Ekspresi Nari berubah drastis mendengar kalimat Wonu. Ia mengalihkan pandangannya kembali menuju jendela. Seolah laki-laki itu sengaja membuat otaknya kembali memutar setiap kalimat menyakitkan yang keluar dari bibir ayahnya, dan dengan sadar mengambil semua fasilitas miliknya.
"Sejak ayahku memintaku untuk bekerja di tempatmu, semua fasilitas pun diambilnya." Nari menghela nafas.
"Lagipula kenapa juga ayahku tiba-tiba berpikiran seperti itu. Sejak kapan kau mengenalnya?" kini mata gadis itu tertuju pada Wonu yang masih memandangnya.
"Sudah lama. Ayahmu sering berkunjung, orangnya ramah dan hangat. Aku suka." Untuk pertama kalinya sejak pertemuannya dengan Wonu, Nari melihat laki-laki itu kini tersenyum hangat. Sangat amat hangat dan juga manis. Jauh dari sikap kasar dan juga menyebalkan yang sering ia tunjukkan. "Dia mengingatkanku pada ayahku."
"Benarkah? Apa yang mirip?"
"Sikap dan kebiasaannya. Dulu ayahku selalu minum kopi dan makan beberapa potong kue kering atau biskuit setiap pagi. Sama seperti ayahmu." Wonu kini tersenyum pahit. "Aku merindukan ayahku, kupikir jika aku mengiyakan permintaannya untuk menerimamu bekerja di kafe milikku, aku akan lebih sering lagi bertemu dengannya."
"Ayahmu pergi kemana?" Nari meraih ponsel lalu membuka pesan dari Sujeong.
"Pergi ke tempat yang jauh." Wonu mengerjapkan matanya beberapa kali agar bulir bening tak jatuh dari tempatnya. "Di dekat Tuhan."
Kedua mata Nari membulat. Ia menahan nafasnya. Dengan perlahan ia memasukkan kembali ponselnya kedalam tas lalu berusaha memikirkan kalimat apa yang pantas dikeluarkan setelah ia dengan sengaja menanyakan keberadaan ayah Wonu. Otaknya terus berpikir hingga keringat dingin mulai muncul di dahinya. Tangan kanannya menyeka bintik-bintik air yang mulai menjalar ke pipinya.
"Tidak apa-apa. Kau tidak perlu merasa bersalah," kata Wonu tiba-tiba. Seolah ia tahu dengan perasaan Nari saat ini. "Salahku juga menceritakan semuanya padamu."
"Wonu-ya, aku benar-benar minta maaf," ucap Nari lirih seraya menyentuh bahu laki-laki itu dengan kedua tangannya. "Maafkan aku."
"Aku sedang ingin menikmati rasanya naik bus, jangan mengganggu ." Wonu membuang pandangannya menuju ponsel hitam miliknya yang terus bergetar. Ia membaca tiap kalimat yang terpampang di layar. "Oh, Seokmin bilang kalau Sujeong sudah ada disana."
"Hah? Cepat sekali," gumam Nari lalu mengirimi Sujeong pesan singkat.
Laju bus perlahan berhenti. Beberapa penumpang termasuk Wonu dan Nari segera turun, karena kafe sudah terlihat diujung jalan. Keduanya berjalan beriringan dalam diam. Wonu sibuk dengan pikirannya sendiri, Nari pun juga begitu. Ia masih merasa bersalah ketika mengetahui jika ayah Wonu sudah meninggal. Ia tahu pasti hati Wonu perih jika mengingat kenangan menyakitkan itu.
Langkah Nari terhenti seketika. Matanya menyipit ketika melihat sosok laki-laki tinggi mirip Mingyu sedang berjalan dengan seorang gadis di kejauhan. Ia mengucek matanya beberapa kali lalu kembali menyipit. "Apa itu Mingyu?" Nari kembali mengerjapkan matanya ketika melihat sosok yang ia kira Mingyu mulai menghilang ditengah kerumunan. "Ah lagi pula dia pasti sedang di kantor," ucapnya pada diri sendiri.
"Berhenti bergumam sendiri," sindir Wonu sambil membuka pintu kafe.
"Kalian pergi kemana saja sih?" sengit Sujeong begitu Wonu mendekati meja dengan diikuti Nari dibelakangnya.
Nari terkekeh geli. "Busnya yang melaju terlalu lamban."
Seokmin muncul dari ruang belakang. Laki-laki itu terlihat sedikit rapi hari ini. Rambutnya ditata dengan model sedikit terbelah disalah satu sisi didepan dahinya. Celana jeans panjang dipadu dengan kemeja kota-kotak berwarna biru yang bagian lengannya digulung hingga dekat siku membuat Seokmin terlihat semakin tampan. Ia tersenyum lebar pada Wonu yang kini memperhatikannya dengan seksama. "Kau tidak seperti biasanya," ucap Wonu sambil menyipitkan mata.
"Mungkin perasaanmu saja hyung." Seokmin terus tersenyum hingga ia duduk di samping Sujeong sambil menunjukkan naskah iklan yang telah dibuat Wonu semalam. "Sujeong-ssi, ini naskah yang dibuat Wonu hyung. Kau bisa baca dulu."
"Mungkin aku tahu kenapa dia berubah jadi rapi," bisik Nari. Wonu mengerutkan keningnya menatap gadis disampingnya yang sedang menahan senyum. "Katamu dia menyukai Sujeong."
"Ahh, iya kau benar." Wonu tersenyum lalu menarik kursi. "Duduk," katanya setelah menarik kursi disampingnya untuk Nari. Gadis itu melepas tasnya kemudian duduk disamping Wonu. Matanya tertuju pada Seokmin yang terlihat senang meski hanya bicara mengenai iklan.
"Kenapa kau tak bilang jika sudah membuat naskahnya?" Nari menyikut lengan Wonu pelan. "Aku juga sudah membuatnya semalam."
"Kupikir kau tidak bisa berpikir kemarin." Wonu menahan tawanya diikuti dengan pukulan tangan Nari di pundaknya.
"Hei, baru saja tadi aku bilang kalau kalian terlihat akur," desis Sujeong. Seokmin yang duduk disebelahnya pun tak bisa menahan tawanya. "Cobalah tenang sedikit."
"Aku akan mengambil kamera dulu." Wonu beranjak dari duduknya lalu berlari kecil menuju ruang belakang. Ia merogoh kunci dari dalam tasnya lalu membuka loker. Matanya tertuju pada foto seorang gadis didalamnya. Seorang gadis cantik dan juga manis. Gadis itu tengah bermain pasir di tepi pantai sambil menyunggingkan senyumnya menghadap kamera. Wonu terdiam beberapa saat. Tubuhnya membeku tak bergerak sedikitpun. Ini pertama kalinya ia membuka kembali loker itu setelah berbulan-bulan terkunci. Membiarkan jutaan kenangan tersimpan rapi didalamnya tanpa seorangpun mengetahuinya.
Tangan kanannya meraih foto yang tergantung manis didalamnya. Berbaris bersama lembaran quotes yang sengaja ia pasang. "Annyeong," sapa Wonu lirih.
Sudut bibir laki-laki itu tertarik membentuk senyuman tipis yang berusaha menutupi luka hatinya. Begitu perih hingga membuatnya meneteskan air mata. "Oh lihatlah, sekarang aku menangis lagi," katanya dengan senyum pahit.
"Maafkan aku." Ia menyeka air matanya, lalu menaruh foto di tempatnya semula. Wonu meraih kamera lalu mengunci lokernya kembali.
"Wonu-ya, sini," panggil Nari sambil melambaikan tangannya begitu Wonu muncul dari balik dinding lorong.
"Kenapa pindah kesini?" tanya Wonu seraya meletakkan kamera diatas meja.
"Kata Nari akan bagus jika menggunakan latar belakang rak buku ini. Jadi kita bisa melakukan adegan lapar disaat sibuk belajar," jelas Sujeong.
Wonu menganggukan kepalanya beberapa kali tanda ia setuju dengan ide Nari. Laki-laki itu mengambil beberapa buku tebal lalu menumpuknya diatas meja. Ia menyalakan kamera dan mengatur gambarnya. "Mungkin sekarang kita harus mengambil adegan Seokmin dan Sujeong ketika sibuk belajar," katanya.
Dengan sigap Seokmin berdiri lalu mengambil beberapa buku untuknya dan juga Sujeong. Senyumnya terus merekah, menghiasi wajah tampannya yang membuatnya jadi terlihat semakin tampan. Laki-laki itu memperlakukan Sujeong seolah putri. Sujeong juga yang membuatnya hari ini berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Meski gadis itu tidak mengatakan apapun padanya, namun ia sendiri yang ingin tampil lebih menawan didepan Sujeong.
"Sudah ingat yang aku jelaskan tadi kan?" tanya Nari pada Sujeong dan Seokmin. Keduanya mengangguk mantap. Nari memberikan aba-aba pada Wonu agar mulai mengambil gambar. Ia menyisihkan kertas naskah miliknya dan juga Wonu dari atas meja lalu sedikit menjauh.
"Oke," kata Nari.
Wonu mengangguk paham. Ia kembali mengecek semua pengaturan kamera lalu menekan tombol rekam. "Camera roll, action."
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...