Waktu berjalan begitu cepat, ketika kau menikmatinya. Berjalan begitu lama, saat kau membencinya. Itu semua hanya masalah waktu dan perasaanmu saja. Cepat atau lambat, semua akan berlalu melewati ribuan kenangan yang kau ukir dengan orang terkasihmu. Ketika itulah kau diuji. Seberapa kuat untuk bersabar ketika kau menyukainya, dan seberapa kuat kau bertahan begitu kau membencinya.
Nari kembali mengerjapkan kedua matanya. Ia sadar sudah duduk berjam-jam di bangku yang ada di tepian Sungai Han. Tidak ada hal istimewa yang ia lakukan, selain melamun dengan tatapan kosong.
Sudah sepekan sejak hari yang tidak pernah ia duga datang. Tidak ada tanda-tanda keadaan mulai membaik, justru nampak semakin buruk. Perasaannya semakin membesar pada Wonu, begitu juga sebaliknya. Hanya saja saat ini ia sudah bisa berpikir sedikit lebih jernih. Sudah cukup kegilaannya pada malam itu yang berakhir tidur dengan Wonu. Entah setan apa yang sudah merasukinya hingga berani berbuat sejauh itu bahkan ketika sudah mengetahui faktanya.
Pilihannya untuk menceritakan semua yang telah ia lalui bersama Wonu pada kedua Orang Tuanya sudah ia lakukan. Semuanya, termasuk perasaannya yang begitu dalam pada laki-laki itu. Tidak ada satu katapun yang keluar begitu Nari menyelesaikan ceritanya. Nampak jelas dari raut wajah kedua Orang Tua Nari jika mereka diliputi rasa menyesal, dan juga sedih yang berlebihan. Tidak ada yang bisa disalahkan atas kejadian ini. Semuanya diluar kendali masing-masing. Siapa yang akan mengira jika Nari bertemu kembali dengan saudara kandungnya yang telah berpisah puluhan tahun lamanya. Siapa yang mengira jika laki-laki yang selama ini menjaganya dan berhasil membuat Nari jatuh cinta ternyata kakak kandungnya sendiri. Tidak ada satupun yang berpikir seperti itu.
Dan yang bisa Nari lakukan selama ini hanyalah menjauh dari Wonu. Dengan harapan perasaannya akan menghilang secara perlahan dengan sendirinya. Secara resmi, hubungannya dengan Wonu memang sudah berakhir, namun laki-laki itu tidak pernah menganggap jika semuanya selesai seperti ini.
Nari juga mengundurkan diri dari Kafe Wonu, meski laki-laki itu sudah memohon dan melarangnya pergi. Sujeong juga melakukan hal yang sama. Satu-satunya teman yang Nari percayai itu sudah mengetahui semuanya. Nari sudah memikirkannya matang-matang, dan jawabannya adalah dirinya tidak akan kuat bertahan disana untuk bertemu dengan Wonu setiap hari. Bertemu dengan Wonu diatas fakta mengerikan itu malah membuat hatinya terluka semakin dalam.
"Kau disini?"
Suara seseorang yang sudah lama tidak Nari dengar, membuyarkan lamunannya. Suara Mingyu. Nari menoleh dan mendapati laki-laki itu duduk di bangku yang berada tak jauh dari bangkunya saat ini.
"Mingyu," ucap Nari terputus.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Mingyu lantas ikut menatap Sungai Han di hadapannya.
"Bukan urusanmu," jawab Nari acuh.
Mingyu menundukkan kepalanya lalu tersenyum tipis. "Kau masih marah padaku rupanya."
"Jika ingin mengangguku, pergilah."
"Aku sudah jujur dengan Ayahku," kata Mingyu tiba-tiba. "Aku sudah mengatakan semuanya di pertemuan keluargaku dengan Hana, jika selama ini aku hanya mempermainkannya dan tidak pernah serius."
Nari enggan menjawab perkataan Mingyu, karena ia merasa jika sudah bukan ranahnya lagi untuk ikut campur permasalahan laki-laki itu dan keluarganya.
"Nari-ya, aku serius. Aku tidak pernah mencintai Hana sedikitpun. Aku tidak pernah bohong kepadamu jika itu menyangkut perasaanku." Mingyu menghela nafasnya, "Kau tahu, kau tetap ada di hatiku meski kau sudah bersama Wonu."
"Aku sudah tidak berhak untuk mengetahui perasaanmu lagi." Akhirnya Nari bersuara.
"Iya aku tahu. Aku tahu kita semakin menjauh, dan kau sudah bersama laki-laki lain. Tapi aku hanya ingin kau tahu jika semua yang kuucapkan selama ini benar. Aku bersamanya hanya untuk menjaga harga saham Perusahaann Ayahku, dan aku mau kau tahu."
"Wonu saudara kandungku," ucap Nari tiba-tiba.
Mingyu menoleh dengan cepat, "Hei, apa yang kau katakan?!"
"Hubunganku dengannya sudah berakhir. Dia kakak kandungku." Nari masih tetap tidak bereaksi atas respon yang diberikan Mingyu. Ia hanya menatap Sungai Han dengan mata berkaca-kaca. "Aku bukan anak kandung Orang Tuaku. Aku diangkat dari Panti Asuhan."
Perlahan Mingyu bangkit dari posisinya dan mendekatkan dirinya kepada Nari. "Ya," nada suara Mingyu melemah. "Kau serius?" Laki-laki itu mengerutkan keningnya dan menyadari sesuatu. "Jangan bilang kau datang kesini untuk,," Mingyu tidak melanjutkan kalimatnya.
Nari kembali menangis hingga kedua bahunya bergetar hebat. Ia menundukkan wajahnya yang lantas ia tutupi dengan kedua tangannya.
"Baiklah kau boleh menangis selama apapun," ucap Mingyu pelan seraya menarik gadis itu kedalam pelukannya.
Tidak ada satupun cara yang bisa Nari lakukan untuk mengurangi rasa sakitnya selain menangis. Hari demi hari berlalu dengan percuma. Bahkan disaat ia berusaha setegar karang menghadapi kenyataan pahit ini, faktanya ia tetap hancur terhantam ombak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...