11 | Don't Wanna Cry

126 18 0
                                    

Di lain tempat, Mingyu masih berkutat dengan tugas kantor yang dibebankan ayahnya. Laki-laki itu pasti akan pergi ke kantor ayahnya jika ia sedang libur. Mingyu berusaha mengalihkan pikirannya dari pesan Nari yang memintanya untuk menjadi model iklan tugasnya bersama Wonu. Jari-jarinya bergerak cepat diatas keyboard. Berusaha menyelesaikan dengan cepat apa yang harus dikerjakan. Namun otaknya tak bisa diajak kompromi. Ia terus saja memikirkan bagaimana jika ia harus kembali bertemu dengan Wonu.

"Aiisshh." Mingyu melempar kertas disampingnya hingga berserakan ke lantai.

"Kenapa juga aku harus bertemu dengannya lagi, sialan," tambahnya.

Tiba-tiba ponselnya berdering dan nama Nari muncul di layar. Tangan Mingyu meraih dengan cepat kemudian menjawab panggilan kekasihnya itu.

"Aku pergi ke kantormu ya, kubawakan makanan," kata Nari yang sudah hapal dengan kegiatan Mingyu jika sedang libur kuliah.

"Kita bertemu di rumahku saja ya, aku akan segera pulang," kata Mingyu lalu menutup teleponnya. Laki-laki itu segera merapikan sisa berkas yang belum selesai. Kepalanya begitu pening ketika mengingat banyaknya hutang yang dimiliki oleh kantor ayahnya. Meski ia tahu, stasiun televisi milik ayahnya masuk dalam jajaran stasiun televisi paling berpengaruh di Korea, namun ia juga sadar jika kantor terus dibayangi hutang yang tidak sedikit nominalnya.

Mingyu tersenyum lalu menunduk pada beberapa staf yang masih sibuk bekerja di biliknya masing-masing lalu meninggalkan kantornya dan menuju parkiran mobil.

Pikirannya tertuju pada Nari. Ia harus melajukan mobil dengan cepat agar bisa bertemu dengan kekasihnya itu dengan cepat juga. Salah satu sudut bibirnya tertarik begitu ia berhasil menyalip truk kontainer besar dihadapannya. Mingyu begitu bahagia ketika bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan melewati puluhan mobil-mobil lain hingga tertinggal dibelakangnya. Mingyu sadar ia tidak akan bisa mengebut seperti ini jika sedang bersama Nari, karena gadis itu begitu takut dengan kecepatan dan juga ketinggian.

"Oh, Nari-ya," seru Mingyu sambil membuka kaca mobil ketika melihat Nari sedang berjalan mendekati pagar rumahnya.

Nari menoleh lalu tersenyum lebar, "Kau tepat waktu sekali."

Mingyu turun dari dalam mobil lalu membuka pagar besar yang melintang di rumahnya. Matanya teruju pada paper bag berwarna biru dalam genggaman Nari. "Apa itu?" tanyanya.

"Makanan untukmu," jawab Nari lalu segera memasuki halaman rumah Mingyu terlebih dahulu. Baginya rumah Mingyu dan seluruh isi didalamnya bukanlah tempat asing. Nari sudah terlalu sering berkunjung ke rumah Mingyu, meski terkadang laki-laki itu dengan sengaja pergi meninggalkan rumah dan pergi entah kemana.

"Kau tidak pernah bersih-bersih ya?" tanya Nari setelah meletakkan paper bag diatas meja dapur kemudian berjalan menuju ruang tamu. Ia mengambil pakaian Mingyu yang tergeletak di lantai lalu melipatnya dan membawanya menuju lemari pakaian kamar Mingyu di lantai dua. Nari sudah biasa seperti ini. Membantu merapikan rumah Mingyu, membuatkannya sesuatu untuk di makan, ataupun hanya sekedar menemani laki-laki itu bermain video game. Ia tahu betul bagaimana kehidupan Mingyu. Laki-laki itu jarang menghabiskan waktu dengan ayahnya karena pekerjaan yang sangat banyak.

"Kau tahu sendiri bagaimana penghuni rumah ini sayang." Mingyu tersenyum sinis ketika kelakuan ayahnya terlintas di otaknya. Ia berjalan mendekati meja dapur dan mengeluarkan kotak besar dari dalam paper bag.

"Tapi setidaknya kau rapikan sedikit. Ini sudah bukan rumah lagi, tapi terlihat seperti ruang tempur," kata Nari dengan tawa kecil setelah kembali dari kamar Mingyu.

Mingyu tak mempedulikan ocehan Nari. Ia justru asyik mengunyah cheese stick yang dibawakan Nari untuknya. Mingyu bermaksud untuk meggoda Nari agar gadis itu kesal dan kembali mengomel, namun ekspresi wajahnya tidak bisa diajak kompromi. Ia terus tersenyum meski Nari kini sedang memandangnya dengan tatapan kesal.

"Duduklah jika sedang makan," kata Nari pelan.

"Mingyu-ya, kau sudah pulang?" Suara ayah Mingyu terdengar samar-samar dari dapur. Nari hendak bangkit dari posisinya untuk menyambut ayah Mingyu, namun laki-laki itu menahan tangannya. Ia menggelengkan kepalanya tanpa menatap Nari dengan maksud memberi isyarat agar gadis itu tak meneruskan niatnya.

"Oh, ada Nari rupanya," kata ayah Mingyu mendapati Nari tengah duduk dihadapan Mingyu.

"Annyeonghaseyo ahjusshi." Nari beranjak dari duduknya dan membungkukkan tubuh begitu ayah Mingyu berjalan mendekati keduanya.

Mingyu menoleh dan mendapati seorang wanita sedang berdiri di samping ayahnya. Wanita itu tersenyum pada Nari. Mata Mingyu kini tertuju pada tangan wanita itu, tengah melingkar dengan nyaman pada lengan ayahnya. Mingyu mengalihkan pandangannya sambil berdesis.

"Mingyu-ya," bisik Nari sambil menyenggol pergelangan tangan kekasihnya agar bangkit dari duduknya dan memberi salam. Mingyu hanya melirik sekilas lalu kembali menyantap cheese stick-nya dengan santai.

"Mingyu-ya, jaga sikapmu!!" Suara tinggi ayahnya menggelegar seolah memenuhi ruangan. "Dimana letak sopan santunmu? Apa aku pernah mengajarimu untuk bersikap seperti ini?!!" Pria paruh baya itu sudah siap menghajar Mingyu jika wanita disebelahnya tak segera menahan langkahnya.

Mingyu melempar pelan cheese stick yang ia pegang. "Dan ibu tidak pernah mengajariku untuk berkata kasar," kata Mingyu lalu meninggalkan dapur.

Nari berdecak pelan melihat Mingyu kembali bertingkah seperti itu pada ayahnya sendiri. Padahal hari ini ia bermaksud untuk membuat hubungan Mingyu dan ayahnya kembali membaik. Ia paham betul bagaimana kacaunya keadaan sejak perceraian kedua orang tua Mingyu beberapa tahun lalu. Kekasihnya itu memang selalu menceritakan apapun padanya. Tak ada satu hal pun yang laki-laki itu tutupi, dan Nari percaya padanya.

"Permisi ahjusshi, saya akan membujuk Mingyu kembali." Nari sedikit membungkukkan tubuhnya ketika melewati ayah Mingyu dan wanitanya.

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang