24 | Can't See The End

119 14 0
                                    

"Annyeonghaseyo," sapa Hana sembari membungkukkan tubuhnya dihadapan Nari. Gadis itu tersenyum ramah. "Namamu siapa?"

"Oohh, annyeonghaseyo. Aku Nari," balas Nari setelah membungkukkan tubuhnya juga. Ia menyikut perut Wonu agar membalas sapaan Hana dan memperkenalkan dirinya.

"Aku Wonu," kata laki-laki itu dengan wajah datar.

"Wonu-ya, ada apa dengan wajahmu hei?" goda Soonyoung dengan tawa kecilnya. Membuat kedua matanya terlihat semakin tenggelam.

"Kurasa mahasiswa disini tidak ada yang menyukaiku." Hana meringis lalu menggaruk dahinya yang tidak gatal.

"Ahh, mahasiswa jurusan penyiaran memang begitu. Mungkin karena kau belum mengenalnya saja," balas Nari. Otaknya masih terus mengingat siapa gadis dihadapannya itu. Seolah ia sudah pernah melihatnya di masa lalu, tapi entah kapan.

Hana sangat cantik, dan juga anggun. Sikapnya begitu kalem, berbanding terbalik dengan Nari yang bisa dibilang hiperaktif. Gadis itu juga memiliki senyum yang indah, mata besar, juga hidung yang mancung. Bisa dipastikan setiap laki-laki pasti akan langsung jatuh cinta meski baru pertama kali melihatnya. Walaupun bukan termasuk mahasiswa populer, namun Hana jelas memiliki banyak pengemar dari jurusan lain, namun tidak dengan jurusan penyiaran.

Dari 20 mahasiswa jurusan penyiaran, 17 diantaranya laki-laki. Dan hampir semua laki-laki di jurusan penyiaran nyaris tak pernah memikirkan soal para gadis di kampusnya. Mereka hanya fokus pada setiap tugas yang dibebankan dari dosen yang berbeda. Bagaimana tidak? Hampir disetiap tugas, mengharuskan mereka untuk melakukan survei, terjun ke lapangan langsung, merangkum hasil wawancara, hingga menginap di rumah sakit atau kantor polisi demi merampungkan suatu kasus. Bagi mereka, tugas-tugas itu sudah cukup meningkatkan level stres, hingga tidak memiliki waktu untuk berkencan.

"Hari ini Seokmin libur. Cepat ke kafe." Wonu melangkahkan kakinya menjauhi Nari, Soonyoung dan juga Hana.

"Ahh, kalau begitu aku duluan." Nari membungkukkan tubuhnya, memberi salam, lalu mengejar Wonu yang sudah menghilang dibalik pintu aula.

@@@

Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi, namun kedua mata Nari masih terasa segar. Gadis itu baru saja menyelesaikan panggilannya bersama Mingyu setengah jam yang lalu. Ada banyak hal yang ia ceritakan, mulai dari ibunya yang lupa membuatkan ayahnya kopi, dosen Ahn yang menerima dan memuji iklannya, hingga mahasiswa baru yang pindah jurusan. Tidak ada satu halpun yang terlewat dari ceritanya. Hal sekecil apapun pasti selalu ia bagikan dengan Mingyu.

"Aku masih merindukanmu," gumam Nari. Sesekali ibu jarinya menggeser layar ponsel, melihat satu persatu foto Mingyu dan juga dirinya yang terpampang disana. Setiap momen bersama laki-laki itu terasa menyenangkan baginya. Meski hanya duduk berdua dibawah rindangnya pohon di areal kampus, sudah bisa membuat hatinya bahagia. Seperti itulah definisi bahagia bagi Nari. "Tapi kenapa dia terkejut begitu aku menyebut nama Hana ya." Gadis itu mengerutkan keningnya. "Apa mungkin mereka berteman? Entahlah." Nari bangkit dari ranjangnya lalu berjalan menuju lemari.

Tumpukan baju yang tertata rapi didalamnya membuat gadis itu ingin membawa semua pakaian yang ia miliki untuk pergi ke Changwon. Hanya saja, ia ingat peraturan dosen Ahn yang hanya membolehkan membawa satu tas punggung saja. Tangannya menarik satu persatu pakaian yang akan ia bawa. Sesekali ia mematut bayangannya pada cermin besar di dalam kamar. Keningnya berkerut, "Mungkin akan terlalu berlebihan jika aku bawa ini," ucapnya seraya memasukkan kembali blouse berwarna biru pastel kesukaannya kedalam lemari.

Kini matanya tertuju pada hoodie merah muda yang tergantung rapi dihadapannya. Ia meraih hoodie itu lalu mencoba memakainya, dan kembali bercermin. "Ini bagus juga dengan skinnyjeans," katanya sambil memasukkan celana jeans hitam kedalam tas, diikuti hoodie merah muda yang baru saja dilepasnya.T-shirt polos, blazer abu kesayangannya, mini skirt, dan juga beberapa celana jeans ia masukkan kedalam tas ransel besar.

Narimengambil buku catatan kecil yang sudah ia tulis daftar barang apa saja yang akan ia bawa dari atas meja, kemudian kembali mengeceknya satu persatu. "Semuanya beres," katanya lalu segera mengganti pakaiannya. Nari memilih mengenakan sweetshirt warna biru muda untuk dipadukan dengan skinny jeans hitam dan sneakers putih pemberian Mingyu.

"Kurasa begini lebih baik," ucapnya setelah mengikat rambut dan merapikan poninya. Ia kembali bercermin begitu tas ransel menempel pada punggungnya. "Baiklah. Hwang Nari yang manja kini sudah tidak ada lagi." Gadis itu mengangguk mantap lalu turun menuju dapur.

"Nari-ya, makan ini dulu," ucap ibu Nari seraya menyodorkan roti berisi selai blueberry kesukaannya. Gadis itu mencomot roti dari atas piring lalu memakannya. "Gomawo eomma," kata Nari lalu mencium pipi wanita paruh baya didepannya.

"Cepatlah, appa sudah menunggu di mobil untuk mengantarmu."

"Ya sudah, aku pergi dulu eomma. Sampai ketemu 3 hari lagi, hehe." Nari kembali mencium pipi ibunya lalu bergegas ke mobil dan berangkat menuju kampus.

Kota Seoul di jam setengah 4 pagi masih belum terlalu ramai. Jalanan terasa begitu lenggang dan luas. Sangat jauh dari hiruk pikuk seperti biasanya. Udara pagi yang segar ditambah hembusan angin yang tidak begitu dingin membuat Nari mengeluarkan sedikit telapak tangannya keluar jendela. Merasakan betapa sejuk dan menyenangkannya ia memulai hari dengan sangat baik tanpa gangguan sedikitpun. "Appa, apa setiap pagi akan seperti ini?"

"Ya. Setiap pagi akan selalu begini. Menenangkan bukan?" tanya ayahnya dari balik kemudi.

Nari tersenyum. Matanya tak berkedip menikmati pemandangan yang disajikan oleh Tuhan. Ia sangat menikmati harinya. Berangkat kuliah pagi buta tentu bukan hal yang berat baginya, karena mahasiswa penyiaran sudah dilatih untuk memiliki mental baja. Ia bahkan pernah pergi ke pantai pukul 4 pagi hanya untuk mengerjakan tugas dari kelas fotografi, mendatangi kantor pengadilan untuk meliput berita demo, dan rela kurang tidur demi menyelesaikan tugas film dalam waktu seminggu. Seperti itulah kehidupannya di kampus.

"Appa, aku pergi dulu." Nari merapikan poninya sebelum akhirnya membuka pintu mobil.

"Hati-hati sayang," kata ayah Nari seraya melambaikan tangannya begitu anak gadisnya berjalan menjauh menuju gerombolan mahasiswa di sekitar anak tangga dekat halaman.

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang