56 | I Can't Run Away

71 15 6
                                    

heiii, aku saranin baca part ini sambil play lagu Davichi - Days Without You, please please cobain hahaha aku nangis banget pas nulis ini sambil play lagu itu T.T menurutku pas banget dan enak aja feelnya >< udah aku tambahinn ya lagunya, tinggal klik aja yuhuuu selamat membaca gengskuuu 💕

Di luar, hujan masih mengguyur dengan derasnya. Sesekali petir menyambar ditambah hembusan angin yang tidak begitu kencang. Begitu kedua orang tua Nari mengatakan jika ingin mampir ke rumahnya, Wonu segera bergegas menghubungi Sujeong agar menutup Kafenya lebih awal, karena ia, Nari, dan Seokmin jelas tidak bisa pergi kesana untuk membantunya hari ini.

"Hari ini cuacanya tidak menentu ya, sebelumnya sangat cerah, tapi sekarang hujan begini," ucap Ibu Wonu setelah selesai menaruh nampan berisi teh panas di atas meja.

Ayah Nari tersenyum tipis. "Jadi Wonu anakmu," katanya pelan. "Aku tidak pernah menyangka akan bertemu lagi denganmu."

"Ara-ssi, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja selama ini?" kali ini Ibu Nari ikut menimpali obrolan, dan langsung disambut anggukan kepala oleh Ibu Wonu.

"Kalian berdua sudah banyak membantuku saat itu." Kini Ibu Wonu menatap lekat kedua mata Nari. "Jadi dia anakmu," katanya begitu pelan dengan senyum pahit.

"Eomma." Nari menyikut pelan lengan Ibunya. Dari tadi gadis itu hanya saling pandang dengan Wonu yang juga masih belum mengerti keadaannya.

"Nari-ya, dia Ibumu."

"Jangan bercanda eomma," sahut Nari dengan tawa kecil. "Wonu-ya, kau percaya?" Nari masih terkekeh.

"Apa yang dikatakan Ibumu benar." Kali ini Ayah Nari yang bicara. Pria itu menghela nafas berat. "Nari-ya, Ayah pikir kau sudah sangat dewasa untuk mengetahuinya. Ayah merasa jika sudah saatnya kau mengetahui rahasia besar di rumah kita."

"Apa yang Ayah bicarakan sih?"

"Dulu, Ayah dan Ibumu ini harus berjuang demi memiliki seorang putri. Butuh waktu bertahun-tahun, hingga akhirnya kami sepakat untuk mengangkat seorang anak dari panti asuhan."

"Ayahhh," pekik Nari berusaha menghentikan ucapan Ayahnya. Nafasnya sedikit terengah karena detak jantungnya saat ini begitu cepat. "Apa maksudnyaa?!"

"Dia Ibu kandungmu, dan Wonu kakakmu," sambung Ayahnya lagi.

Tubuh Nari seketika membeku. Seperti mati rasa mendengar ucapan Ayahnya. Ia sungguh berharap jika yang dia dengar saat ini hanya bualan belaka, atau berharap seseorang akan memukulnya hingga ia terbangun dari mimpi buruknya.

Perlahan kedua matanya bergerak menatap Wonu. Dari wajahnya, Wonu juga terlihat sangat terkejut hingga tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Suasana hening, yang terdengar hanya derasnya suara hujan.

"Nari-ya, dia Ibumu sayang." Suara Ibu Nari terdengar parau. Tangisnya pecah bersamaan dengan bulir bening yang jatuh di kedua pipi putrinya. "Dulu Ibu dan Ayah menjemputmu dari panti asuhan saat kau masih bayi."

Nari tidak tahan lagi. Ia bergegas pergi meninggalkan ruang tamu. Ia tidak peduli dengan semua orang yang memangilnya, juga Ayahnya yang masih sempat menahannya sebelum akhirnya berhasil menerobos derasnya hujan.

"Nari-ya!!!" Suara serak Wonu memecah keheningan ketika hari mulai malam. Hujan sudah berhenti beberapa menit yang lalu, dan laki-laki itu masih belum menemukan Nari. Ia sudah pergi ke Kafe dan rumah Sujeong, namun Nari tidak ada disana. "Pergi kemana dia," ucap Wonu frustasi, kemudian ia melanjutkan langkah hingga sampai di lapangan yang ada di dekat rumahnya.

"Nari-ya," panggil Wonu pelan begitu menemukan tubuh mungil Nari di dekat tempat bermain anak. Gadis itu berjongkok tepat di samping tangga seluncuran. Bajunya masih basah, dan tubuhnya menggigil kedinginan. "Hei," panggil Wonu pelan.

"Jangan kemari," jawab Nari acuh.

"Ayo pulang dulu," ajak Wonu seraya meraih kedua pundak Nari, namun dengan cepat ditepis gadis itu. Wonu menghela nafas dan ikut berjongkok di samping Nari. "Kau tahu kau membuatku khawatir? Aku mencarimu kemana-mana."

Nari tak bergeming. Bibirnya tetap bungkam. Perasaannya hancur berkeping-keping. Jika saja ada hal yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini, mungkin itu sebuah puzzle dengan ribuan potongan. Kau sudah bersusah payah untuk kembali menyatukan tiap potongan, berusaha untuk mendapatkan gambar yang jelas dari puzzle itu sendiri. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, kau bisa menyelesaikan semuanya dan bisa bersantai menikmati hasilnya, tapi tiba-tiba seseorang mengacak-ngacak puzzle itu hingga beberapa potong menghilang. Ketika Nari sudah berhasil memulai lagi semua dari awal dengan Wonu, kenapa fakta menyakitkan lainnya selalu mengikuti.

"Kau tahu, aku juga sangat terkejut hingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Kau tahu aku sangat mencintaimu, bukan sebagai adik perempuanku. Aku bisa melakukan apapun untuk membuatmu bisa bersamaku selamanya, tapi kalau ini kenyataannya aku tidak tahu harus berbuat apa." Wonu menyeka air matanya. Laki-laki itu akhirnya tumbang juga. Rasa cintanya pada Nari bahkan lebih besar dari pada dirinya sendiri.

Nari membenamkan wajahnya diatas lutut yang ia peluk. Gadis itu kembali menangis hingga kedua bahunya bergetar hebat.

"Tidak apa-apa jika kau tidak mau melihatku lagi, yang penting sekarang kita pulang dulu, ya? Paling tidak kau harus makan supaya ada tenaga untuk membenciku," kata Wonu frustasi. "Tidurlah di rumahku. Kali ini saja," pinta laki-laki itu.

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang