39 | Together

101 18 0
                                    

Mingyu kembali menghela nafasnya, entah yang keberapa kali. Laki-laki itu duduk terpaku pada sofa di ruang tamu rumah Nari. Ia masih tak habis pikir bagaimana bisa Wonu ada di rumah Nari pagi-pagi sekali. Otaknya bekerja keras untuk berpikir dan mencerna penjelasan Nari yang mengatakan jika Wonu menginap karena terjebak hujan. Baiklah, ia berusaha menerimanya, tapi kenapa harus Wonu yang mengantarkannya pulang, pikirnya.

Tiba-tiba suasana menjadi tidak nyaman, karena dua laki-laki itu saling tatap setelah sebelumnya Mingyu mengatakan jika Wonu hanya mencari alasan agar bisa mendekati Nari. "Pikirmu aku seperti itu?" tanya Wonu dengan tatapan tajam.

Mingyu sudah akan memaki laki-laki yang duduk di seberang sofanya itu, namun Nari lebih dulu menyela. "Aku minta tolong kalian jangan bertengkar disini. Lagi pula kenapa kau tiba-tiba kemari?" Kini tatapan Nari tertuju pada Mingyu.

"Ayahmu meneleponku, dan menyuruhku untuk mengantarmu kuliah pagi ini," jawab Mingyu pelan. Ya, memang Ayah Nari yang sengaja meminta Mingyu untuk menemani Nari selama ia pergi ke Jepang. Tentu saja ini juga karena gadis itu belum menceritakan apa yang sudah terjadi kepada orang tuanya.

Nari melirik Wonu yang duduk tak jauh dari posisinya. Ia masih malu dengan kejadian semalam. Ia sungguh tak habis pikir dengan isi kepala Wonu yang bisa-bisanya menciumnya. Bahkan kini Wonu terlihat sangat santai, seolah tidak ada hal apapun yang terjadi.

Semalam suntuk Nari terus berpikir hal apa yang membuat Wonu sampai berani melakukannya. Tunggu, bukankah semalam laki-laki itu mengajaknya berkencan? Kepala Nari sampai sakit karena terus memikirkannya. Dan tentu saja itu sangat menganggunya. Ketika ia seharusnya bisa tidur dengan nyenyak ketika hujan, namun justru gagal hanya karena Wonu.

"Wonu-ya, aku akan pergi dengan Mingyu," kata Nari kaku. Ia jelas tidak bisa pergi dengan Wonu. Rasa malunya lebih besar disbanding rasa bencinya pada Mingyu. Nari menatap Wonu sekilas kemudian segera mengalihkan pandangannya menuju meja.

"Baiklah. Aku akan ke kafe sebentar untuk mengecek apa Seokmin sudah datang atau belum," kata Wonu kemudian beranjak dari duduknya. Laki-laki itu meraih kemejanya dari atas sofa kemudian beranjak keluar rumah.

Mingyu mendengus kesal. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan emosinya lagi di hadapan Nari. Penyesalan dari sikapnya di masa lalu pada gadis itu masih melekat dalam dirinya. Entah kenapa wajah Nari yang sedang menangis memohon kepadanya selalu menghantui. "Ayo berangkat."

Beberapa detik setelah itu, Nari bergegas menuju kamarnya untuk mengambil tas dan beberapa buku untuk kuliah hari ini. Juga jangan lupakan lip tint merah yang selalu ia bawa kemanapun. Gadis itu tidak ingin terlihat pucat sepanjang hari hanya karena lupa membawa 'barang berharga'nya itu.

"Kenapa dia bisa ada di rumahmu?" Mingyu kembali mengulang pertanyaannya ketika mobilnya mulai melaju di tengah jalanan kota Seoul.

"Perlukah aku menjawabnya lagi?" jawab Nari malas. Gadis itu menghela nafas, "Aku sudah berkali-kali menjelaskan kepadamu kan, kalau semalam Wonu mengantarku pulang dan hujan deras. Jadi aku menyuruhnya menginap."

Mingyu terdiam beberapa saat. Ia berusaha menormalkan ekspresi kecewanya.

"Apa lagi pertanyaanmu? Kalau kau masih tidak percaya ya sudah, memang begini kan sifat aslimu."

"Kau berkencan dengannya?" tanya Mingyu tiba-tiba.

"Jika iya kenapa, jika tidak kenapa?" Kali ini Nari menoleh laki-laki yang masih fokus menyetir di sampingnya itu.

"Aku tidak suka dia dekat denganmu," jawab Mingyu pelan namun tajam.

"Bukankah kita sudah tidak ada hubungan lagi? Jadi kau tidak ada hak untuk melarangku dekat dengan siapapun."

Tepat setelah Nari menamatkan rentetan kalimatnya, mobil Mingyu sudah berhenti pada halaman parkir kampus yang luas. "Terima kasih sudah mengantarku."

"Nari-ya.." Mingyu menahan tangan Nari ketika gadis itu hendak membuka pintu mobil. "Kau benar-benar tidak percaya pada ucapanku?"

"Mingyu-ya, aku mohon padamu, aku tidak mau dicap sebagai gadis yang menggoda kekasih orang lain." Nari memaksa tangan Mingyu untuk melepaskan genggamannya.

"Aku masih mencintaimu." Mingyu kehabisan kata-kata. Ia tak tahu harus mengatakan apalagi selain kalimat itu. "Sungguh, aku tidak bisa melihatmu dengan Wonu."

Nari tak menggubris kalimat Mingyu. Ia tidak mau rasa sakitnya kembali menjalari seluruh tubuhnya. Sudah cukup waktu itu ia menangis dan memohon kepada Mingyu, tapi tidak untuk kali ini. Ia bukan gadis bodoh yang terus-terusan mengharap belas kasih, meski ia sadar betul bahwa ia sangat mencintai laki-laki itu.

"Oh, Nari-ssi," Hana tiba-tiba muncul bersama dengan beberapa temannya dari jurusan Hukum. Gadis berambut panjang itu berjalan mendekati Nari yang baru saja turun dari mobil Mingyu dengan tatapan heran. "K-kenapa.." Belum sempat Hana melanjutkan kalimatnya, namun Mingyu sudah keluar dari dalam mobil.

"O-oh, Hana-ya," kata Mingyu gelagapan.

Hana memerhatikan keduanya bergantian. Senyumnya tetap mengembang meski terasa aneh. "Iya baiklah. Sampai jumpa," jawab Hana ketika beberapa temannya pamit untuk pergi ke kelas lebih dulu.

"Kenapa kalian bisa datang bersama?" tanya Han begitu pandangannya kembali pada Nari dan Mingyu.

"Aku ada janji bertemu dengan dosen, berhubung aku bertemu dengan Mingyu di tepi jalan sana, sekalian saja aku ikut, hehe," jawab Nari asal.

"Begitukah?" Hana tersenyum lebar seraya menyibak pelan rambutnya. "Berarti kau harus segera pergi? Sayang sekali, padahal aku ingin mengajakmu makan siang bersama." Kali ini gadis itu mengaitkan tangannya pada tangan Mingyu, dan menggelayut manja disana.

"Hmm, maaf aku tidak bisa. Mungkin lain kali. Kalau begitu aku pergi dulu." Nari membungkukkan tubuhnya kemudian berlari kecil memasuki gedung besar di seberang halaman parkir.

"Ayo kita makan siang bersama hari ini," kata Hana dengan tatapan lurus kedepan. Mingyu menghela nafas pelan, sedang gadis disampingnya itu makin mengeratkan pelukan pada lengannya. "Tiba-tiba aku jadi sangat lapar melihatmu dengan Nari."

Mingyu menoleh Hana, namun tak menjawab perkataannya.


"Aku tidak suka kau dekat-dekat dengannya." Hana tiba-tiba berhenti begitu langkah mereka sampai dibawah pohon besar yang masih berada di areal halaman parkir. Gadis itu memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Mingyu.

"Kenapa? Apa alasannya?"

"Aku tidak suka dengannya karena dia pernah menjadi kekasihmu." Hana menghentikan kalimatnya. Ia tahu Mingyu terkejut, karena selama ini ia hanya berpura-pura tidak tahu saja.

"Hana-ya,"

"Kau membelikannya sepatu ketika pergi bersamaku waktu itu kan?"

Mingyu membeku. Ia tak bisa mengelak, tapi bagaimana Hana tahu, pikirnya.

"Aku tahu semuanya. Jangan kau pikir selama ini aku tidak tahu apa-apa. Aku diam karena ingin melihat bagaimana interaksi kalian." Hana tersenyum. Bukan, ini bukan senyuman manis yang biasanya ia perlihatkan. "Dan kurasa Nari sangat terkejut."

Mingyu menelan paksa air liurnya. Seketika ucapan ayahnya kembali terngiang. Mingyu harus tetap bersama Hana apapun yang terjadi, karena Hana dapat menyelamatkan keadaan perusahaan yang mulai carut marut. Lebih tepatnya, keluarga Hana. "Maafkan aku," ucap Mingyu pada akhirnya.

"Aku sangat mencintaimu, kau tahu?" Kedua tangan mungil gadis itu kini menggenggam erat tangan Mingyu. "Jadi mari kita jalani kehidupan kita, dan jangan pedulikan orang lain."

"Ya, aku mengerti,"

@@@

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang