Pada akhirnya, semesta juga akan tahu segala hal yang selama ini dipendam oleh setiap manusia. Setiap perasaan yang selalu disembunyikan didalam relung hati paling dalam. Setiap kebohongan yang selama ini ditutupi oleh berbagai macam alasan. Semua pasti akan terungkap. Hanya tinggal menunggu waktu saja. Bukan begitu?
Kini Nari paham akan perasaannya pada Mingyu. Ia hanya akan menjadi orang jahat jika mengikuti kemauannya untuk terus memiliki laki-laki itu. Jelas saat ini ia memiliki Wonu. Laki-laki yang selalu disampingya, yang tidak pernah berkata kasar meski beberapa kali sempat kesal dengannya. Hanya satu kata yang bisa ia ucapkan untuk Wonu. Sempurna. Bahkan terlalu sempurna untuknya.
Jika mengingat kejadian malam itu, rasanya ia ingin segera membenamkan seluruh kepalanya dibalik bantal tebal hingga tertidur pulas hingga lupa semuanya.
"Aaaakkk." Nari memekik begitu segelas Chamomile Tea dingin menyentuh pipinya. Ia mendongak lalu tersenyum begitu mendapati siapa sosok yang kini sedang tersenyum kearahnya. Wonu.
"Apa yang kau pikirkan hingga begitu kaget?" tanya Wonu setelah ikut duduk di samping Nari. Tatapannya lalu tertuju pada lapangan basket yang terlihat dari kantin tempatnya saat ini.
"Bukan apa-apa." Nari berbohong. Jelas tidak mungkin untuk menceritakan yang sesungguhnya ia pikirkan. Bibirnya yang sudah menempel pada ujung sedotan, kini mulai mengisapnya. "Terima kasih minumannya," katanya dengan senyum lebar. Membuat laki-laki di sampingnya merasa gemas lalu mengacak pelan puncak kepalanya.
"Oh iya, terima kasih atas gendongannya waktu itu," kata Nari lalu tersenyum dengan kepala sedikit menunduk.
Wonu menoleh pelan. "Gendongan?"
"Iya. Waktu di museum itu."
"Ooh," jawab Wonu kemudian meneguk minumanya.
"Aku pikir Mingyu yang sudah menggendongku, karena Ryu bilang dia yang sudah mengantarku kembali ke Aula."
Wonu tersenyum tipis. Ia mulai mengerti apa yang dimaksud Nari. Sesaat setelah dirinya meninggalkan Aula, Mingyu masih berada disana. Bisa jadi, saat itu Ryu terbangun dan Mingyu mulai mengarang cerita jika dirinya lah menggendong Nari kembali ke Aula. Begitu pikir Wonu. "Ryu bilang begitu?"
"Iya."
"Lalu bagaimana kau tahu jika aku yang menggendongmu??" tanya Wonu penasaran.
"Seokmin yang menceritakan semuanya padaku." Nari memandang laki-laki di sampingnya yang nampak begitu tenang. "Dia bilang ternyata selama ini kau sangat menyukaiku," katanya lalu tertawa kecil menggoda Wonu.
"Dia memang bermulut besar," kata Wonu seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan senyum tipis. "Kau ingat pertemuan pertama kita disana?" tanya Wonu tiba-tiba.
Nari mengangguk semangat. "Siapa yang tidak ingat dengan laki-laki yang super menyebalkan, dan berwajah datar sepertimu."
"Hei, wajah tampan seperti ini, kau sebut datar?"
"Hmm. Sangat amat datar."
Wonu tersenyum. Jantungnya berdetak kencang. Ia benar-benar tidak bisa menahan pesona gadis di sampingnya itu. "Nanti aku masih harus meringkas beberapa buku untuk catatan sebelum tes. Kau mau menunggu atau langsung pergi ke kafe?"
"Pasti lama sekali," kata Nari lalu mengerucutkan bibirnya.
"Aku bisa mengantarmu ke kafe lebih dulu kalau begitu," tawar Wonu setelah menghabiskan tetes terakhir minuman kalengnya.
"Jangan. Pasti akan merepotkan jika seperti itu." Nari berpikir keras meski otaknya masih tak bisa bekerja dengan cepat. Hingga akhirnya bayangan wajah Sujeong muncul di kepalanya. "Ahh, aku bisa pergi dengan Sujeong."
"Kau tidak ingin aku antar?"
"Bukan begitu. Aku tidak mau merepotkanmu. Jadi, aku akan pergi dengan Sujeong, dan kau bisa belajar dengan nyaman."
"Hmm baiklah kalau itu maumu." Wonu meremas kaleng minumannya. "Ayo ke kelas. Sebelum bangku di dekat jendela yang ingin kau tempati diambil orang lain."
"Hehe, baiklah."
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...