46 | Us, Again

107 15 2
                                    

"Oh Nari sudah turun, kalau begitu kutinggal ke dalam ya," kata Ayah Nari lalu beranjak dari tempatnya.

Mingyu tersenyum setelah mengiyakan kalimat Ayah Nari. Kini laki-laki itu menatap gadis yang masih terpaku di hadapannya, yang sedikitpun tak ada niatan untuk duduk di samping Mingyu. "Kau tak akan duduk?" tanya Mingyu dengan senyum manisnya.

Nari menarik napas pelan, "Ada apa kemari malam-malam?" tanyanya setelah duduk dengan jarak yang tidak begitu jauh dari sofa yang diduduki Mingyu.

"Maafkan aku." Mingyu menoleh Nari. "Ini untukmu, dari Ibu." Laki-laki itu menyodorkan kotak biru muda yang dari tadi digenggamnya.

"Ini apa?" tanya Nari ketika kotak kecil itu sudah berpindah ke tangannya.

"Gelang mutiara. Kau bilang kau sangat menginginkannya." Kalimat Mingyu terputus. Ia memandang Nari yang kini tersenyum gembira di sampingnya. "Itu bukan pemberian dariku, jadi terimalah. Aku tahu kau tidak akan memakainya jika aku yang memberikan itu padamu."

Nari menoleh, "Terima kasih," ucapnya lantas tersenyum tipis. Gadis itu kembali menunduk memerhatikan gelang mutiara yang terlihat manis di dalam kotak. "Tapi aku tidak bisa menerimanya," katanya pelan.

"Kenapa?"

"Aku tidak mau menjadi beban."

"Apa maksudmu?"

"Hubungan kita sudah berakhir Mingyu-ya. Aku jadi tidak nyaman jika kau begini terus." Nari berusaha merendahkan nada bicaranya agar Mingyu tidak tersinggung dengan kalimatnya. "Aku benar-benar tidak mau jika hanya membebanimu seperti ini. Kau sudah memilih Hana bukan?"

"Nari-ya, tolong kali ini saja, jangan sebut Hana ketika kita bicara," pinta Mingyu. "Sekali ini saja aku minta kau percaya padaku."

"Baiklah aku percaya padamu. Aku sudah memaafkanmu," jawab Nari lalu tersenyum menatap Mingyu. "Tapi aku mohon, berhentilah bersikap seperti ini." Gadis itu meletakkan kotak berisi gelang pemberian Mingyu di antara posisinya dan laki-laki itu. "Jujur itu sangat menyakitiku, kau tahu?"

Mingyu tak bergeming. Kedua matanya memerah dengan sedikit air.

"Apa kau seperti ini karena Wonu?"

"Wonu?"

"Aku melihatmu di kafenya malam itu."

Kedua mata Nari membulat. Sedangkan laki-laki di sampingnya itu masih terus menatapnya dengan tatapan amat tajam. Sungguh ia tidak tahu harus merespon bagaimana.

"Kalian sudah resmi berkencan kan?" tambah Mingyu lagi. "Tidak apa-apa Nari-ya. Kau sudah bukan milikku lagi, kau bebas berkencan dengan siapa saja." Mingyu tersenyum pahit.

"K-kau melihat semuanya?"

Mingyu mengangguk. "Sepulang dari Changwon aku berencana untuk menjemputmu. Aku ingin memberikan gelang itu sekaligus meminta maaf padamu." Laki-laki itu menghentikan kalimatnya lalu menarik nafas pelan. "Aku ingin mengulang semuanya dari awal Nari-ya."

"Mingyu-ya," bisik Nari. Gadis itu menahan tangisannya. Ia benar-benar tidak bisa seperti ini. Keadaan yang dibiarkannya justru semakin lama semakin berlarut. "Apa aku salah jika sampai saat ini masih terus memikirkanmu?"

Mingyu menoleh. Ia menatap Nari yang kini menyeka air mata yang terus menjatuhi pipinya. "Asal kau tahu, selama ini aku memang terus memikirkanmu, Nari­-ya. Kau tahu aku sangat mencintaimu, dan tidak pernah ada rasa sedikitpun pada Hana."

"Kalau aku boleh egois, memang benar aku juga masih mecintaimu. Bahkan sangat mencintaimu." Nari kembali menghapus air matanya. Ia menarik nafas perlahan. "Tiap kali melihatmu bersama Hana, jujur saja hatiku rasanya sangat sakit. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu, atau setidaknya aku harus bisa bernafas lega jika berpapasan kembali denganmu dan Hana." Nari menatap dalam kedua mata Mingyu. "Tapi aku tidak bisa."

"Dengarkan aku kali ini, aku mohon."

"Baiklah. Jelaskan semuanya," kata Nari pada akhirnya. Sejujurnya ia selama ini tidak benar-benar paham dengan segala penjelasan Mingyu tentang Hana. Yang ada di otaknya, laki-laki itu memang sengaja meninggalkannya demi Hana.

"Perusahaan Ayah hampir bangkrut, dia menyuruhku memacari Hana, karena dia anak pemilik stasiun Radio ternama. Dengan cara itu, dia pikir bisa membantu menaikkan kembali saham perusahaan yang hancur. Aku tidak mengerti kenapa aku yang harus melakukan ini semua untuknya, sedangkan dirinya sendiri hanya bisa bermain wanita." Mingyu mengacak rambutnya frustasi.

"Jadi semua ini hanya suruhan Ayahmu?" tanya Nari pelan. "Kau tidak benar-benar menginginkan Hana?"

Mingyu mengangguk.

"Kenapa kau mau?"

"Apa?"

"Iya, jika kau tidak suka, lalu kenapa kau mau melakukan itu semua?"

"Sudah berapa kali aku menolaknya. Justru aku yang jadi bulan-bulanannya. Kau tahu sikap Ayahku bagaimana, sejujurnya aku terlalu malas jika terus-terusan bertengkar dengannya."

"Mingyu-ya," panggil Nari. Laki-laki di sampingnya itu kemudian menoleh. "Maafkan aku."

"Kini kau percaya?"

"Hmm." Nari menelan paksa air liur di mulutnya. "Jika aku percaya padamu sejak saat itu, apa kini kita masih bisa bersama?"

"Nari-ya," panggil Mingyu.

"Aku sadar kita tidak bisa seperti ini. Kalau boleh jahat, mungkin aku sudah merebutmu kembali dari Hana."

"Nari-ya." Kini Mingyu menggenggam tangan Nari agar gadis itu tidak terus berbicara. "Izinkan aku memelukmu, aku janji ini jadi yang terakhir. Setelah itu aku tidak akan menganggumu lagi."

Nari tidak menjawab kalimat Mingyu. Ia hanya sibuk memandangi manik mata laki-laki di hadapannya itu. Tatapan mata yang sangat amat ia rindukan selama ini. Tanpa pikir panjang lagi, dengan cepat ia memeluk tubuh Mingyu dan menenggelamkan wajahnya di sana. "Aku benar-benar merindukanmu Gyu," ucapnya dengan isak tangis. Sedang laki-laki yang dipeluknya tak berniat berbicara sedikitpun. Ia hanya mengusap pelan puncak rambut Nari.

"Kau," kalimat Mingyu terputus. Laki-laki itu menghela nafas pelan. "Kau sangat mencintai Wonu?" tanya Mingyu pada akhirnya. Membuat Nari melepaskan pelukannya yang singkat.

Jauh dari dalam hatinya, sebenarnya Nari sadar akan hal itu. Dimana ia tidak bisa memiliki keduanya. Ia tetap harus menentukan pilihannya, karena meski terdengar egois, faktanya ia tak mau kehilangan keduanya. "Iya. Aku sangat mencintai Wonu," jawab Nari lalu menjauh dari tubuh Mingyu. "Aku minta maaf."

"Yasudah kalau begitu. Aku pulang ya," kata Mingyu kemudian beranjak dari posisinya. "Jangan tidur malam-malam." Laki-laki itu tersenyum kemudian berjalan melewati Nari menuju pintu depan.

"Mingyu-ya" panggil Nari begitu langkahnya sudah tepat berada di balik tubuh tinggi Mingyu.

"Apa?"

"Sebaiknya kau bawa ini," kata Nari seraya menyodorkan kotak gelang mutiara yang sengaja Mingyu tinggalkan. Laki-laki itu hanya melirik sekilas tanpa ada pergerakan sama sekali. "Ya! Bawa saja ini." Nari berjalan mendekati Mingyu lalu memaksanya untuk menggenggam kotak gelang.

"Kau benar-benar tak akan mengambilnya?" tanya Mingyu sekali lagi.

Nari menganggukkan kepalanya, kemudian sedikit mendongak. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini baik-baik. Kau bi," Nari menghentikan kalimatnya begitu bibir Mingyu menyentuh bibirnya. Jantungnya berdetak amat kencang, seirama dengan pergerakan tangan Mingyu yang kini menempel pada kedua pipinya.

"Sekali ini saja," bisik Mingyu lirih setelah sedikit menjauhkan bibirnya dari wajah Nari. Gadis di hadapannya tak berkedip. Yang terasa hanya tatapannya jatuh semakin dalam pada diri Mingyu.

"Baiklah," jawab Nari lirih kemudian mengalungkan kedua tangannya pada leher Mingyu.


Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang