Kehidupan setiap orang berbeda-beda. Setiap orang pasti memiliki jalan ceritanya sendiri. Kita sebagai manusia biasa hanya mampu menjalaninya. Mereka pasti memiliki alasan tersendiri kenapa saat ini begini dan begitu, karena mereka mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Tidak ada yang sama. Entah kisah seperti apa yang telah mereka lalui hingga berhasil bertahan hingga kini. Lalu kenapa kita sibuk mengomentari bagaimana ia menjalani hidupnya kini? Bukankah itu pilihan mereka?
Nari sadar ia tidak suka keadaan ini. Ia mengerti apa yang tubuhnya benci. Dan ia sangat menyesali kenapa dirinya terjebak dalam situasi yang menyebalkan seperti ini. Ia sudah tidak peduli lagi dengan sikap Wonu yang selalu kasar padanya. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah sisir dan cermin. Ia hanya perlu merapikan rambutnya setelah ikut berada diatas motor Wonu membelah padatnya kota Seoul di siang hari.
Wonu melajukan motornya begitu kencang hingga beberapa kali membuat Nari memukuli pundaknya agar melambatkan laju kendaraan. Seolah sudah mendapat firasat buruk, Nari sudah menguncir rambutnya begitu melihat Wonu akan pergi dengan mengendarai motor yang terparkir rapi disisi kafe.
"Wonu-ssi, kau sering naik motor?" tanya Nari sambil mengikuti langkah Wonu menuju ruang dosen Ahn.
"Bicara santai saja denganku," kata Wonu tanpa menoleh gadis disampingnya.
"Baiklah."
Nari membungkam mulutnya. Ia bersumpah tak akan mengajak Wonu bicara terlebih dahulu. Ia sudah benar-benar lelah untuk mencoba akrab dengan laki-laki itu. Tiap kali ia melontarkan pertanyaan, tak ada satupun yang mendapatkan jawaban dari Wonu.
"Annyeonghaseyo." Wonu membungkukkan tubuhnya diikuti Nari dibelakangnya begitu memasuki ruangan dosen Ahn.
Wanita itu melirik sekilas lalu kembali pada buku tebalnya. "Ada apa?"
"Dosen Ahn, bisakah saya minta tes susulan?" tanya Wonu seramah mungkin dan dengan diiringi senyum.
"Hmm, saya juga ingin tes lagi." Nari melirihkan nada suaranya lalu sedikit menunduk menahan malu. Ia yakin sebentar lagi dosen Ahn akan mengeluarkan semua kalimat 'suci'nya jika mengingat hasil nilainya di kelas tadi.
"Kau mahasiswa baru kenapa tadi tidak masuk?" tanya dosen Ahn sambil memperhatikan penampilan Wonu dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Jika bertemu denganku jangan pakai pakaian seperti ini. Dan celana sobekmu itu benar-benar menganggu."
"Aaa ne." Wonu tetap merendahkan nada suaranya meski dalam hati ia sedikit kesal.
Dosen Ahn membuka map besar mencari transkrip nilai Nari. Bola matanya bergerak naik turun begitu mendapatkan kertas yang ia cari, "Hwang Nari. Nilai-nilaimu bagus sekali. Semuanya D," kata wanita itu lalu tersenyum.
Nari tersenyum kecut. Sebenarnya ia tidak akan terkejut lagi jika dosen Ahn memperlakukannya seperti ini. Nyaris tiap kali berpapasan dengan dosen menyebalkan itu ia selalu mendapatkan kalimat yang 'mengenakkan'.
"Aku yakin kau pasti tahu tadi akan tes. Lalu apa kau sama sekali tidak belajar?" selidik dosen Ahn.
"Dosen Ahn, maafkan saya, Nari semalaman membantu saya untuk bekerja di kafe, jadi dia tidak sempat belajar sedikitpun." Wonu mengarang cerita yang tiba-tiba saja keluar dari mulutnya tanpa persiapan.
Nari membelalakkan kedua matanya. Apa yang Wonu lakukan, pikirnya. Ia tau bagaimana dingin dan kasarnya Wonu padanya. Namun kali ini, laki-laki itu membantunya untuk selamat dari cengkraman dosen Ahn.
"Ya ya terserah kau saja mau alasan apa. Untuk kali ini aku maafkan kalian berdua, tapi lain kali aku tidak mau kalian menyusul seperti ini," ucap dosen Ahn lalu mempersilakan Wonu dan Nari duduk dihadapannya.
Wanita itu sibuk mengutak-ngatik laptop kemudian membuka buku tebal miliknya. "Aku mau kalian membuat sebuah iklan," ucapnya.
"Ne?" pekik Nari setengah terkejut.
"Dosen Ahn, bisakah kita minta tes tulis saja?" pinta Wonu.
"Kalau begitu kalian kunyatakan tidak lolos tes." Dosen Ahn menutup bukunya.
"Baiklah baiklah dosen Ahn. Kami akan membuat sebuah iklan." Wonu buru-buru menahan dosen menyebalkan itu.
"Beri padaku 3 hari lagi. Tema dan durasi bebas." Dosen Ahn menutup laptopnya lalu mempersilakan Wonu dan Nari untuk keluar dari ruangannya begitu mereka sudah menyetujui permintaannya.
"Auhh, bisa gila aku!!" seru Nari lalu duduk di bawah pohon begitu keluar dari gedung kampus.
Wonu menatap Nari yang kini berbaring sambil menutup matanya. "Apa kau benar-benar bodoh?"
Nari segera bangkit dari tidur begitu mendengar kalimat menyebalkan dari bibir Wonu. "YA!! Berhenti mengatakan aku bodoh."
"Aku kan hanya tanya," jawab Wonu lalu duduk disampingnya.
"Oh iya, untuk yang tadi, terima kasih," kata Nari pelan.
Wonu menghela nafasnya lalu mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas, "Enaknya kita buat iklan apa?"
"Kenapa kau tiba-tiba menolongku dari cengkraman nenek lampir itu?" Nari tersenyum kecut. Ia tak menghiraukan pertanyaan Wonu tentang tugas iklan.
"Karena kau mengingatkanku pada seseorang," jawab Wonu dingin.
"Siapa?" Nari mendekatkan tubuhnya pada Wonu dengan wajah ingin tahu.
Wonu menoleh dan menatapnya, "Aku tanya sebaiknya kita buat iklan apa?"
"Ah iya iya, baiklah. Hiraukan saja pertanyaanku barusan. Kalau menurutku, lebih baik kita buat iklan ayam goreng saja. Kriuknya tepung dipadu dengan lembutnya daging ayam, hmm," gumam Nari sambil membayangkan ayam goreng dihadapannya. "Aku jadi lapar."
"Boleh juga." Wonu mengiyakan. Matanya tetap asyik menelusuri tiap kata pada buku tebalnya.
Nari sedikit memajukan wajahnya untuk melirik buku apa yang sedang dibaca Wonu hingga begitu serius. "Kau suka sekali membaca ya?"
"Begitulah."
"Sujeong bilang dia awalnya bertemu denganmu ketika di perpustakaan umum. Aku sama sekali tidak menyangka orang sepertimu sangat tertarik dengan buku, hehe."
Wonu menutup bukunya lalu menatap wajah Nari yang jaraknya cukup dekat dengannya. "Kau cerewet ya," katanya.
Dengan sigap Nari menjauhkan tubuhnya ketika Wonu menyelesaikan kalimatnya. Ia tahu harus bersikap bagaimana. Dan ia tak mau sampai ada yang melihat hingga berakhir menjadi rumor menyebalkan. Semua mahasiswa di kampusnya seperti tidak bisa membiarkan rumor untuk tidak tersebar.
"Baiklah aku diam," kata Nari lalu mengambil ponselnya. Tangannya sibuk mengetik pesan lalu beberapa detik kemudian sudah terkirim untuk Mingyu.
"Aku sudah membayangkan bagaimana iklannya, ayo kita ajak Sujeong jadi modelnya. Nanti akan kupasangkan dengan Mingyu juga," kata Nari.
Wonu melirik Nari sekilas, "Mingyu pacarmu?"
"Iya. Tidak apa-apa kan kalau aku mengajaknya juga?"
"Terserah kau saja." Wonu mengangkat kedua bahunya.
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...