"Ya! Wonu-ya, kau akan mengerjakan tugas ini di aula dengan Nari atau bagaimana?" suara Soonyoung membuyarkan lamunan Wonu yang masih menggenggam ponsel di tangannya.
Wonu menoleh, "Hmm, mau bagaimana lagi? Dia demam. Kurasa aku bisa menyelesaikan tugas tulisnya lebih dulu."
"Semoga saja dia cepat sembuh. Demi apapun aku benar-benar malas harus bekerja dengan Hana," celoteh Soonyoung kemudian melahap roti dagingnya. "Kau harus tahu jika dia benar-benar putri kerajaan. Auhh, aku akan emosi jika mengingatnya."
"Kenapa?"
"Kau ingat kau menyuruhku pergi ke Masan dengannya?" tanya Soonyoung yang langsung disambut anggukan kepala oleh Wonu. "Disepanjang jalan kerjanya hanya mengeluh. Oh ayolah tujuan kita memang pergi ke beberapa desa untuk mencari informasi, bukan untuk bersenang-senang. Kalau memang dia tidak mau panas-panasan dan berjalan kaki kenapa harus pindah ke jurusan penyiaran," keluh Soonyoung panjang lebar.
"Apa menurutmu dia cukup pintar?" tanya Wonu yang masih sibuk membalas pesan Nari di ponselnya.
"Tidak. Kurasa dia pindah karena suatu hal yang disembunyikan," kata Soonyoung dengan nada jenius yang dibuat-buat.
Wonu memicingkan matanya. "Sebaiknya kita cepat kembali. Nari butuh obatnya," kata laki-laki itu seraya beranjak dari duduknya.
Soonyoung mengangguk patuh. Ia meraih ponsel di atas meja lalu berjalan disamping Wonu meninggalkanconvenience store.
@@@
Dosen Ahn kembali menghela nafasnya. Wanita paruh baya itu juga masih belum mengalihkan pandangan matanya dari Nari. Gadis itu kini tengah duduk dihadapannya seraya terus mengusap keringat dingin yang mengucur pelan di dahi. "Nari-ya, apa kau sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu?" tanya Dosen Ahn pelan.
Nari mengangguk, kemudian menengadahkan wajahnya. "Maafkan saya Dosen Ahn. Saya rasa saya benar-benar tidak sanggup lagi," katanya kemudian terbatuk.
"Tapi jika kau mengundurkan diri, apa kelompokmu akan baik-baik saja?"
"Mungkin Wonu bisa diandalkan," ucap Nari seraya tersenyum tipis.
"Sungguh kau tidak akan menyesal? Bukankah kau sengaja mengulang tes hanya untuk mengikuti seminar ini?" Dosen Ahn kembali meyakinkan mahasiswanya itu. Ia tahu betul Nari bukan tipe mahasiswa yang mudah menyerah meski hanya terserang demam. Ya meskipun nilai gadis itu cenderung biasa-biasa saja.
Nari kembali mengangguk. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa pilihannya itu tidaklah salah. Dia tidak bisa terus menerus bertemu dengan Mingyu. Terlebih laki-laki itu kini bersama dengan Hana. Konsentrasinya terpecah. Gadis itu bahkan melupakan impiannya untuk mendapatkan nilai tertinggi pada seminar. Sungguh, saat ini gadis itu hanya ingin pulang.
"Tapi meskipun begitu, kau tidak bisa pergi lebih dulu. Kau tetap harus berada disini sampai seminar selesai dilakukan," kata Dosen Ahn yang sukses membuat Nari mendongak dengan mata membulat.
"Apa tidak bisa jika saya pulang duluan Dosen Ahn?" tanya Nari kemudian berpura-pura bergidik kemudian bersin.
Wajah Dosen Ahn mendadak tanpa ekspresi. Wanita itu menghela nafas kemudian mengambil transkrip nilai Nari dari dalam amplop besar. "Berhentilah berpura-pura dengan harapan kau bisa dipulangkan, Hwang Nari," katanya seraya menuliskan sesuatu diatas kertas nilai.
Nari tersenyum kecut. Sadar jika usahanya sia-sia, gadis itu segera beranjak dari duduknya kemudian pamit dan meninggalkan ruangan. "Tapi aku benar-benar ingin pulang," keluhnya begitu langkahnya sampai di depan gerbang museum.
"Sedang apa kau disini?" tanya Wonu yang tiba-tiba sudah berdiri disamping Nari yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Mencari udara segar," jawab Nari pelan. Ia mendongakkan wajahnya, "Apa kau membeli obat di Jepang?" sengitnya begitu sadar jika Wonu baru kembali dari membeli obat ketika hari mulai sore.
"Sebenarnya aku sudah kembali dari tadi setelah menemani Soonyoung berjalan-jalan sebentar, tapi aku lupa membelikanmu ini, jadi aku kembali lagi," jelas Wonu kemudian memberikan kantung kresek berisi obat dan juga susu kotak rasa stroberi. "Untukmu."
Nari melirik kantung kresek dan juga Wonu bergantian. Wajahnya penuh selidik hingga membuat laki-laki itu kembali menarik tawarannya. "Ya sudah kalau tidak mau."
"Eh iya iya aku mau." Dengan cepat Nari merebut kantung kresek dan juga susu dari tangan Wonu. "Terima kasih," ucapnya kemudian menyedot susu yang baru saja ia tusuk dengan sedotan.
"Sebagai gantinya, kau harus menemaniku menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya kau kerjakan," kata Wonu dingin. Tatapan tajam matanya kini seolah menusuk jantung Nari. Gadis itu menatap Wonu tanpa kedip. "Ke perpustakaan denganku sekarang. Besok harus sudah dikumpulkan."
Memang benar yang Wonu katakan. Besok adalah hari terakhir mereka berada di Changwon untuk menyelesaikan tugas film dokumenter. Sedangkan Nari memiih untuk mundur karena alasan pribadinya dengan Mingyu. Mungkin memang terdengar kekanak-kanakan, tapi itulah yang Nari rasakan. Ia rasa sudah tak mungkin lagi untuk muncul dihadapan laki-laki itu ketika dengan gadis lain. Sakit rasanya. "Ya baiklah, akan kubantu," kata Nari pada akhirnya.
Wonu tersenyum tipis lalu berjalan mendahului Nari. Jujur saja, ada perasaan senang yang tak terkira didalam hati laki-laki itu. Ia melambatkan langkah kakinya hingga Nari kini bisa berjalan sejajar dengannya. "Apa kau sudah baikkan?" tanya Wonu seraya menoleh gadis yang tengah sibuk dengan ponsel disampingnya.
"Hmm, sudah lumayan membaik." Nari menjawab tanpa menoleh kearah Wonu. Ia sibuk membaca beberapa pesan dari Mingyu. Rupanya sejak meninggalkan Nari pagi tadi, laki-laki itu terus berusaha mengirimkan pesan dengan harapan mendapat balasan dari Nari.
"Dari Mingyu?" tanya Wonu tiba-tiba. Ia kemudian melangkah menjauh kearah salah satu barisan lemari buku begitu sampai di perpustakaan.
Nari melihat kesekeliling ruangan. Hanya ada dia dan Wonu. "Begitulah," jawabnya dengan suara agak keras setelah yakin jika tidak ada yang terganggu dengan suaranya. Matanya ikut menelisik barisan buku yang tertata rapi. Tangannya meraih salah satu buku kemudian membuka halaman tiap halaman.
"Sejak kapan kau mengenalnya?"
Nari melirik Wonu sekilas. Laki-laki itu tetap fokus dengan buku digenggamannya. "Sejak aku dan dia masih SMA."
Wonu menelan paksa ludahnya. Semua dugaannya tidak ada yang salah.
"Ada apa?" selidik Nari kemudian berjalan mendekati Wonu. "Kurasa kalian sepertinya memang mengenal satu sama lain ya. Apa aku benar?"
"Ya. Kau benar."
Kedua mata Nari membulat, "Benarkah? Jadi kau benar-benar mengenalnya?"
"Benar-benar salah," lanjut Wonu kemudian mendorong pelan kening Nari menggunakan jari telunjuknya. Laki-laki itu bergegas meninggalkan Nari yang kini masih mengerucutkan bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...