20 | Unfinished

138 14 0
                                    

Semilir angin berhembus cukup kencang malam ini. Membuat pohon tinggi yang tertanam di sekitar gedung apartemen menggoyangkan dedaunannya. Mingyu masih menikmati malamnya seraya menghirup aroma kopi yang menenangkan. Ia berdiri di tepi balkon apartemennya menghadap keluar. Menikmati setiap detik yang berharga di hidupnya. Sorot tajam matanya saat memperhatikan beberapa orang berlalu-lalang di bawah sana, sudah cukup menjelaskan jika laki-laki itu kini tengah berpikir keras.

Paket sepatu yang tadi sore dibelinya pun sudah datang sejam yang lalu. Tepat setelah ia mengantarkan Hana kembali ke rumahnya. Paper bag super besar berwarna putih berisikan sepatu dengan brand yang sangat disukai Nari itu kini berdiri tegap diatas meja makannya. Minghao yang sejak sore sudah berada di apartemen Mingyu hanya berdecak heran kenapa laki-laki itu masih saja berdiam diri meski ia punya banyak waktu bebas untuk pergi ke rumah Nari. "Ya! Mingyu-ya, mau sampai kapan kau disitu?"

Mingyu menoleh lalu membalikkan tubuhnya. Raut wajahnya nampak serius memandang sahabatnya itu. "Apa menurutmu aku harus pergi ke rumah Nari?" tanyanya.

"Lalu kau pikir Nari akan dengan sukarela memaafkanmu setelah semua yang kau lakukan?" sengit Minghao. Ia meletakkan ponsel yang sedari tadi dimainkannya keatas meja. "Dan aku juga tahu kalau sepatu ini sengaja kau belikan untuknya."

Mingyu menghela nafasnya kasar. Ia mengacak rambutnya seraya berteriak kecil. "Seharusnya waktu itu aku tidak bersikap kasar padanya."

"Cih, itu memang kebiasaanmu bukan? Jika ada satu hal yang menganggu pikiranmu, maka siapapun yang kau anggap melakukan kesalahan akan terkena api amarahmu." Minghao terseyum miring menatap Mingyu yang kini meraih hoodie hitam miliknya lalu mengambil paper bag dari atas meja.

"Aku akan minta maaf padanya," ucap Mingyu setelah mengenakan sneakers-nya.

"Nah itu baru sahabatku." Minghao tersenyum seraya melipat kedua tangan didepan dada.

Mingyu meninggalkan apartemen dengan Minghao didalamnya. Ia membiarkan sahabat sejak kecilnya itu beristirahat disana, sedang dirinya sendiri harus menyelesaikan masalahnya dengan Nari. Ia harus menenangkan hati gadisnya sebelum orang lain yang mendahuluinya. "Kumohon maafkan aku," gumamnya begitu menutup pintu mobil. Ia segera menancap gas berlalu meninggalkan parkiran.

Kota Seoul masih tetap bersinar seperti biasanya. Jutaan pasang lampu yang menghiasi seisi kota nampaknya enggan untuk melepaskan cahayanya. Memberikan kesempatan untuk setiap orang dapat menikmati keindahannya selama 24 jam. Alunan musik yang terdengar dari kafe pun seakan menambah bising kota yang ramai ini. Tidak mau kalah, jalanan juga penuh sesak dengan berbagai macam kendaraan.

Trotoar pun begitu. Murid-murid sekolah berjalan beriringan dengan penuh tawa bahagia begitu jam pulang sekolah. Puluhan pasangan bergandengan tangan sembari sesekali menunjuk toko disamping mereka. Semua terlihat bahagia. Tiap orang memiliki caranya sendiri untuk bahagia. Termasuk Mingyu.

Sekuat tenaga ia melawan rasa egoisnya demi mempertahankan hubungannya dengan Nari. Sungguh ia merasa bersalah setelah bersikap kasar pada kekasihnya itu. Ia hanya meluapkan emosinya yang sudah tertahan sejak masih di apartemen. Ia tahu ia salah, dan Nari tidak seharunya mendapatkan perilaku buruk darinya, hanya saja egonya terlalu tinggi. Mingyu tak mampu menahan amarahnya. Ia terlalu pengecut untuk menjelaskannya pada Nari.

Mesin mobil sudah mati hampir 5 menit yang lalu, namun Mingyu masih tetap diam dibalik setirnya. Ia ragu apakah langkah yang ia ambil ini sudah benar atau belum. Jantungnya berdetak kencang seolah ini pertama kalinya pergi menemui Nari. "Mingyu-ya, sadarkan dirimu. Tak seharusnya kau melakukan itu padanya." Laki-laki itu memukuli kepalanya sendiri, kemudian segera mengambil paper bag dan turun dari mobil.

Ting.. Tong..

Mingyu kembali menarik nafasnya dalam-dalam. Ia benar-benar gugup malam ini. Ada banyak pertanyaan yang sedari tadi muncul di kepalanya. Bagaimana jika ternyata ayah Nari sudah mengetahui yang sebenarnya? Lalu apa yang akan dia lakukan jika Nari tidak menerima permintaan maafnya? Jujur saja, jika ia diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, ia tidak akan melakukan hal bodoh seperti saat itu.

"Mingu-ya," ucap Nari pelan setelah membukakan pintu. Gadis itu sedikit terkejut melihat sosok yang sangat dirindukannya itu kini tengah menatapnya tepat dihadapannya.

"Boleh aku masuk?" tanya Mingyu ragu.

"Ah iya, silahkan." Nari buru-buru menepi dari pintu agar Mingyu bisa masuk. Ia lalu mempersilakan laki-laki itu untuk duduk dan segera pergi ke dapur untuk mengambil air es. Demi apapun, kini hatinya benar-benar senang Mingyu mengunjunginya. Padahal seharian ini laki-laki itu terus mengabaikan semua pesan yang ia kirimkan.

Suara denting gelas dengan meja kaca terdengar samar begitu Nari meletakkannya dihadapan Mingyu. Ia duduk di samping laki-laki itu. Diatas sofa empuk, tempat kesukaan keduanya. Suasana canggung terasa begitu kental karena tidak ada satupun yang memulai pembicaraan. Begitu sunyi, hingga mungkin detak jantungpun bisa didengarnya.

"Maafkan aku." Mingyu mengucapkan dengan suara yang benar-benar lirih nyaris tak terdengar.

Nari menoleh pelan lalu kembali pada pandangannya semula. Ia mengangguk lalu tersenyum. "Tidak apa-apa."

"Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu padamu." Kepala laki-laki itu sedikit menunduk. Ia meremas tangannya sendiri. Berusaha menata kalimatnya agar tidak melukai perasaan gadisnya lagi. "Ada hal lain yang membuatku kalut saat itu, dan bodohnya aku malah melampiaskannya padamu."

"Aku tahu," ucap Nari. Ia memutar tubuhnya agar bisa menatap wajah kekasihnya. Ia tahu laki-laki dihadapannya itu kini tengah dirundung masalah entah apa. Seolah beban besar sedang menggantung di kedua pundaknya. Menanggungnya seorang diri. "Tidak ada yang aku tidak tahu tentang dirimu gyu. Aku mengerti bagaimana dirimu yang sesungguhnya." Nari menarik kedua ujung bibirnya agar membentuk senyuman. "Meski terkadang sakit."

Mingyu mendongakkan wajahnya. Menatap wajah Nari. Kekasihnya itu masih tersenyum kearahnya hingga butiran bening sukses jatuh membasahi pipi mulusnya. Tangan kanan Mingyu mengusapnya perlahan. Hatinya kembali rapuh. Dengan sadarnya ia melukai perasaan gadis yang selama ini selalu ada untuknya. Selalu menemaninya ketika ayahnya tidak pernah ada untuknya. Gadis yang selalu menyemangatinya ketika sang ayah kembali menekannya dengan berbagai hal. Nari tidak pernah sedikitpun melukainya.

"Nari-ya, maafkan aku." Mingyu merengkuh tubuh mungil dihadapannya kedalam pelukannya. Memeluknya dengan erat tanpa membiarkan ada cela sedikitpun. Mengusap pelan puncak kepala kekasihnya dengan penuh kasih. Kini ia mulai sadar, hanya ini yang Nari butuhkan saat ini. Pelukan hangat yang selalu ia rindukan.

Isak tangis terdengar lirih. Diiringi suara hujan yang mulai mengguyur dengan derasnya diluar sana. Seolah langit ikut menangis, memahami bagaimana sakit dan perihnya hati Nari. Gadis itu kini melepaskan pelukannya dari tubuh Mingyu. Ia mendongak menatap nanar kedua mata elang laki-laki tampan dihadapannya. Menarik pelan leher Mingyu dengan kedua tangannya. Nari memajukan wajahnya hingga bibirnya sukses menempel pada pipi Mingyu. "Aku sangat-sangat merindukanmu," ucapnya pelan.

"Aku juga merindukanmu," ucap Mingyu dengan nada manja yang sukses membuat Nari mendorong tubuhnya menjauh lalu tertawa geli.

"Apa ini untukku?" Nari menarik paper bag diatas meja yang sedari tadi menarik perhatiannya. Ia tersenyum lebar begitu Mingyu menganggukkan kepala dan memberikan isyarat agar ia segera membukanya.

"Dari nama yang ada di paper bag aku sudah tahu kau pasti membelikanku sepatu." Nari terkekeh geli setelah tangannya mengeluarkan box besar yang biasanya digunakan untuk tempat sepatu. "Eumm, bukankah ini sisa satu dan sudah tidak produksi lagi?" Nari memastikan.

Mingyu kembali mengangguk. "Aku teringat padamu, jadi aku beli saja. Anggap saja itu permintaan maafku."

"Oh? Apa kau pergi ke toko itu?" Nari kembali memastikan.

"Tidak. Hanya berkeliling di mall-nya saja."

"Lalu apa kau akan menceritakan padaku apa masalahmu waktu itu? Aku siap mendengarkannya." Nari tersenyum.

"Maafkan aku, tapi kurasa ini bukanlah suatu hal yang harus kau tahu. Aku akan membagikannya disaat yang tepat."

@@@

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang