Detik jam terus berputar tatkala si pemilik hati berusaha mengontrol perasaannya. Dunia seakan tidak mau tahu dengan keadaan yang terjadi, meski jauh dari dalam diri, ingin rasanya menghentikan putaran Bumi lalu diam sejenak. Merasakan bagaimana rindu yang terus menggerogoti hingga ke relung jiwa, namun tertahan dengan rasa benci yang perlahan seakan kian membesar.
Kacau. Hanya kata itu yang bisa menggambarkan perasaan Nari saat ini. Benar-benar berantakan seperti mati rasa. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk membuat keadaan membaik, setidaknya untuk sementara. Yang dilakukannya hanya terus menghindar dan menghindar. Lari dari kenyataan justru membuat perasaannya semakin kalut, entah sampai kapan.
Sudah hampir dua pekan Nari tidak bekerja di kedai kopi milik Wonu, dan selama itu pula ia mengabaikan semua panggilan dan pesan dari kekasihnya itu, kecuali di malam ketika ia bertemu Mingyu. Itupun ia hanya menyuruh Wonu untuk segera pulang ke rumah, karena ia sudah muak dengan keadaan itu. Sungguh ia benar-benar tak ingin menghadapi semua ini sendiri, tapi sangat sulit untuk menata kembali hatinya setelah rentetan fakta yang Wonu sembunyikan saat ini. Terlebih lagi kalimat terakhir Mingyu. Itu sangat menyakitkan. Terlepas benar atau tidaknya semua pernyataan Mingyu, tapi laki-laki itu sukses memporak porandakan ruang privasi Nari.
Drrttt.. drrttt.. Ponsel Nari kembali bergetar. Gadis itu sudah tahu siapa yang terus menerus menghubunginya akhir-akhir ini.Wonu. Laki-laki yang selalu mengiriminya pesan untuk bertemu baik itu di rumah ataupun di kampus. Jelas Nari tidak akan mengiyakan permintaannya, karena ia sudah berlari sejauh ini. Memang terdengar pengecut, namun apa lagi yang bisa ia lakukan ketika tidak siap menerima fakta yang jauh lebih mengerikan dari dugaannya.
Nari selalu membolos pada kelas yang juga diikuti Wonu di kampus. Ia berusaha untuk tidak menampakkan batang hidungnya di depan lelaki itu. Bahkan Nari sengaja meminta tolong pada Ibunya untuk mengatakan jika ia sedang tidak berada di rumah, tiap kali Wonu datang untuk bertemu dengannya.
"Halo?" sapa Nari pada akhirnya.
"Ya,, ada apa denganmu?" tanya Wonu di ujung telepon. Dari suaranya, Nari sudah bisa menebak jika laki-laki itu sangat frustasi. Nada suaranya begitu lemah, tidak seperti Wonu yang biasanya.
Nari menghela nafas pelan. Ia tak berniat untuk menjawab pertanyaan Wonu meski hatinya menginginkan yang sebaliknya.
"Sayang?" panggil Wonu lagi. Ini pertama kalinya ia memanggil Nari dengan panggilan itu. "Maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu, jadi aku mohon ayo bertemu denganku."
"A-apa kau menipuku selama ini?"
"Nari-ya." Nada suara Wonu memanjang diakhir dan terdengar begitu putus asa. "Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu. Aku janji."
"Baiklah, ayo bertemu."
Tanpa babibu, sedetik setelah ia memutus sambungan telepon, Nari bergegas pergi ke salah satu kafe di daerah Hongdae. Tempat yang sudah ia setujui dengan Wonu, karena setelah berpikir terlalu lama, akhirnya ia menemukan jawaban. Nari memang harus secepatnya menyelesaikan masalah ini dengan laki-laki itu. Agar dirinya juga tahu apa alasan Wonu menyembunyikan begitu banyak rahasia selama ini.
Nari kembali melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir 10 menit ia duduk berhadapan dengan Wonu, namun juga tak mendapat jawaban yang ia inginkan dari laki-laki itu. Wonu hanya mengulang kalimatnya jika ia merindukan Nari.
"Maafkan aku," kata Wonu dengan tatapan penuh harap. Sedang gadis di hadapannya hanya terus memerhatikan keadaan kafe yang mulai ramai dengan pasangan muda seusianya. "Nari-ya."
"Kenapa kau menipuku?" tanya Nari tanpa basa-basi. "Kenapa ada banyak sekali rahasia yang ada padamu, tapi tidak kau bagi denganku?"
Wonu hanya menatap Nari penuh arti. Bibirnya tertutup rapat seolah ia sedang menyiapkan urutan penjelasan yang bisa dimengerti oleh Nari. "Baiklah aku minta maaf padamu. Aku benar-benar minta maaf, karena jujur, aku berencana untuk mengubur semua masa laluku. Aku benar-benar ingin berubah."
Nari menatap Wonu yang masih fokus menjelaskan semuanya kepada dirinya. Laki-laki itu nampak tulus dan benar-benar frustasi. Ia bahkan terlihat seperti kurang tidur, karena kantung matanya begitu tebal dan sedikit menghitam. Nari menghela nafas panjang lalu sedikit menundukkan pandangannya. "Maafkan aku," ucapnya pada akhirnya.
Wonu menghentikan kalimatnya begitu mendengar kata maaf dari bibir mungil gadis di hadapannya itu. Air matanya terlihat meluncur bebas membasahi punggung tangannya ketika ia menunduk.
"Aku salah jika aku terlalu ingin tahu dengan kehidupanmu. Maafkan aku," kata Nari setelah menyeka air matanya. "Baiklah, kau tidak perlu menceritakan semua masa lalumu jika kau memang tidak ingin. Aku seperti ini karena aku merasa kau milikku, dan aku harus tahu semua tentangmu. Sekali lagi aku minta maaf jika sikapku terasa berlebihan."
"Nari-ya, kau baik-baik saja?" tanya Wonu seraya menggenggam tangan Nari diatas meja.
"Iya aku baik-baik saja. Kau tidak perlu memberitahuku semuanya. Hubungan kita mulai merenggang kau tahu? Aku tidak mau kehilanganmu, jadi bisa kita mulai semuanya dari awal?" Nari menatap Wonu penuh harap. Setidaknya langkah yang ia pilih sudah benar. Ia sadar jika tiap manusia memiliki rahasia dan masa lalunya masing-masing, jadi ia tidak berhak memaksa seseorang untuk memberitahu segalanya.
Kedua sudut bibir Wonu tertarik. Perasaannya lega bukan main. Bukan karena Nari sudah tidak ingin mengetahui masa lalunya, namun karena sikap asli kekasihnya itu sudah kembali. Sikap yang selalu ia rindukan selama ini. "Baiklah. Ayo kita mulai semuanya dari awal lagi," ucap Wonu sumringah. "Tapi aku akan tetap memberitahumu masa laluku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...