49 | Thanks

74 18 0
                                    

"Ayah bisa turunkan aku di Halte saja. Aku akan pulang lebih dulu," keluh Nari. Gadis itu terus merengek kepada pria yang nampak fokus di balik kemudi sejak menjemputnya di kampus setengah jam yang lalu, dan sukses membuat Nari terkejut. Bagaimana tidak, karena kegiatan menjemput anak gadisnya bukanlah suatu kegiatan yang pernah dilakukannya semenjak Nari duduk di bangku SMA. Lalu kini, tiba-tiba pria paruh baya itu muncul di areal parkir kampus Nari.

"Memangnya kau tidak bekerja?" tanya ayah Nari.

"Tidak. Aku lelah."

"Hei, kenapa kau jadi malas-malasan begini?"

"Ayah kenapa menjemputku? Ada hal yang mau dibicarakan?" Nari berusaha mengalihkan pembicaraan ayahnya yang menjurus ke pekerjaan, karena jujur saja kepalanya sudah cukup sakit.

"Lagi pula ayah juga akan pergi kesana."

Nari menoleh malas pada ayahnya, namun dengan cepat kembali pada tatapannya sebelumnya. "Kenapa? Jangan bilang ayah akan bicara dengan manusia itu."

"Wonu maksudmu?"

"Siapa lagi," cibir Nari.

"Sudah lama ayah tidak bertemu dengannya. Ayah akan mengobrol sebentar dengannya, karena kebetulan ayah juga ada janji dengan teman ayah di sana."

Nari menghembuskan nafasnya dengan cepat ketika bangunan bercat putih sudah mulai terlihat. Ia benar-benar tidak ingin bertemu lagi dengan Wonu untuk sementar waktu, namun ayahnya lah yang terus memaksa. "Ayah," panggil Nari.

Pria itu menoleh sekilas lalu melepaskan sabuk pengamannya. "Apa?"

"Aku pulang saja ya," pinta Nari. Kini dengan gaya yang dibuat-buat.

"Ahh itu Wonu," kata ayah Nari semangat ketika melihat Wonu tengah memarkirkan motornya di tempat biasa. Pria itu bergegas turun dari mobil meninggalkan Nari yang begitu enggan mengikutinya.

"Ohh ayolahhh," keluh Nari lalu dengan sangat terpaksa mengikuti langkah ayahnya menemui Wonu.

"Paman, selamat siang," sapa Wonu ramah ketika ayah Nari sudah semakin dekat dengannya. Pria itu hanya tersenyum. "Sudah lama sekali anda tidak berkunjung."

"Iya aku akhir-akhir ini sangat sibuk," jawab ayah Nari seraya menepuk pelan pundak Wonu.

"Ayo masuk paman, akan kubuatkan makanan enak, hehe." Wonu tersenyum kemudian melirik Nari yang masih berdiri dengan malas di dekat ayahnya, namun gadis itu sama sekali tak membalas tatapan Wonu. Ia justru sibuk memainkan ponselnya.

Nari menghela nafas, ia berusaha mengontrol perasaannya ketika harus berhadapan dengan Wonu seperti ini. Ribuan pertanyaan yang muncul di kepalanya, seperti mendesaknya untuk segera menuntaskan dengan laki-laki itu, namun ego yang lebih tinggi membuatnya memilih untuk bungkam seribu bahasa.

"Kau tidak akan bekerja?" tanya ayah Nari ketika sudah duduk dengan nyaman pada kursi yang posisinya bersebelahan dengan dinding kaca menghadap keluar.

"Aku kan sudah bilang kalau aku mau pulang ayah," keluh Nari. Kini matanya memandang kearah luar melalui dinding kaca. Akan lebih baik jika saat ini ia menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang empuk lalu tertidur pulas. Melupakan segala pertanyaan, dan menghilangkan keraguan di dalam hatinya. Rasanya ingin sekali ia menangis sejadi-jadinya, karena entah kenapa kini perasaannya menjadi tidak jelas. Ada rasa sesak di dadanya yang tidak bisa dijelaskan.

"Silahkan paman. Ini menu baru di sini," kata Wonu saat tangannya meletakkan nampan dan piring kecil berisi roti manis dan segelas Jasmine Tea. Sekali lagi, kedua matanya melirik kearah Nari yang masih terus memandang kearah luar. Seakan acuh dan tak peduli dengan kehadirannya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya ayah Nari begitu menyilakan Wonu untuk duduk di sampingnya. Laki-laki itu mengangguk dengan senyum tipis. "Kau masih sering bertengkar dengannya?" tanya ayah Nari lagi.

Perlahan kening Nari berkerut. Pertanyaan apa itu tadi, pikirnya.

"Sejauh ini baik-baik saja paman. Terima kasih banyak atas sarannya." Wonu tersenyum lebar.

"Lebih baik begitu. Kau tidak bisa terus-terusan bersikap seperti itu kepada ibumu. Apalagi kalian tinggal hanya berdua."

Nari menahan nafasnya. Kini ia sadar ada begitu banyak rahasia pada Wonu. Bagaimana bisa ayahnya tahu tentang Wonu dan ibunya, sedangkan dirinya sendiri tidak tahu apa-apa. Kenapa laki-laki itu tidak pernah menceritakan apapun kepadanya selama ini? Kenapa Wonu juga tidak pernah menceritakan kehidupan masa lalunya lebih detail dengannya? Belum sempat ia meluapkan ribuan pertanyaan yang dari tadi mengganjal pikirannya, kini sudah ada lagi yang menumpuk. Bahkan kini jauh lebih banyak dari sebelumnya.

--

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang