Mingyu kembali menenggak kopinya seraya menghirup udara segar di teras rumahnya. Ya, teras rumahnya di Changwon lebih tepatnya. Laki-laki itu sengaja menghabiskan waktu liburnya selama 3 hari disana. Menjauhi segala keramaian di kota Seoul, dan menghilang dari Ayahnya meski hanya untuk sementara.
Sejauh ini, perasaannya cukup tenang. Selain bisa melepas penat, ia juga bisa bertemu dengan Ibunya. Wanita yang sangat ia rindukan selama ini. Wanita yang ia tinggalkan demi menjalani kehidupan yang lebih layak menurut Ayahnya.
Jika ia mengingat bagaimana Ibunya menangis tersedu-sedu dan memeluknya dengan erat, hatinya justru terasa sangat sakit. Ketika untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, akhirnya Mingyu menginjakkan kaki di rumahnya lagi.
"Mingyu-ya, ayo makan dulu," kata Ibunya dari dalam rumah.
Mingyu menoleh sekilas, "Baiklah."
"Hari ini Ibu buatkan Pancake Kimchi kesukaanmu," kata wanita itu begitu Mingyu berjalan mendekat kearah meja makan. "Hari ini kan hari terakhirmu disini, jadi kau harus makan dengan baik."
"Ibu masih ingat ternyata." Mingyu tersenyum pahit. Bagaimana ia bisa begitu tega meninggalkan wanita yang sudah berjuang untuk hidupnya tinggal sendiri seperti ini. Bahkan ketika beranjak dewasa dan sudah bisa mengendarai mobil pun, ia tak pernah sempat untuk mengunjungi Ibunya. "Maafkan aku Bu," katanya.
"Sudahlah. Ibu tidak mau kau sedih terus seperti itu. Cepat makan, nanti dingin."
Mingyu tersenyum. Ia akan menuruti apapun permintaan Ibunya saat ini. Termasuk untuk tidak mengungkit kembali masa lalu, dan masa-masa berat yang sudah dilalui Ibunya selama ini. Ia akan memastikan agar Ibunya selalu bahagia sampai akhir hayat. "Setelah ini aku akan langsung kembali ke Seoul ya," kata Mingyu pelan.
"Baiklah. Jika ada waktu libur, sering-seringlah kesini. Apa kau tega melihat Ibumu seperti ini?" goda Ibu Mingyu lalu tertawa kecil.
"Baik Eomma. Aku mengerti." Mingyu tersenyum.
"Bagaimana Nari?" tanya Ibunya tiba-tiba.
"Entahlah."
"Kau masih mencintainya?"
"Sangat." Mingyu menelan potongan terakhir Pancake Kimchi-nya. "Aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa disaat seperti ini. Kalau ditanya seperti itu, jawabanku sama. Aku masih tetap, dan sangat mencintainya."
Ibu Mingyu tak bergeming. Wanita itu hanya bisa mendengarkan cerita anak laki-lakinya itu tanpa bisa melakukan sesuatu yang berarti untuknya.
"Rasanya sangat sakit saat aku melihat ekspresinya waktu itu. Dia benar-benar menahan tangisannya ketika Hana memeluk lenganku." Mingyu menghentikan kalimatnya. "Padahal sejauh ini Nari tidak pernah menuntutku yang macam-macam, dia akan selalu senang meski hanya duduk bersebelahan denganku." Laki-laki itu kini menatap Ibunya.
"Eomma, aku laki-laki brengsek bukan?" tanyanya dengan mata merah."Kau harus mengatakan yang sejujurnya pada Nari." Tangan wanita itu menggenggam lembut tangan Mingyu yang terasa dingin. "Dan juga pada Ayahmu. Mereka harus tahu jika sebenarnya kau tidak menginginkan hal ini terjadi."
"Aku sudah mengatakannya pada Nari eomma, tapi dia tidak percaya. Lagipula, sekarang dia dekat dengan Wonu."
"Wonu?" pekik Ibu Mingyu. "Kalian bertemu lagi?"
"Hmm." Mingyu menganggukkan kepalanya. "Nari sekarang bekerja di kafe miliknya. Dan kurasa mereka semakin dekat sejak aku memutuskan Nari waktu itu."
"Kenapa?" Terlihat jelas dari raut wajah Ibunya yang sangat bingung.
"Aku cemburu melihat Nari dan Wonu di Jinhae. Aku menyesal eomma. Nari sangat tulus, bahkan dia memohon padaku untuk mendengarkan penjelasannya lebih dulu, tapi aku justru menyakitinya." Mingyu tidak sanggup lagi menahan air matanya. Pipinya basah, kemudian dengan cepat ia menyekanya. "Aku sudah minta maaf padanya berkali-kali, tapi kurasa dia masih marah."
"Mingyu-ya, bukannya Ibu mau menyalahkanmu, tapi Ibu mohon, tolong hilangkan sikap kasarmu itu. Ibu tahu kau sangat menyesali semuanya sekarang, tapi tidak ada kata terlambat untukmu memerbaiki keadaan dengan Nari." Ibunya tersenyum. "Kau mengerti apa maksud Ibu?"
Mingyu mengangguk paham. Yang diakatakan Ibunya memang benar. Tidak pernah ada kata terlambat untuk melakukan sesuatu. Kini ia sadar betul jika hubungannya dengan Nari berakhir seperti ini adalah salahnya sendiri. Jika saja saat itu ia mau mendengarkan penjelasan Nari dan tidak memutuskannya secara sepihak, mungkin saja sekarang ia masih bisa merasakan kasih sayang gadis itu. "Baiklah, aku akan menemuinya nanti." Laki-laki itu tersenyum.
"Berikan ini untuknya." Ibu Mingyu menyodorkan kotak cantik yang berisi gelang berhiaskan mutiara. "Kemarin Ibu membeli ini ketika belanja di toko di ujung jalan sana, dan kupikir Nari akan menyukainya."
"Wahh terima kasih Eomma." Mingyu mengambil gelang dari dalam kotak berwarna biru muda, warna kesukaan Nari. "Gelangnya sangat cantik."
"Ingat, jangan pernah membiarkan emosi dan amarah menguasai dirimu. Jangan sampai orang yang sangat menyayangimu terluka karena hal itu."
"Iya aku mengerti. Kalau begitu aku pergi dulu." Mingyu meletakkan kotak berisi gelang tadi ke dalam tasnya kemudian berjalan keluar menuju halaman.
"Apa kau akan langsung ke rumah Ayahmu? Atau ke Apartemenmu?" tanya Ibu Mingyu yang kini berdiri di samping mobil Mingyu.
"Sepertinya aku akan ke Apartemenku saja, lalu malamnya menjemput Nari bekerja."
"Ya baiklah. Semoga berhasil sayang." Ibu Mingyu mengepalkan tangan kanannya untuk menyemangati putra satu-satunya tersebut.
"Aku pergi dulu Eomma. Jaga diri baik-baik ya," kata Mingyu setelah menyalakan mesin mobil.
"Iya iya Ibu tahu. Hati-hati di jalan." Wanita itu tersenyum lebar seraya melambaikan tangannya pada mobil Mingyu yang perlahan menghilang dari pandangannya.
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Фанфикapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...