34 | Hug

122 16 2
                                    

Sudah sepekan sejak terakhir kali Nari bertemu dengan Mingyu. Laki-laki itu tidak pernah terlihat di kampus sekalipun. Meski sebenarnya jauh di dalam hati Nari sangat peduli dan ingin tahu bagaimana kabarnya. Menghubungi Mingyu? Jelas itu tidak akan pernah dilakukannya. Mati-matian ia mencoba melupakan laki-laki itu. Laki-laki yang sudah tega membohonginya.

"Mingyu berkata seperti itu?" pekik Sujeong. Gadis itu bahkan nyaris memuntahkan potongan kue dari mulutnya. Sedang Nari hanya menganggukkan kepalanya pelan. "Sudah berapa lama kita tidak bertemu hingga aku melewatkan banyak berita," lanjutnya.

"Aku tidak yakin apa yang dikatakannya benar atau tidak." Nari meneguk Ice Americano miliknya yang sudah setengah gelas.

"Ya! Jujur padaku." Sujeong menarik pergelangan tangan Nari diatas meja.

"Apa?"

"Kau masih mencintainya atau tidak?"

Nari tidak berkedip beberapa saat. Pandangannya tiba-tiba menjadi kosong menatap gelas kopinya. Bukankah seharusnya ia tidak perlu ragu lagi untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Ia sudah berjalan sejauh ini. Menghadapi berbagai kenyataan pahit yang sebenarnya membuatnya mual. "Tidak," jawabnya pada akhirnya.

"Anggap saja perkataannya itu benar, tapi apa dia tidak memiliki perasaan pada Hana jika setiap saat gadis itu terus menempelinya seperti lem."

"Sujeong-ah, bisa kau habiskan saja rotimu itu?" sengit Nari dengan wajah malas.

"Eii, aku mengerti kenapa sikapmu tiba-tiba seperti ini," goda Sujeong dengan senyum nakalnya.

Sementara Nari mendesis. Tangannya hendak meraih gelas kopinya, namun tangan seseorang jauh lebih cepat mendapatkan gelas itu. Nari mendongakkan wajahnya kemudian berubah menjadi sangat kesal begitu melihat Wonu yang kini dengan santainya menghabiskan minumannya hingga tetes terakhir.

"Ya Jeon Wonwoo!!!" Suara Nari melengking nyaris memenuhi ruangan kafe mini yang ada dibelakang gedung utama kampusnya. Gadis itu sudah berhasil memukul Wonu dengan tote bag miliknya, jika Sujeong tidak menahan dan menyuruhnya duduk kembali.

"Bisa tidak sih sehari saja kau tidak usah marah-marah?" tanya Wonu setelah menarik kursi dan duduk disamping Sujeong.

"Bisa tidak sih sehari saja kau tidak merebut minumanku?" Ejek Nari dengan wajahnya yang dibuat seaneh mungkin.

"Dan bisa tidak sih kalian tidak usah bertengkar setiap bertemu?" Sujeong menyilangkan kedua tangannya didepan dada.

"Eii Sujeong-ah, ada salam untukmu," kata Wonu datar. "Dari Seokmin. Dia bilang ingin pergi kencan denganmu." Wonu segera melanjutkan kalimatnya setelah Sujeong menatapnya dengan tatapan bingung.

"Kalian terlihat bagus ketika bersama," sindir Nari lantas tertawa.

Sujeong mendengus sebal. Ia selalu menjadi bahan candaan kedua sahabatnya itu. Meskipun sebenarnya ia tidak merasa keberatan sedikitpun. Justru ia senang karena bisa dekat dengan Seokmin.

"Nanti bisa temani aku sebentar?" tanya Wonu tiba-tiba. Tatapanya tertuju pada Nari yang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya, kemudian tidak sengaja membaca sebuah nama disana. Mingyu.

"Teman-teman, aku pergi dulu ya. Kurasa aku harus ke perpustakaan untuk mencari referensi buku," ucap Sujeong kemudian bangkit dari posisinya. "Daahh." Sujeong melambaikan tangannya lalu kemudian disambut senyuman Nari dan perlahan mengilang.

"Apa katamu tadi?" Nari mendongak melihat Wonu yang masih menatapnya.

"Temani aku ke suatu tempat. Sebentar saja."

"Pergi kemana?" tanya gadis itu seraya menahan lengan Wonu yang hendak berdiri dari bangkunya.

"Ikut saja," jawab Wonu singkat.

@@@

Suasana begitu hening begitu Nari mengikuti langkah Wonu berjalan memasuki gedung besar dengan 10 lantai. Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya saat ini, namun hanya bisa ia tahan. Kakinya berusaha berjalan secepat mungkin agar bisa mengimbangi langkah kaki Wonu yang panjang.

Di sisi ruangan dalam gedung terlihat ramai. Beberapa orang mengenakan pakaian serba hitam diiringi tangis. Jantung Nari berdetak kencang. Entah, perasaannya semakin tak enak ketika Wonu memperlambat langkahnya diantara kerumunan orang. Ia menggenggam erat ujung kemeja laki-laki tinggi yang kini sudah ia sejajari. Wonu melirik Nari. Rasa takut jelas tergambar di wajah cantik gadis itu. Sedetik kemudian Wonu meraih dan menggenggam tanggan Nari. "Tidak usah takut," katanya lalu kembali berjalan.

Nari menahan nafasnya. Tangan hangat Wonu begitu menenangkan hati. Dengan perlahan ia mengikuti langkah Wonu yang berusaha melewati kerumunan orang yang berdiri didepan pintu salah satu ruangan. "Kupikir kau akan masuk ke ruangan itu tadi," kata Nari dengan suara yang semakin kecil.

Genggaman tangan itu terlepas. Wonu sengaja melepasnya begitu sampai di ruangan yang lebih besar dan lebih luas dari yang ia lewati sebelumnya. Ada dua buah pilar besar di sisi ruangan. Lemari kaca dengan belasan rak yang tersusun tinggi mengisi setengah dari ruangan yang memiliki langit-langit indah itu.

"Wonu-ya," ucap Nari lirih. Langkahnya terhenti didepan salah satu rak kaca dengan guci kecil dan beberapa barang seperti foto dengan pigura, tali rambut, dan juga sebuah boneka beruang mini.

"Ini adikku." Wonu menatap foto sesosok gadis cantik dengan senyuman yang sangat manis. Matanya bulat dan rambut hitam panjangnya tergerai sempurna. Gadis itu terlihat mengenakan seragam SMA dan jepitan rambut yang lucu. "Jeon Eunji."

--

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang