dinda terus bercerita, membujuk Zafia agar ingin bicara padanya. Zafia terkenal akan keras kepalanya. Bila sudah memilih untuk satu hal, akan sulit untuk mengubahnya memilih hal lain. Dan inilah yang dia lakukan, memilih diam dan menjadi pendengar Dinda yang entah bicara apa.

Dinda menghela nafas kasar. "Aku tahu kau marah pada Bima. Tapi jangan diamkan aku begini, Fi. Katakan kalau kau merasa perlu bercerita padaku. Aku selalu siap mendengarnya."

"Aku rindu Kartika," lirih Zafia.

"Aku juga rindu dia. Katakan saja apa-apa yang membuatmu mendiamkan ku begini," ucap Dinda berusaha membujuk Zafia.

"Aku benci Abim."

"Kau kecewa padanya, bukan benci."

"Aku benci Kak Al."

"Benci bagaimana maksudmu? Salah apa Pak Alfa sampai membuatmu benci dia?" tanya Dinda mulai menghadap Zafia.

"Dia sudah membentakku beberapa kali."

"Karena kau salah, mungkin."

"Dia membentakku hanya karena aku dekat dengan Abim. Memang salah?" tanya Zafia dengan nada pelan.

"Hmm, entahlah. Itu tergantung situasinya, apa yang kau lakukan?" tanya Dinda.

Zafia tak menjawab. Dia kembali terdiam dengan tatapan kosongnya. Dinda kembali menghela nafas kasar. Dia menghentakkan punggung di sandaran sofa dengan kasar.

"Aku rindu Kartika. Dia sibuk sekali dengan tugas kuliahnya itu. Dua bulan. Sudah dua bulan dia tidak datang berkunjung dan menemui kita," ucap Zafia dengan nada pelan.

"Aku juga rindu dia, Fi. Kita sama-sama rindu dia. Tapi apa boleh buat? Dia sudah masuk semester akhirnya, tugasnya pasti lebih banyak di banding hari-hari awal dia masuk kuliah," jelas Dinda.

"Apa dia tidak ingin berteman dengan kita lagi? Apa buku-buku menyebalkan itu lebih menyenangkan dibanding kita?" tanya Zafia lagi.

"Apa kau ingin menemuinya, Fi? Kita bisa berkunjung ke sana bila kau mau," ucap Dinda dengan semangat.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang