Sujeong kembali menyikut lengan Nari dengan tatapan sinis. Sedang gadis yang disikutnya masih tak bergeming. Bagaimana tidak kesal, ia sudah berdiri sekitar 15 menit di depan kedai penjual roti panggang yang terkenal enak di areal kampusnya, namun belum ada tanda-tanda untuk memesan salah satu menunya. "Ya! Cepatlah pilih satu dan mulai pesan," keluh Sujeong.
"Hmmm." Nari bergumam panjang di sela-sela kegiatannya membaca menu.
"Kau sudah membalik menu itu ribuan kali kau tahu." Sujeong berdecak. "Percayalah Wonu akan memakan semua yang kau beri," kata Sujeong dengan nada malas.
Nari menoleh, menatap kedua mata sahabatnya itu. Ia baru sadar jika sudah berdiri terlalu lama di depan kedai, sejak sebelumnya ia mengurungkan niatnya untuk pergi lebih dulu ke kafe. Ia baru ingat jika Wonu belum makan siang, maka dari itu tanpa pikir panjang ia sudah menyeret Sujeong untuk mengikutinya.
Yang diucapkan Sujeong memang benar. Wonu tidak mungkin menolak makanan yang ia berikan, selama itu bukan seafood. Lagi pula sejauh ini dirinya sendiri belum pernah memberikan sesuatu seperti makan siang untuk Wonu. "Baiklah, kalau begitu aku pesan Beef Truffle Toast satu," kata Nari pada akhirnya, yang membuat Sujeong bisa bernafas lega.
"Dasar gadis baik," ledek Sujeong. "Apa ini pertama kalinya kau punya pacar, huh?"
"Hehe, kali ini saja. Aku hanya akan memberikan roti ini lalu segera pergi denganmu."
"Kudengar stasiun televisi Mchannel bangkrut," kata Sujeong sambil melangkahkan kakinya menuju ruang kelas tempat Wonu saat ini.
Nari tak berniat menjawabnya, karena sebenarnya ia sudah mengetahuinya. Bahkan jauh sebelum media memberitakan.
"Jangan-jangan Mingyu mendekati Hana hanya untuk menyelamatkan stasiun televisi milik ayahnya," desis Sujeong.
"Ya! Jangan keras-keras." Nari menoleh ke arah belakang memastikan tak ada satu orangpun yang mendengar. "Mau benar atau tidak, itu bukan urusan kita," kata Nari lalu berjalan menjauh mendahului Sujeong. Baru saja ia akan memasuki ruang kelas, namun suara yang tak asing di telinganya terdengar dari dalam sana.
"Ada apa?" tanya Sujeong setelah melihat Nari yang justru berdiam diri di dekat pintu masuk. Ia langsung menutup mulutnya ketika sahabatnya itu menyuruhnya diam dengan isyarat jari telunjuk yang ditempelkan di depan bibir. "Wae?"
"Mingyu," jawab Nari tanpa suara. Ia masih berusaha menangkap obrolan Mingyu dengan Wonu dari luar. Sebisa mungkin ia tajamkan indera pendengarannya, hingga pernyataan yang terlontar dari bibir Wonu membuatnya terdiam.
"Kau yang membunuh Eunji." Suara Wonu terdengar lagi. Kali ini dengan nada yang cukup tinggi. Bahkan Sujeong juga bisa mendengarnya. "Bajingan sepertimu seharusnya membusuk di penjara, kau tidak pantas hidup seperti ini. Eunji menderita dan mati karenamu, sedangkan kau bisa hidup enak. Cihh."
Nari menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan. Kalimat yang Wonu ucapkan barusan membuatnya menjadi seperti seseorang yang berbeda. Laki-laki itu terus menghujani Mingyu dengan makian dan kata-kata kasar, yang bahkan sekalipun tak pernah dilihat oleh Nari. Tangannya bergetar hebat begitu terdengar suara pukulan dan tubuh seseorang yang menghantam meja dari dalam.
"Ya! Wonu-ya, kau pikir kau sudah menjadi kakak yang baik untuknya? Kau pikir Eunji bahagia memiliki kakak preman sepertimu? Kau pikir begitu?!!!" Kali ini suara Mingyu yang terdengar. Dapat Nari rasakan laki-laki itu kini juga dipenuhi emosi dan amarah yang luar biasa.
"Bangsat, tutup mulutmu!!"
"Wonu-ya!!!" teriak Nari. Tatapannya tertuju lurus pada Wonu yang sudah akan memberi bogem mentah kepada Mingyu. Kedua laki-laki itu tak kalah terkejutnya begitu mendapati Nari tengah menangis, dengan Sujeong di belakangnya.
"A-apa yang kau lakukan disini?" tanya Wonu setelah melepas cengkramannya dari kerah baju Mingyu. Nari mengusap air matanya frustasi. Ia mengedarkan pandangannya kearah meja, berharap menemukan buku tebal dan catatan yang dikatakan Wonu sebelumnya. Nihil, ia sama sekali tak melihat ada tanda-tanda Wonu belajar disana.
"Jadi ini maksudmu meringkas buku?" Suara Nari bergetar. Ucapannya tidak begitu jelas terdengar lantaran isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi. "Harusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan disini?!!!!" Nari menjerit sekuat tenaga meluapkan perasaannya yang terasa begitu sesak.
"Dengarkan aku dulu." Wonu menggenggam tangan Nari namun dengan cepat ditepis gadis itu.
"Baiklah aku tahu aku salah." Suara Mingyu terdengar lirih. Ia menyeka darah yang mengalir dari pelipisnya setelah menghantam sudut meja. "Aku tahu Eunji menyukaiku waktu itu, dan aku sadar aku memang menjadikannya bahan taruhan."
Tatapan Nari kini tertuju pada Mingyu yang berdiri tidak jauh dari tubuh Wonu.
"Tapi akhirnya aku benar-benar mencintainya. Asal kau tahu, hanya aku yang menjaganya ketika pandangan semua siswa tertuju padamu. Tidak ada yang peduli dengan Eunji. Jika bukan aku yang mengatakan semuanya padamu waktu itu, apa kau akan tahu jika gadis lain merundungnya?!" Mingyu menghentikan kalimatnya. Matanya menatap Nari yang masih terlihat terguncang.
"Aku hari ini tidak bekerja ya. Ini untuk makan siangmu," ucap Nari pelan lalu menyodorkan kotak roti panggang kearah perut Wonu secara kasar.
Wonu mengacak rambut kasar begitu Nari dan Sujeong sudah pergi ke luar ruang kelas. Ia melirik Mingyu melalui ekor matanya, dirinya sendiri sudah sangat tidak peduli lagi dengan laki-laki itu. "Demi Tuhan, aku tidak akan rela jika Nari jatuh ke pelukanmu lagi," ucap Wonu lantas meninggalkan Mingyu.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...