Nari menutup sambungan teleponnya dengan diiringi senyum. Matanya masih tertuju pada layar ponselnya yang dihiasi dengan foto Mingyu disana. Senyumnya masih terus merekah hingga ia merasa jika perutnya berbunyi minta segera diisi.
"Rasanya lapar sekali," gerutu Nari sambil berjalan turun kearah dapur.
Gadis itu membuka kulkas besar berharap menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Hanya saja sepertinya hari ini adalah hari sialnya. Di kulkas hanya ada beberapa botol air dingin dan juga sayur mentah. Ia memutar bola matanya lalu menutup pintu kulkas. Tak ada satupun makanan di rumahnya.
"Apa sebaiknya aku pesan saja," katanya lalu mencari nomor telepon kedai ayam langganan keluarganya pada buku telepon yang terletak diatas meja. Matanya menelusuri tiap kata yang ada pada buku telepon. Ini semua demi perutnya yang terus berbunyi. Namun tiba-tiba terbersit sesuatu di kepalanya. Kenapa ia tak langsung membelinya saja ketimbang pesan. Selain itu ia juga bisa sekalian cuci mata bukan.
"Baiklah, mari kita pergi mencari ayam," kata Nari lalu kembali menuju kamarnya untuk mengambil sweater.
Nari kini sudah siap dengan dompet dan juga ponselnya yang sudah ia masukkan ke dalam sling bag. Hari ini ia tidak akan menggunakan mobil kesayangannya. Alasannya sederhana, ia hanya ingin menikmati setiap meter perjalanannya ketika mencari ayam.
"Ne appa, aku sudah di halte." Nari mengarahkan pandangannya menuju bus yang kini tengah melaju pelan ke tempatnya berdiri, "Kututup ya, busnya sudah datang." Ia mematikan sambungan telepon kemudian memasuki bus yang pintunya sudah terbuka. Tangannya kini sibuk mencari kartu yang biasanya ia gunakan untuk membayar ketika naik bus. Nari mulai panik ketika orang di belakangnya memintanya untuk menyingkir dari mesin. Ia menggeser tubuhnya tepat ke samping tiang pada mesin.
"Nona, jika tidak ingin kau bisa turun," kata sopir bus yang mulai kesal dengan tingkah Nari. Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Sebentar ahjusshi, kartuku tidak ada," jawab Nari sambil terus mengeluarkan seluruh isi tasnya.
Biiibb
Tiba-tiba suara mesin berbunyi begitu seorang laki-laki menempelkan ponselnya pada mesin, "Untuk dua orang." Kemudian berjalan menuju kursi kosong, meninggalkan Nari yang masih kebingungan.
"Baiklah, silahkan duduk nona," kata sopir bus lalu melajukan kendaraannya.
Nari sedang tak salah lihat, apalagi mengigau. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan pada dirinya sendiri siapa orang yang baru saja membantunya. Jeon Wonwoo. Ia tak salah lagi. Laki-laki yang baru saja membayarkan tagihan busnya adalah Wonu.
Ia segera mempercepat langkahnya untuk mendekati Wonu yang memilih duduk di dua barisan akhir tepat di samping jendela. Kursi yang bisa ditempati untuk dua orang. Meski hatinya begitu ragu, tapi akhirnya Nari berhasil juga duduk di samping Wonu yang tengah asyik membaca bukunya. Laki-laki itu tetap tak bergeming meski kursi di sampingnya sudah terisi.
"Hei," ucap Nari lirih. Saking lirihnya mungkin hanya dirinya sendiri yang bisa mendengarnya.
"Wonu-ssi." Nari mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada bahu Wonu.
Wonu menoleh sebentar kemudian kembali membaca bukunya, "Apa?"
Nari menghela nafas. Mungkin ada alasan lain kenapa Tuhan selalu mempertemukannya dengan laki-laki menyebalkan ini. Salah satunya adalah sabar menghadapi Wonu. Ya, mungkin memang seperti itu seharusnya. Nari jadi semakin ragu untuk meneruskan niatnya berterima kasih. Meski ia ingat betul dengan apa yang diajarkan kedua orang tuanya adalah untuk tidak lupa mengucapkan terima kasih.
"Gomawo," ucap Nari lirih. Ia tak mau lagi melihat ekspresi super datar dari Wonu. Kini matanya tertuju pada pemandangan yang terlihat dari jendela yang terletak di seberang kursinya. Otaknya terus berpikir keras tentang laki-laki dingin di sampingnya. Ternyata Wonu tak seperti yang ia kira. Setidaknya Wonu masih mau membantunya meski pertemuan pertamanya dengan laki-laki itu tidak bagus.
"Nanti akan kuganti." Suara Nari terdengar semakin lirih.
Wonu kembali menoleh, "Bukankah memang seharusnya begitu?" katanya sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
Nari menahan luapan rasa kesalnya. Seharusnya paling tidak Wonu harus mengatakan agar ia tak perlu memikirkan itu dan bisa menggantinya kapan saja, supaya perasaan tak enak bisa lepas dari pikirannya.
Suasana hening. Nari dan Wonu sama-sama diam. Keduanya sibuk dengan lamunan masing-masing. Nari terlihat risih dengan keadaan seperti ini, terlebih tujuannya masih cukup jauh. Otaknya terus berpikir sebaiknya membicarakan hal apa dengan Wonu agar keadaan tidak sekaku ini, karena ia merupakan orang yang tidak bisa diam meski sedang menunggu.
"Kau mau kemana?" Akhirnya pertanyaan itulah yang terlontar dari bibir mungilnya. Matanya melirik Wonu yang terlihat begitu enggan menjawab pertanyaannya.
"Perpustakaan umum."
Mata Nari membulat. Ia cukup kaget dengan jawaban Wonu. Untuk kesekian kalinya, ia menemukan sisi lain Wonu. Laki-laki itu mungkin terlihat dingin dan tak pedulian, namun fakta menunjukkan hal yang berbeda.
"Ternyata kau tertarik ke perpustakaan juga ya, hehe." Nari terkekeh bermaksud mencairkan suasana, namun nampaknya semua usahanya sia-sia. Wonu kembali diam tak menghiraukannya. Gadis itu sudah menyerah dengan Wonu. Mencoba akrab pun sepertinya akan sangat sulit pikirnya.
Nari bersiap akan turun begitu sadar jika laju bus mulai melambat dan berhenti pada halte di sebelah kanan. Ia sudah berjalan menjauhi kursi dan juga Wonu. Tiba-tiba langkahnya terhenti begitu Wonu juga berjalan dibelakangnya seolah mengikuti setiap langkah kakinya.
"Kau mengikutiku ya?" pekik Nari saat Wonu terus mengikutinya dari halte hingga di depan kedai ayam.
Wonu memandang gadis di depannya tanpa ekspresi, "Sudah kubilang aku mau ke perpustakaan," ucapnya lalu mulai menjauh dari tubuh Nari dan berjalan menuju zebra cross.
Wajah Nari memerah. Ia benar-benar malu dengan tingkahnya sendiri. Matanya tertuju pada Wonu yang mulai memasuki pintu besar perpustakaan yang terletak tepat di seberang jalan dari kedai ayam.
"Ah terserah lah," serunya lalu berlari kecil memasuki kedai ayam.
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...