"Eunji-ya, kau merasa jauh lebih baik sekarang?" tanya Wonu memecah keheningan. Laki-laki itu berdiri di depan lemari kaca besar. Menghadap sebuah pigura berisi foto keluarganya yang masih lengkap. "Kedua kakakmu sudah disini sekarang. Kau tahu jika memiliki kakak perempuan kan? Dia sangat cantik dan ceria, persis sepertimu." Wonu menghentikan kalimatnya. Ia menoleh Nari yang berdiri di belakangnya dengan air mata berlinang. "Eunji-ya, kau ingat kan jika aku pernah kesini dengannya waktu itu? Iya, ternyata dia kakakmu. Jangan terkejut ya," ucap Wonu dengan senyumannya yang justru terasa amat perih.
Nari ingat betul ketika menemani Wonu pergi mengunjungi Eunji disini. Rasa takutnya begitu besar hingga Wonu harus menggenggam tangannya untuk pertama kali demi sampai tepat waktu di ruangan Eunji. Semua masih terekam jelas di ingatannya. Tidak ada satupun yang terlupa. Setiap kenangan bersama Wonu meski itu menyebalkan, masih tersimpan rapi. Setiap waktu yang ia habiskan bersama laki-laki itu terasa sangat menyenangkan dan nyaman. Hari demi hari yang ia lalui terasa begitu cepat hingga akhirnya ia mengetahui semua fakta yang terkubur puluhan tahun lamanya.
Waktu kepindahannya semakin dekat, dan Nari masih belum bisa melepaskan semuanya. Semua kenangan di Korea terasa berat untuk ditinggalkan. Sekuat apapun dirinya mencoba, ia masih tetap tidak berhasil. Bahkan mencoba berdamai dengan diri sendiri pun terasa sangat sulit dilakukan.
"Mingyu-ya," ucap Nari begitu berpapasan dengan Mingyu di pintu keluar. "Apa yang kau lakukan disini?"
Mingyu justru menatap Wonu penuh arti. Wonu mengerti apa maksud kedatangan Mingyu dan mempersilakan laki-laki itu untuk mengunjungi Eunji. "Kita tunggu diluar," bisik Wonu pada Nari kemudian berjalan lebih dulu.
"Terima kasih sudah mau ikut denganku." Wonu membuka minuman kalengnya. Ia bersandar pada kursi panjang di bawah pohon yang tidak jauh dari rumah abu. Matanya tertuju pada lapangan luas di depannya. "Dulu aku dan Eunji suka berlarian di lapangan itu setiap kali menemani Ayah mengunjungi Kakek."
"Benarkah?" Nari tersenyum miris. "Seandainya kita tidak terpisah, mungkin aku bisa bermain sepuasnya denganmu seumur hidupku."
Wonu menoleh gadis yang duduk di sampingnya itu. "Kau sudah baik-baik saja?"
"Hmm, sedikit. Maafkan aku jika aku terlalu kekanak-kanakan selama ini."
"Aku mengerti. Jujur, itu juga sulit untukku. Menerimamu sebagai adikku jauh lebih sulit dibanding memaafkan Mingyu." Wonu kembali menatap lapangan. "Aku tidak pernah mengira jika mencintaimu bisa sesakit ini," tambahnya.
"Wonu-ya, seandainya kita tidak memiliki perasaan satu sama lain, apakah ketika mengetahui hal ini keadaan akan tetap canggung??" tanya Nari tiba-tiba.
"Entah, karena kalau boleh jujur, aku tidak akan pernah mau menerimamu sebagai adikku. Lebih baik aku tidak pernah tahu, karena aku ingin mengenalmu sebagai Hwang Nari, bukan Jeon Nari."
Nari terdiam mendengar jawaban yang keluar dari bibir Wonu. Semuanya masih terdengar tulus. Jawaban laki-laki itu tidak pernah berubah meski Nari sudah menanyakannya berkali-kali.
"Terima kasih karena sudah lahir dan hadir di hidupku," ucap Wonu diringi senyum. "Tidak pernah terbayangkan olehku jika aku tidak pernah bertemu denganmu, karena denganmu, aku merasa jika tidak semua hal buruk pada masa lalu kita memberikan dampak yang buruk juga di masa yang akan datang. Karena dirimu juga, aku jadi belajar untuk memaafkan semua kesalahan yang terjadi di masa lalu. Yang selama ini selalu menghantuiku kemanapun. Berkatmu, aku jadi semakin belajar untuk menghargai hidupku dan terbuka kepada orang terdekatku."
Nari tersenyum tipis. Rasa sakitnya perlahan menghilang begitu mendengar rentetan kalimat yang diucapkan Wonu. Ia tahu semua itu adalah isi hatinya selama ini yang tidak pernah Wonu ungkapkan kepadanya.
"Aku tulus menyayangimu. Aku berusaha melakukan yang terbaik untuk hubungan kita kedepannya." Kali ini Wonu menatap lekat-lekat kedua mata Nari. "Kau pantas mendapatkan yang terbaik."
"Terima kasih," jawab Nari tersipu. "Aku harap kita akan baik-baik saja melewati ini semua."
"Lalu kapan kau akan pindah?"
"Hmm, mungkin lusa."
"Apa yang membuatmu tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke Jepang? Apa karena aku?" tanya Wonu lagi.
"Jika kau tanya begitu, maka jawabannya iya."
"Kau serius?"
"Apa lagi yang bisa kulakukan untuk melupakanmu selain pergi menjauh," jawab Nari kemudian tertawa kecil. "Sejak mengetahui jika kita ternyata saudara kandung, sangat sulit bagiku untuk bertemu denganmu. Tiap kali melihatmu, aku selalu teringat semua hal yang sudah kita lakukan. Rasanya tidak etis saja melakukan hal yang seharusnya tidak kita lakukan sebagai saudara."
"Tidak bisakah kau tetap di sini saja?" pinta Wonu lagi. Ia sudah meyakinkan dirinya untuk memohon pada Nari sekali lagi.
"Maaf, keputusanku sudah bulat. Aku janji aku tidak akan membencimu dengan alasan apapun," jawab Nari meyakinkan laki-laki di sebelahnya yang kini tertunduk.
"Apa kau benar-benar akan pergi?"
"Kau tidak akan membiarkanku pergi?"
Wonu tak bergeming. Sudut bibirnya tertarik memaksakan senyuman yang sebenarnya tidak ingin ia tunjukkan. "Sejujurnya aku tidak ingin kau pergi. Masih ada banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu."
"Aku pernah dengan egois berpikir, bagaimana jika aku tidak peduli dengan semuanya? Bagaimana jika aku ingin tetap bersamamu sebagai wanitamu bukan adikmu? Aku akan terus mencintaimu sampai akhir hayatku apapun yang terjadi. Setelah itu semua aku mendapatkan jawabannya. Jika aku meneruskan semuanya, itu berarti aku terlalu berani untuk menentang Tuhan." Nari menghela nafasnya. Terasa berat, dan Wonu menyadari hal itu. "Kita sudah berjalan sejauh ini, dan kita tidak bisa melawan takdir. Kita harus benar-benar menyelesaikan semuanya. Kau mengerti kan?"
Wonu mengangguk paham. Ia setuju dengan semua pernyataan Nari. Dirinya terlalu berani untuk menentang Tuhan jika ingin meneruskan semuanya. Ia tidak mau lagi hidupnya berantakan untuk yang kedua kali. "Baiklah. Ayo kita selesaikan disini."
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...