"Terima kasih ayamnya hyung," kata Seokmin dengan senyum lebar. Laki-laki itu lantas berdiri dan berjalan menuju pintu kafe untuk mengambil gantungan bertuliskan "Tutup" dan mematikan lampu teras.
Nari juga bergegas membersihkan meja bekas makan malamnya bersama Wonu dan Seokmin. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam, dan mereka masih berkutat dengan beberapa pekerjaan kecil, seperti menyapu dan mengelap jendela. Hari ini kafe tutup lebih lambat, karena banyak pelanggan yang terus berdatangan hingga malam. Bahkan bekal makan siang yang diberikan Ibu Wonu baru saja mereka habiskan bersama. Ini jauh dari perkiraan sebelumnya, karena ternyata ketika jam makan siang, kafe begitu ramai hingga mereka melewatkan jam makan siangnya.
"Untung saja Kimchi-nya tetap enak," kata Nari dengan tawa kecil ketika mengingat jika ia lupa menaruh kotak bekal di kulkas.
"Baru kali ini Wonu hyung mau membawa bekal makan yang diberikan ibunya," bisik Seokmin ketika melewati Nari yang sedang melepaskan celemeknya dibalik meja kasir.
"Sungguh?" tanya Nari penasaran.
"Ya! Berhenti membicarakanku seperti itu," desis Wonu yang tiba-tiba muncul dari ruang belakang. Laki-laki itu sudah mengenakan hoodie hitam, dan sebuah tas yang melekat di punggungnya. "Kau mau pulang atau tidak?" sindir Wonu pada Nari yang masih memerhatikannya dari balik meja kasir.
"Oh iya iya, aku ke ruang ganti dulu," jawab Nari lalu berlari kecil menuju ruang belakang.
"Seokmin-ah, kau bisa pulang duluan," kata Wonu pada Seokmin.
"Baiklah, aku pulang dulu hyung." Seokmin meraih kemeja lalu menaruhnya di pundak. "Nari-ya,aku duluan," teriak laki-laki itu lagi kearah lorong yang menuju ruang ganti.
"Yaa, baiklah. Hati-hati." Suara Nari terdengar samar. Beberapa menit setelah itu, ia muncul seraya merapikan rambut panjangnya. "Loh, kau belum pulang?" tanya Nari pada Wonu yang sibuk memainkan ponselnya di sudut kafe.
"Ayo, aku akan mengantarmu."
Nari refleks menggeleng cepat, "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri, sungguh."
"Ini sudah larut malam. Bahaya jika kau pulang sendiri," kata Wonu lalu bangkit dari posisinya. Laki-laki itu segera keluar kafe dengan diikuti Nari dibelakangnya.
Nari mengedarkan pandangan ke lingkungan sekitar, begitu Wonu berjalan menjauhinya menuju motor yang terparkir di sisi kafe. Masih cukup ramai, dan ia merasa bahwa pulang sendirian pun tak apa. "Wonu-ya, aku pulang sendiri saja ya?"
"Ayo cepat naik," perintah Wonu. Laki-laki itu tak mengindahkan permintaan Nari. Justru ia menatap tajam gadis yang masih saja berdiri di samping motornya itu. Seolah memaksanya untuk segera naik dan pulang bersama.
Akhirnya dengan sangat terpaksa, Nari menuruti keinginan Wonu. Ia sudah duduk manis tepat dibalik punggung laki-laki dingin yang super menyebalkan itu. Wonu tak banyak bicara, ia hanya bertanya arah dan dimana tepatnya rumah Nari, setelah itu kembali diam.
Nari melirik wajah tanpa ekspresi itu dari kaca spion. "Cih," desisnya pelan.
Wonu menghentikan laju motornya di halaman sebuah rumah yang cukup besar, ketika Nari baru saja menutup gerbang tinggi yang menutupinya. Gadis itu berjalan mendekati Wonu seraya merapikan beberapa helai rambut di telinganya. "Kau harus mampir dulu, lagi pula ini gerimis."
"Hmm baiklah," jawab Wonu kemudian mengekori Nari ke dalam rumah.
"Wonu-ya, kau duduk disini dulu ya, aku akan ke kamar sebentar, lalu kembali," kata Nari lalu mulai berjalan menaiki anak tangga. Sedang laki-laki yang diajaknya bicara hanya mengangguk patuh.
"Aaahh.." Wonu menghela nafas pelan sembari memerhatikan tiap sudut rumah Nari yang sangat besar dan juga dapur yang terlihat dari arah ruang tamu. Semua tertata bergitu apik, dan rapi. Tidak terlalu penuh dengan barang-barang, bahkan terasa longgar. Persis seperti konsep rumah yang ia impikan selama ini.
"Ohh, hujannya semakin deras," gumam Nari yang langsung berjalan menuju dapur.
Wonu menoleh kearah jendela. Hujan turun dengan lebatnya di luar sana. Beberapa detik kemudian ia merasa hembusan angin yang masuk melalui ventilasi udara. Cukup dingin. "Ya! Kenapa rumahmu sepi sekali?"
"Ayah dan Ibuku ada urusan di Jepang, jadi baru akan kembali beberapa hari lagi," jawab Nari setelah meletakkan segelas teh hangat di atas meja. "Minumlah, sepertinya cuaca sedang tidak bagus."
"Hmm, terima kasih." Wonu segera meraih gelas teh dan menyeruputnya. "Kau sering sendirian seperti ini?"
"Lumayan sering. Makanya aku iri denganmu yang selalu bisa merasakan masakan Ibumu." Nari menyandarkan punggungnya pada sofa. Tangannya meraih bantal yang membatasi antara tubuhnya dengan Wonu kemudian memangkunya. "Aku jadi ingat, dulu waktu aku masih kecil, Ibuku suka membuatkanku teh hangat jika aku bermain hujan-hujanan."
Wonu tersenyum tipis. Ia menyerongkan posisi duduknya agar dapat melihat wajah Nari yang masih dengan nyaman memeluk bantal sofa di sampingnya. "Lalu kenapa kau iri denganku? Sewaktu kecil, aku bahkan tidak pernah dibuatkan teh hangat oleh Ibuku," katanya lalu terkekeh.
"Ya!" Nari menahan tawanya lalu memukul Wonu dengan bantal. "Tetap saja, kau bisa makan enak setiap hari. Masakan Ibu memang yang terbaik."
Wonu terkekeh dan perlahan senyumannya menghilang. Beberapa saat setelah itu, keduanya diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing ketika petir mulai menyambar. "Nari-ya," panggil Wonu pelan.
"Hmm?" Nari menoleh Wonu yang ia rasa posisinya semakin dekat dengannya. Laki-laki itu tak bergeming. Tatapannya lurus menuju lantai. "Apaa?" tanya Nari lagi.
"Ayo berkencan denganku." Kini tatapan mata Wonu tertuju pada Nari. Gadis itu membulatkan kedua matanya tanda tidak percaya.
Deru nafas Wonu terdengar begitu berat disela rintik hujan yang semakin deras mengguyur. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada Nari yang masih terpaku di hadapannya. Tangan kanannya menempel pada sofa tepat di samping pundak Nari bersandar, sedang tangan kirinya berada di samping paha gadis itu. Seolah mengunci tubuh Nari agar tak bisa bergerak kemanapun.
"Wonu-ya," panggil Nari pelan. Suaranya terdengar begitu lirih hingga nyaris tak terdengar, sedang Wonu masih tetap diam.
Nari mematung tak berkedip begitu Wonu mengecup bibirnya dengan lembut. Ia tak bergerak sedikitpun, hingga akhirnya kedua tangannya mendorong tubuh Wonu dan segera bangkit dari posisinya. "Ya!" seru Nari namun dengan nada lemah dan nafas yang sedikit memburu.
"Mian," ucap Wonu lalu perlahan menundukkan kepalanya.
Blaaarrr...
Petir menyambar begitu kuat hingga kaca jendela bergetar. Nari sadar jika ini bukan waktu yang tepat untuk menyuruh Wonu pergi dari rumahnya. Mana tega ia membiarkan laki-laki itu pulang ketika hujan badai seperti ini. "K-kau bisa tidur disini. Menginap saja malam ini, cuaca sedang tidak baik," katanya lalu segera berlari menuju kamarnya di lantai atas.
Wonu menghela nafas panjang. Tubuhnya lemas hingga akhirnya bersandar pada sofa. Ia baru sadar jika yang ia lakukan sebenarnya adalah hal bodoh. Entah apa yang ia pikirkan hingga berani mencium gadis yang jelas-jelas selalu menjadi musuhnya itu. Kedua matanya mengikuti langkah Nari yang perlahan menghilang. Laki-laki itu kini sibuk merutuki dirinya sendiri. "Baiklah Jeon Wonwoo, kau membuat dirimu nampak bodoh sekarang."
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...