13 | Change Up

121 15 0
                                    

Hari yang tak pernah diinginkan Nari telah datang. Hari dimana ayahnya mengajaknya pergi ke suatu tempat yang diklaim bisa merubah hidupnya. Bisa menghilangkan segala kebiasaan buruk dan sifat manjanya. Terlebih kemampuannya untuk menghabiskan uang pun akan segera sirna. Kurang lebih seperti itulah yang dikatakan ayahnya. Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa ayahnya tiba-tiba melakukan ini semua. Mengambil semua haknya dan 'memaksanya' melakukan hal yang tak diinginkannya.

Nari duduk disamping ayahnya yang tengah fokus mengemudikan mobilnya. Kepalanya menempel dengan malas pada jendela. Beberapa kali ia menghela nafas sambil terus memperhatikan pemandangan dari dalam. Matanya membesar begitu melihat sebuah toko bunga yang cukup besar baru saja dilewatinya. Nari menegakkan posisi duduknya sambil terus memperhatikan jalanan. Otaknya memberi sinyal seolah ia pernah melewati jalan ini sebelumnya.

"Tapi kemana," gumamnya dengan nada cukup lirih hingga ayahnya tak bisa mendengar suaranya.

Matanya menyipit begitu melihat sebuah bangunan yang cukup besar dengan cat putih mulai terlihat diujung jalan. Ia mulai teringat sesuatu, bangunan itu merupakan bangunan kafe milik Wonu. Sedetik kemudian ia mulai gusar ketika laju mobil mulai melambat dan terparkir rapi didepan bangunan yang dihiasi lampu gantung itu. "Appa tidak akan mengajakku pergi kesitu kan?" tanyanya memastikan sambil menunjuk kearah kafe.

"Kalau iya, memangnya kenapa?" tanya ayahnya lalu melepas seat belt pelan. "Ayo turun."

"Oh appa ayolah, jangan bercanda." Nari berusaha mengeluarkan tawa kecil yang disengajanya. Ia sungguh berharap ayahnya akan pergi mengajaknya ke bangunan sebelahnya, kedai ayam goreng.

"Nari-ya, berhenti bersikap manja. Cepat turun."

"Baiklah," jawab Nari dengan malas. Kali ini bukan ayahnya penyebabnya, tapi Wonu. Sudah jelas ia akan bertemu laki-laki itu di kafenya, dan itu membuatnya malas.

Nari melepas seat belt kasar lalu keluar dari mobil. Bibirnya mengerucut sempurna ketika mengikuti langkah ayahnya yang sudah memasuki kafe.

"Annyeonghaseyo ahjusshi." Wonu menghampiri ayah Nari dengan senyum lebar nan manis. Ia kemudian mencarikan tempat yang kosong agar pria itu bisa duduk dengan nyaman.

Nari terpaku tak jauh dari posisi ayahnya dan juga Wonu. Matanya membelalak begitu melihat interaksi yang begitu intens. Sejak kapan dia mengenal appa, pikirnya.

"Perkenalkan ini putriku," kata ayah Nari lalu menyerongkan sedikit tubuhnya menghadap kebelakang agar bisa melihat putrinya. "Nari-ya, kemari."

Nari berjalan mendekati keduanya dengan malas, "Annyeonghaseyo, Hwang Nari imnida," kata Nari sambil membungkukkan tubuh berkali-kali lalu disambut dengan senggolan lengan dari ayahnya yang terlihat kesal dengan sikapnya.

Sebenarnya Wonu sedikit terkejut mengetahui jika putri dari pria yang dikenalnya itu adalah Nari, gadis manja dan juga bodoh yang kini menjadi teman satu kelompoknya untuk mengerjakan tugas demi mengikuti pelatihan, namun ia berusaha tersenyum di depan ayah Nari. Ya meskipun terlihat kecut.

"Maafkan sikap putriku, astaga aku benar-benar malu." Ayah Nari berdehem sambil terus menyenggol lengan putrinya.

"Ah tidak apa-apa ahjusshi. Lagi pula aku sudah mengenalnya. Kita satu kelompok belajar," ucap Wonu dengan senyumannya lalu menyilakan Nari dan ayahnya untuk duduk disalah satu kursi yang ada didekat rak buku besar.

"Benarkah?" Ayah Nari mengerutkan keningnya, lalu mendekatkan kepalanya pada Nari, "Kenapa kau bersikap seolah-olah tidak mengenalnya?"

Wonu tersenyum mendengar pertanyaan ayah Nari, "Tidak apa-apa ahjussi. Nari memang begitu."

"Ya! Apa maksudmu memang begitu?" seru Nari dengan suaranya yang melengking.

"Astaga, Nari-ya, kau bisa sopan sedikit tidak sih?"

Nari berdecak kesal sambil terus memperhatikan Wonu yang sikapnya berbeda 180 derajat dari biasanya. Tak ada wajah dingin tanpa ekspresi disana, kini senyum terus mengembang di wajahnya. Bahkan beberapa kali laki-laki itu melirik kearah Nari dengan diiringi senyum.

"Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu Wonu-ya. Aku harap bekerjanya Nari disini, ditambah dengan bimbinganmu, dia bisa berubah menjadi anak yang sedikit rajin," kata ayah Nari dengan wajah penuh harap memandang Wonu.

"Sebentar-sebentar, appa tidak bilang jika aku harus bekerja disini bersamanya," protes Nari.

"Lalu jika aku mengatakannya apa kau mau menuruti permintaanku?" tanya ayahnya dengan nada datar. Nari diam. Ia tak menjawab lagi. Ayahnya benar, jika dirinya mengatakan secara langsung Nari sudah pasti tidak akan mau untuk bekerja di kafe milik Wonu.

Ayah Nari kembali mengalihkan pandangannya pada Wonu yang masih menatapnya dan Nari bergantian, "Wonu-ya, aku minta tolong dengan sangat, tolong bimbing dia."

"Baik ahjusshi." Wonu membungkukkan sedikit kepalanya.

"Aku pergi dulu ya. Nari-ya, jaga sikapmu!!" sengit ayahnya sambil beranjak dari duduknya. Nari menghela nafas lalu menganggukkan kepalanya. Ia begitu enggan bergerak dari tempatnya. Ayahnya sudah terlihat bahagia diantar Wonu hingga pintu depan.

"Ya baiklah, sekarang aku terjebak lagi disini." Nari mendesis begitu Wonu sudah berbalik dan berjalan kearahnya. Laki-laki itu menarik kursi lalu duduk tepat dihadapannya. Menusuknya dengan tatapan tajam ciri khasnya.

"Apa?" tanya Nari malas. "Kemana senyumanmu yang tadi? Heol, ternyata kau bermuka dua ya."

"Dan kau ternyata beda sekali dengan kepribadian ayahmu," desis Wonu tak mau kalah.

Nari mendelik sebal lalu mengalihkan pandangannya. Ia tak mau lagi berselisih paham dengan laki-laki dihadapannya itu. Sudah terlalu sering dan ia begitu malas. Nari merasa jika kemanapun dirinya pergi pasti akan selalu bertemu dengan Wonu, dan ia benci itu. "Ya ya terserah kau saja. Aku malas adu mulut denganmu."

"Ayahmu memintaku untuk mengajarimu menjadi mandiri. Jadi jangan menyusahkanku selama bekerja disini." Wonu melipat kedua tangan di dadanya sambil terus menatap tajam kearah Nari.

"Lalu perlukah aku memanggilmu bos juga? Hehe." Nari sengaja tertawa dengan gaya yang dibuat-buat.

"Berhentilah bersikap kekanakan dan ikut aku ke belakang." Wonu beranjak dari kursinya lalu berjalan menuju pintu yang mengarah ke ruangan di belakang tempat kasir.

Segera setelah Wonu pergi, Nari pun ikut bangkit dari duduknya. Matanya memandang ke sekeliling interior di dalam kafe. Terlebih interior yang ada di lorong kecil untuk menuju ruang belakang yang dimaksud Wonu. Dibagian lorong terdapat beberapa quotes dari buku-buku terkenal yang dilukis langsung pada dinding. Selain itu lampu gantung berwarna warm white pun tak pernah ketinggalan. Di sudut lorong ada meja kayu kecil dengan lilin aroma terapi dan pigura foto keluarga di sampingnya.

Nari mendekati meja itu lalu mengambil pigura diatasnya. Matanya menelisik sosok laki-laki kecil memakai kaca mata tengah memeluk seorang gadis yang lebih kecil lagi, dengan ditemani dua orang dewasa disamping kanan kiri mereka, yang Nari sudah bisa duga jika itu adalah orang tuanya. "Apa ini Wonu?" gumam Nari sambil terus memperhatikan foto keluarga digenggamannya.

"YA! Cepat kemari," seru Wonu dari dalam ruangan yang ada di samping meja kecil. Nari buru-buru meletakkan kembali pigura yang ia pegang lalu berlari kecil menuju Wonu. Laki-laki itu kini menatapnya dengan tatapan datar. "Tak bisakah kau cepat sedikit?" tanyanya.

"Wah apakah ini untuk loker?" tanya Nari sambil melihat beberapa lemari kecil berjajar didepannya.

"Iya. Kau bisa mengganti pakaian kerjamu disini nanti." Wonu membuka salah satu pintu loker lalu menggerakkan dagunya, mengarahkan Nari agar mendekat. "Punyamu."

"Tapi apa yang bisa kuletakkan disini? Aku tidak membawa apa-apa kecuali ponsel hari ini," gumam Nari sambil melihat ke loker kosong yang dibuka Wonu untuknya.

"Bajumu. Aku akan ambil pakaian kerjamu dulu." Wonu berjalan menjauh. Laki-laki itu menghilang dibalik dinding untuk mengambil seragam yang sudah ia siapkan sejak ayah Nari memintanya membiarkan Nari untuk bekerja disini.

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang