1

41.9K 1.4K 8
                                        

Happy Reading 🍂

Siang yang cerah dengan matahari menyingsing tinggi di atas sana. Panasnya matahari yang membuat terik bumi mengalahkan panasnya hati Zafia saat ini.

Entah apa yang di rencanakan guru baru ini padanya juga Dinda, yang jelas kini mereka tengah disidang di kantor untuk kesekian kalinya namun dengan guru yang berbeda.

"Apa motif kalian kabur di pelajaran saya?" tanya Alfa pada Zafia juga Dinda.

"Astaga, guru ini nggak tahu peraturan mainnya, Din." Zafia menyikut lengan Dinda yang dibalas pelototan olehnya.

"Bodoh. Guru killer ini, Fi. Main lawan aja," bisik Dinda dengan sesekali melirik Alfa.

"Kalian dengar ucapan saya!" Alfa mendesis menatap tajam kedua murid di depannya.

"Ya Allah, Pak. Kuping kita masih sehat, nggak usah teriak juga kali," balas Zafia.

"Kamu berani sekali dengan saya. Saya memang guru baru di sini. Bukan berarti kamu bisa melawan saya karena tidak tahu siapa saya. Kamu paham?" Alfa masih mendelik tajam ke arah Zafia.

"Paham, Pak paham," ucap Dinda. Zafia lagi-lagi menyikut lengannya.

"Apa yang kau paham?" bisik Zafia.

"Nggak tahu. Yang penting kalau kita bilang paham kita cepet keluar dari sini," balas Dinda dengan berbisik pula.

"Kau tak tahu maksud ucapannya tadi?" tanya Zafia lagi.

"Mana tahu aku. Udahlah, kau hanya bilang 'paham' saja sama Pak Alfa. Masalah beres, kita keluar dari ruangan ini dan melupakan masalah barusan," balas Dinda masih dengan berbisik.

"Oke-oke. Kau hebat untuk urusan ini." Zafia nyengir ke arah Alfa. "Paham, Pak. Kami ini murid teladan, mana pulak tak paham kata bapak," ucap Zafia.

"Kalian saya hukum! Kamu, siapa nama kamu." Alfa menunjuk Dinda.

"Dinda, Pak.

"Kamu saya hukum bersihin ruang guru ini sepulang sekolah nanti. Dan kamu, siapa nama kamu." Alfa menunjuk Zafia.

"Zafia." Zafia memutar bola mata malas. Dihukum? Sejarah baru dalam hidupnya mendapat hukuman. Senakal-nakalnya dia di SMA ini, tak ada yang berani menghukumnya. Ini?

"Zafia, kamu saya hukum bersihkan seluruh halaman di sekolah ini sampai halaman belakang. Kalian paham dengan hukuman kalian?" tegas Alfa.

"Heh! Apa-apaan ini! Mana adil kau! Kalau Dinda hukumannya hanya bersihin ruang guru, kenapa aku harus bersihin halaman sebesar lapangan bola kaki untuk raksasa gini? Apa maumu, hah?" Zafia mendelik tajam ke arah Alfa dengan jari telunjuk di depan wajahnya.

"Aduh, bodoh. Nambahlah situ hukuman kau Fia, Fia," gumam Dinda menarik Zafia untuk keluar.

"Permisi, Pak. Hukuman akan kami kerjakan sepulang sekolah nanti," ucap Dinda penuh hormat.

"Heh? Enak kali kau bilang gitu. Mana adil untukku Dinda. Ini penindasan namanya." Zafia meronta.

Alfa hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah muridnya. Sedangkan Zafia masih mengomel di perjalanan menuju kelas. Untung saja ruaang guru di pisah di situ. Masing-masing guru memiliki ruang pribadi di sekolah ini. Karena sekolah elite, begitulah sekiranya.

***

"Guru sialan. Bukan cuma pelajaran sialan itu yang nyebelin. Gurunya lebih nyebelin. Sial kali aku hari ini. Mana pulak ada yang berani hukum aku selain Mama. Dan nggak akan ada yang boleh," gerutu Zafia dengan memegang sapu lidi di tangannya.

Dengan kesal ia menyapu, bukannya bersih malah berserakan daun-daun dia buat.

"Daun bodoh. Kau tak bisa berkumpul di sini sendiri, hah? Bantulah aku ngumpulin kalian-kalian ini, bodoh," lanjutnya mengomeli daun-daun yang berserakan kemana-mana.

'Sialan. Kalau aku kemalaman, aku tak bisa mampir tempat mama ini,' batin Zafia.

Semua kelakuan Zafia tak luput dari pandangan seseorang. Alfa. Dia berdiri di depan kantor dengan tangan di masukkan ke saku celana. Dia sedang menunggu Dinda yang membersihkan ruangan kantor.

'Gadis aneh,' batin Alfa tersenyum tipis. Bahkan ia tak sadar tengah tersenyum saat itu.

"Pak, saya sudah selesai." Dinda membereskan roknya yang sedikit terkena debu. "Boleh saya bantu Fia? Maksudnya Zafia. Kalau dia sendiri yang kerjakan hukuman ini, bukan selesai malah pusing daunnya dengerin dia ngomel terus," ucap Dinda sambil menatap Alfa.

"Kamu pulang saja. Biar teman kamu itu kapok dan tidak mengulangi kesalahannya," ucap Alfa masih memandang Zafia yang kini melempar sapunya dan mengambil kasar daun-daun dengan tangan.

'Pak Alfa ini memang tak tahu aturan mainnya,' batin Dinda.

"Tapi, tapi Pak. Fia akan--"

"Kamu pulang sekarang atau kalian berdua saya buat tidur di sekolah malam ini?" ancam Alfa.

Dinda menelan salivanya susah payah. "Ba--baik, Pak. Saya permisi," ucap Dinda akhirnya. Alfa hanya mengangguk tanpa melepas tatapan pada Zafia.

'Sorry, Fi. Mungkin hari ini aku tak bisa temani kamu tempat Mamamu,' batin Dinda menatap Zafia dengan kaki terus melangkah.

Dia berhenti sejenak. Lalu berteriak, "Fia, aku duluan! Kau yang semangat kerjanya, biar tak kemalaman!"

"Awas kau Din. Abis kau besok!" balas Zafia yang di jawab dengan juluran mengejek oleh Dinda.

Alfa lagi-lagi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua muridnya.

Tak terasa hari sudah mulai larut. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Itu artinya, Zafia benar-benar tak bisa mengunjungi ibunya.

Dengan tangan kotor yang memegang setumpuk sampah dedaunan terakhirnya, Zafia melangkah pelan dengan sesekali meregangkan ototnya dan berjalan ke arah kran air. Rupanya di sana juga ada Alfa yang juga belum pulang.

"Apa?" tanya Alfa yang melihat Zafia mendelik ke arahnya.

Zafia hanya membalas nya dengan wajah masam. Ingin sekali ia obrak-abrik wajah tampan guru barunya ini. Mungkin kalau fisiknya tidak lelah, ia bisa membunuh gurunya ini dan menjadi psikopat tiba-tiba.

"Ayo, saya antar pulang," ajak Alfa.

"Ogah! Mendingan aku jalan kaki daripada satu mobil sama kau," ucap Zafia penuh dengan nada jengkel. Hilang sudah rasa sopan santunnya bila di depan Alfa.

"Saya hanya ingin menjelaskan kepada orang tuamu untuk perilakumu hari ini pada saya. Apa ayah ibumu tidak pernah mengajarkanmu sopan santun pada guru, ha?" ucap Alfa dengan nada dingin.

"Jangan bawa ibu saya bila itu menyangkut perilaku saya pada anda, bapak Alfa. Demi apapun itu saya tidak peduli," Zafia menjawab dengan nada tak kalah dingin.

Kemudian dia beranjak dan berlari ke depan kelasnya untuk mengambil tasnya yang sudah bertengger di kursi depan teras kelasnya. Dan berlari dengan mata memerah menahan tangis.

Menangis? Tidak! Air mata itu hanya khusus untuk ibunya bukan orang seperti Alfa.

Alfa heran dengan nada bicara Zafia. Walaupun Zafia menolak, Alfa tetap mengikuti Zafia dari belakang tanpa sepengetahuan Zafia.

_________
Bersambung

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang