31

15.1K 657 3
                                    


Happy Reading 🍂

Tujuh hari sudah setelah kepergian Tisya. Rumah yang dulunya ramai dengan celotehan antara Zafia dan Syifa kini sepi bagai di tengah hutan.

Apakah rumah itu kehilangan seseorang? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Iya karena kepergian Tisya membuat salah seorang penghuni rumah menjadi pendiam. Tidak juga, karena sejak kepergian Tisya, banyak yang menginap di rumah itu.

Siapa dia? Dinda, Kartika, Tari, Wisnu, dan Bima. Mereka semua tinggal di rumah Alfa selama seminggu terakhir. Lantas, apakah bertambahnya lima orang itu membuat rumah kembali ramai? Tentu tidak.

Zafia seharian hanya mengurung diri di kamar. Ia hanya keluar saat ingin mengunjungi makam Tisya --juga makam mamanya. Pergi selesai shalat Ashar --shalat sendiri di kamar-- dan pulang menjelang Maghrib.

Dengan siapa? Alfa. Alfa selalu setia menemani Zafia saat berkunjung ke sana. Sudah menjadi rutinitasnya seminggu terakhir.

Lantas, bagaimana dengan kondisi Zafia? Pola makannya? Tidurnya? Itu hanya Syifa yang mengetahuinya --mungkin juga Alfa. Hanya Syifa yang bebas keluar masuk ke dalam kamar Zafia. Selain darinya, mereka akan diusir sebelum melangkahkan selangkah kaki untuk masuk ke dalam.

Seperti sekarang, Dinda dan Kartika sedang membujuk Zafia dari balik pintu. Tadi mereka sudah masuk ke dalam. Dan ya, belum ada satu langkah kaki mereka memasuki kamar itu, suara lemah Zafia menghentikannya.

"Ayolah, Fi. Mau sampai kapan kau berdiam diri di kamar? Satu bulan lagi? Satu tahun? Atau satu abad? Kau bahkan tidak menghadiri pembagian rapor pagi ini," ucap Dinda berusaha memprovokasi Zafia untuk keluar.

Tidak ada jawaban.

"Denzi mendapat juara umum pertama, Fi. Kau tidak berhasil mengalahkannya. Apa kau tidak berniat mendatanginya dan memberinya pelajaran seperti tahun kemarin? Tahun kemarin seru sekali, Fi. Aku ingin mengulangnya," tambah Kartika.

Dinda dan Dinda mengingat kekonyolan Zafia saat tahun lalu dikalahkan oleh Denzi. Dia menemui Denzi bersama Dinda dan Kartika dan membantai habis telinga Denzi dengan mulut cerewetnya, dibantu Dinda dan Kartika tentunya.

"Aku tidak peduli," lirih Zafia menjawab. Bahkan di telinga Dinda dan Kartika itu hanya sebuah gumaman kecil.

"Bagaimana, Din? Ini lebih sulit dari membujuk Zafia saat meninggalnya Tante Liska. Anak itu keras kepala sekali," keluh Kartika menyandarkan punggungnya di dinding sebelah pintu.

"Tunggu Ifa. Hanya dia yang bisa leluasa masuk ke dalam," ucap Dinda jongkok di depan pintu kamar Zafia dengan tangan mengetuk pelan pintunya.

"Fi? Kalau kau terus seperti ini, orang yang melihatmu akan memandangmu lemah. Mereka yang mengenalmu akan kehilangan sosok Zafia yang bar-bar," ucap Dinda kembali membujuk Zafia.

"Jangan sampai Fikri datang ke sini, Fi. Dia yang nyaris bisa menyamai nilai rapormu akan berlagak sombong untuk memamerkannya. Kau tahu sendiri bagaimana sikapnya," lanjut Dinda.

Masih belum ada jawaban dari Zafia. Berita yang biasanya menarik perhatiannya itu kini hanya dianggap angin lalu oleh Zafia.

"Kapan anak tiri Zafia pulang, Din? Zafia belum menyentuh makanan dari kemarin. Itupun kita tak tahu porsinya seberapa kan? Dia pun makannya harus disuap dengan Syifa," keluh Kartika memerosotkan tubuhnya menyamai tinggi Dinda ysng masih jongkok.

"Lima menit lagi ramalanku. Pak Alfa pun entah pergi kemana membawa Syifa," gumam Dinda yang masih didengar Kartika. Kartika hanya mendengus pasrah.

Dua menit berlalu. Terdengar langkah kaki menaiki tangga. Dinda yang menyenderkan kepalanya di daun pintu mendongak --dengan posisinya yang duduk di lantai. Juga Kartika yang duduk bersenderkan dinding.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang