21 | Unfinished

109 15 0
                                    

Aroma tanah menyeruak begitu air hujan sukses membasahi bumi. Berpadu dengan aroma kopi panas yang memenuhi cangkir putih diatas meja. Sosok laki-laki yang termenung di teras rumah kini meraih cangkir kecil yang sedari tadi tak disentuhnya itu. Menghirup sekilas kemudian menyeruput kopi didalamnya. Rasa hangat kini memenuhi tenggorokan dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia suka aroma kopi, dan ia sangat suka dengan kopi panas. Mengingatkan laki-laki itu pada ayahnya yang telah lama tiada.

Hujan selalu mengingatkannya pada sang ayah. Terlebih hujan di musim semi. Entah kenapa, sekuat apapun ia berusaha melupakan, namun tak pernah berhasil. Otaknya selalu berhasil menangkap kenangan pahit dalam hidupnya. Kenangan yang berhasil menggoreskan luka teramat dalam di lubuk hatinya. Perih? Sangat. Jujur saja hingga kini ia masih bisa merasakan bagaimana perih hatinya ketika itu. Tangisan ibunya yang memenuhi ruangan begitu menyayat hatinya. Rentetan peristiwa kelam hari itu masih bisa ia ingat hingga kini. Entah sampai kapan.

"Wonu-ya, tolong eomma sebentar." Suara lemah dari wanita paruh baya terdengar dari dalam rumah. Membuat laki-laki itu dengan cepat bergegas kedalam kamar ibunya.

"Tolong ambilkan air itu untukku." Wanita yang terbaring lemah diatas ranjang itu menunjuk segelas air diatas meja yang tak bisa dijangkaunya. Dengan sigap Wonu mengambil gelas berisi air lalu membantu ibunya untuk minum. Sudah 2 hari ini ibunya jatuh sakit, mungkin kelelahan. Wonu tahu jika ibunya memaksa untuk bekerja membantu tetangga sebelah rumah untuk menyelesaikan rangkaian bunga pesanan. Ia tak bisa melakukan apapun. Itu semua keinginan ibunya, meski berulang kali Wonu sudah melarang agar ibunya tetap di rumah untuk menjaga kesehatan, namun tak dihiraukannya.

"Eomma, berhentilah bekerja. Biar aku saja," kata Wonu setelah mengembalikan gelas keatas meja. Ia duduk di samping ranjang ibunya.

"Tak apa. Aku suka jika kau perhatian seperti ini padaku." Wanita paruh baya itu tersenyum lemah. "Kalau saja ayahmu masih ada, mungkin dia akan marah denganku karena sudah jatuh sakit."

Wonu tak bergeming. Luka di hatinya kini terasa seperti ditaburi garam. Semakin perih. Ia sebenarnya tipikal laki-laki yang tidak mudah menangis, namun kali ini ia kalah. Entah kenapa tiap kali ibunya membahas ayahnya, hatinya terasa seperti diiris. Tak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya tidak hadir dalam keluarga ini, mungkin ibunya harus menanggung beban seorang diri. Menyaksikan kejadian mengerikan dan tak ada seorangpun yang bisa melindunginya.

"Seandainya saat itu aku tidak pergi menghajar laki-laki itu, mungkin ayah masih ada sampai sekarang." Wonu menitikkan air matanya. Kepalanya menunduk menahan tangis yang siap membuncah. Masih ada sedikit dendam didalam hatinya. Hanya karena seseorang, keluarganya menjadi berantakan seperti sekarang ini.

"Wonu-ya, aku tidak pernah mengajarimu untuk jadi seperti itu. Aku tidak suka kejadian itu terulang kembali." Tangan wanita itu mengusap pelan punggung tangan Wonu ditepi ranjang. Kerutan tipis di wajahnya seolah menghilang ketika melihat wajah anak laki-lakinya itu kini tersenyum tipis. Sosok laki-laki yang selama ini menjaganya dan melindunginya dengan penuh kasih meski tertutup dengan sikap dingin.

"Baiklah eomma."

"Akhir-akhir ini kau berubah menjadi sedikit hangat padaku, ada apa?" Kali ini ibunya menggoda Wonu dengan sentuhan lembut pada dagu laki-laki itu. Wonu menjauhkan sedikit kepalanya seraya menahan senyum.

"Seseorang pernah berkata padaku untuk lebih sering menyapa orang tua."

"Siapa?"

"Salah satu pelangganku. Orangnya mirip sekali dengan ayah."

Pembicaraan keduanyapun terus berlanjut hingga bagaimana salah satu pelanggan yang Wonu maksud, memintanya untuk menerima putrinya bekerja di kafe.

Tiba-tiba ponsel Wonu bergetar dan nama Seokmin muncul di layar. Ia segera menjawab panggilan laki-laki itu kemudian berjalan pergi keluar kamar. "Ada apa?"

"Hyung, besok aku tidak bisa bekerja, aku harus menjenguk ibuku di rumah sakit," kata Seokmin diujung telepon. Suara laki-laki itu terdengaar kurang baik. Sedikit serak dan berat seperti sehabis menangis.

"Apa ibumu kambuh lagi?" tanya Wonu panik. "Ya sudah kita pergi kesana sekarang, akan kuantar."

"Tidak usah hyung. Aku akan pergi sendiri. Lagipula jika kau ikut nanti aku malah merepotkanmu."

"Tidak apa-apa. Aku akan ke kafe sekarang, kau masih disana untuk bersih-bersih kan?" Wonu memastikan, karena sebelumnya ia meninggalkan Seokmin lebih dulu untuk pulang ke rumah. Laki-laki itu selalu membersihkan kafe setiap jam 11 malam ketika akan tutup. Biasanya Wonu juga akan membantunya untuk merapikan meja dan barang-barang lain, hanya saja malam ini ia ingin menjaga ibunya.

"Tidak perlu hyung¸sungguh. Atau mungkin kau membantuku merapikan kafe saja, hehe." Terdengar tawa kecil yang dipaksakan dari ujung telepon.

"Baiklah. Aku akan kesana sekarang." Wonu memutus sambungan telepon kemudian kembali ke dalam kamar. Ia memandang sekilas ibunya yang masih terbaring lemas diatas ranjang. "Eomma, jika aku tinggal ke kafe, tidak apa-apa?" tanyanya ragu.

Wanita lemah itu tersenyum tipis kemudian mengangguk. "Tidak apa-apa. Eomma akan tidur setelah kau pergi."

"Ya sudah aku pergi dulu." Wonu menutup pintu perlahan kemudian berlari kecil menuju halaman.

Laki-laki itu mengambil leather jacket berwarna putih dengan aksen hitam dikedua lengan kemudian segera mengenakannya. Ia berjalan menuju motornya yang sudah terparkir rapi sejak pagi di samping rumah. "Kajja," serunya begitu duduk diatas motor.

Pikirannya melayang menuju beberapa tahun silam ketika ia masih berada di Changwon. Ia sering sekali mengendarai motor dengan teman-teman sekolahnya hanya untuk balapan. Menggoda para gadis dan juga taruhan untuk mendapatkan salah satunya. Wonu memang memiliki geng motor jauh sebelum pindah ke Seoul. Ada banyak anggotanya, mulai dari adik kelas hingga yang lebih tua pun ada. Sedangkan dirinya sendiri adalah ketuanya.

Berkelahi dengan siswa sekolah lain merupakan hal biasa baginya. Jumlah musuhnya mungkin sudah tak terhitung lagi. Bolos sekolah, memalak murid kelas sebelah, hingga memacari banyak gadis merupakan kebiasaannya. Dan yang pasti, Wonu selalu merasa bangga jika orang lain mengakui kekuasaannya.

Siapa yang tidak kenal Wonu dari SMA Changwon? Tidak ada. Satu sekolah amat sangat mengenalinya. Murid jenius yang tampan, dengan nilai nyaris selalu sempurna. Meski begitu, kelakuan nakalnya tidak bisa dikontrol. Bahkan siswa sekolah lain sampai memberinya julukan si pilot pemberontak, karena menganggap Wonu mampu mengendalikan dan mengomando seluruh anggota gengnya hanya dengan satu kata, namun tetap tak bisa menyembunyikan kepintarannya ketika berada di kelas.

Disisi lain, Wonu melupakan sesuatu yang amat penting bagi hidupnya. Ia terlalu terbuai dengan semuanya, hingga ia tak pernah menyadari jika sikapnya saat itu membahayakan seseorang ketika ia sudah lulus.


Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang