Nari menoleh ke loker yang terkunci disamping lokernya. Pintu loker itu nampak sangat apik dengan hiasan kertas yang ditempelkan. Ia membaca satu persatu pesan yang ada pada kertas-kertas itu, lagi-lagi quotes dari beberapa buku yang tak ia tahu. Ia yakin betul jika loker disampingnya itu adalah loker milik Wonu.
"Untukmu. Setelah selesai ganti, segera kedepan. Aku akan membantu Seokmin dulu," kata Wonu setelah menyodorkan satu set seragam berisi kemeja putih lengan panjang dengan aksen bordir pada saku kiri yang bertuliskan nama kafenya. Selain itu ada celana bahan kain berwarna cokelat dan celemek berwarna senada.
"Terima kasih." Nari segera mengunci pintu begitu Wonu keluar dari dalam ruangan. Ia mematut dirinya pada cermin besar yang ada didekat lemari. Kemeja putih lengan panjang yang ia kenakan membuat dirinya benar-benar terlihat seperti pegawai kedai kopi sesungguhnya. Belum lagi celana panjang dan celemek cokelat potongan setengah badan yang membuat penampilannya sempurna. "Hmm, tidak buruk juga. Aku masih tetap cantik hehe" Senyum Nari mengembang lalu berlari kecil menuju Wonu didepan.
"Wonu-ya, benar begini?" tanya Nari sambil terus membenarkan posisi celemeknya yang terlihat aneh.
Wonu dan Seokmin menoleh bersamaan. Tak bisa dipungkiri lagi, Nari memang cantik alami. Meski ia sedang memakai seragam kerja namun kecantikan dari dalam dirinya terus terpancar. Wonu memandangi Nari dari ujung kaki hingga ujung kepala tanpa kedip. Gadis itu terus mengingatkannya pada seseorang di masa lalu. Ia terus memandangi Nari hingga tidak sadar jika gadis itu kini sudah berdiri tak jauh darinya.
"Nari-ssi, seragam itu membuatmu jadi semakin cantik. Benar kan hyung?" Seokmin menyenggol lengan Wonu yang masih mematung disampingnya.
Wonu melirik Seokmin sekilas lalu mendekati Nari didepannya, "Tidak juga." Ia memiringkan tubuhnya agar tangannya bisa bergerak ke belakang tubuh Nari untuk meraih tali celemek dan membenarkan posisinya. Nari terkejut dengan sikap Wonu yang secara tiba-tiba menjadi begitu dekat dengannya. Ia menahan nafasnya, mematung menatap Seokmin yang tengah terkekeh geli melihat ekspresinya.
Sadar jika gadis dihadapannya tidak nyaman dengan posisinya saat ini, Wonu segera membalikkan tubuh Nari agar membelakanginya. Ia berusaha tak peduli dengan tawa Seokmin yang terdengar semakin kencang. "Sudah," katanya begitu selesai menalikan celemek Nari.
"Terima kasih." Suara Nari terdengar begitu lirih namun masih bisa didengar Wonu dan juga Seokmin.
"Kau sudah pernah pakai mesin grinder?" tanya Wonu sambil berjalan menuju meja yang sering ia gunakan untuk menggiling biji kopi.
Nari menggeleng pelan, "Belum pernah."
Wonu menggeser mesin grinder kopi agar lebih dekat dengannya dan juga Nari. Ia lalu mengambil satu kantung kopi dari bawah laci meja kemudian membukanya. "Tuang disini biji kopinya," jelasnya sambil menuangkan biji kopi pada wadah yang berada diatas mesin grinder. "Jika sudah, kau harus mengatur tingkat kehalusan bubuk kopinya." Wonu memutar salah satu bagian mesin lalu menyalakan mesinnya.
"Uwaah, bukankah itu keren," gumam Nari sambil memberikan dua jempolnya pada Wonu. "Ternyata ada alat yang seperti ini ya."
"Bukannya keren, kau saja yang bodoh." Wonu menjauh untuk mengambil wadah tempat gilingan kopi. Ia meletakkan wadah lalu menuangkan bubuk kopi yang sudah halus tanpa memperdulikan tatapan kesal gadis disampingnya. "Jangan melihatku seperti itu. Jika kau jatuh cinta padaku, aku tidak akan bertanggung jawab."
Mendengar kalimat Wonu yang terasa menyakiti telinganya, Nari langsung berpura-pura hendak memuntahkan seuatu dari mulutnya, "Rasanya perutku mual."
"Cihh." Wonu menahan senyumnya melihat ekspresi Nari yang kini tengah terkekeh geli disampingnya.
"Oh iya, orang yang ada di foto keluarga di sudut lorong itu siapa? Keluargamu?" tanya nari tiba-tiba. Wonu menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan kopinya, "Jangan sembarangan lihat-lihat barang milikku," sengit Wonu.
"Baiklah." Nari meraih wadah pengilingan lalu membersihkan sisa-sisa bubuk kopi disana. "Lalu quotes-quotes itu? Sekarang aku yakin jika kau memang benar-benar menyukai buku, hehe."
"Ayahku yang mengajarkannya. Dia bilang kalau aku rajin membaca buku, aku tidak akan tumbuh menjadi orang bodoh." Wonu lalu menoleh kearah Nari, "Sepertimu," tambahnya.
"Kuingatkan sekali lagi aku tidak sebodoh itu," kata Nari ketus.
"Eung, hyung," suara Seokmin terdengar lirih berusaha membuyarkan Wonu dari fokusnya. "Ada yang ingin bertemu dengan Nari-ssi."
Nari dan Wonu menoleh hampir bersamaan. Kedua matanya membesar melihat Mingyu sudah berdiri didepan meja kasir entah sejak kapan. Mata laki-laki itu terlihat sedikit merah, dan terasa menyeramkan. Nari buru-buru meminta izin pada Wonu untuk menemui kekasihnya yang kini tatapannya terasa semakin menghujam jantungnya. Dari matanya saja Nari sudah bisa menebak jika Mingyu sedang cemburu, dan ia tidak mau jika hal itu terjadi berlarut-larut.
"Mingyu-ya, ayo duduk disana." Nari melingkarkan tangannya pada lengan Mingyu lalu berjalan kearah meja yang terletak cukup jauh dari meja kasir. Lebih tepatnya dibalik rak buku.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Nari setelah menyamankan posisi duduknya.
"Melihat kekasihku sedang tertawa dengan laki-laki lain." Mingyu masih menatap Nari dengan tatapan tajam. Tidak, lebih tepatnya tatapan kasar. Tatapan yang tak pernah Nari lihat selama menjalin kasih dengan Mingyu. "Lalu apa menurutmu aku tidak boleh kesini?"
"Hei bukan begitu maksudku." Nari tersenyum kecut berusaha meluruhkan emosi laki-laki dihadapannya itu.
"Apa kau semakin dekat dengannya?" Mingyu tersenyum miring sambil membuang tatapannya menuju Wonu yang terlihat dari sela-sela rak buku. "Kurasa semua hal yang kau lakukan tak jauh-jauh dari laki-laki itu."
"Mingyu-ya, aku dan Wonu hanya berteman, tidak lebih dari itu. Lagi pula ini semua permintaan appa, bukan keinginanku. Kau harus tahu itu," suara Nari melemah mendengar hujaman kalimat yang keluar dari bibir Mingyu. "Dan untuk tugas iklan itu, dosen Ahn yang menyuruhku, bukan aku yang mau."
"Baiklah. Lalu apa kau pikir aku akan percaya dengan semua kalimatmu, Hwang Nari?" tanya Mingyu lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan Nari.
"Sayang kau mau kemana? Tunggu aku." Nari segera bangkit dari duduknya lalu berlari kecil mengejar Mingyu yang sudah membuka pintu hendak keluar.
"Kau mau pergi kemana?" tahan Wonu begitu Nari membuka pintu. Ia menaruh nampan diatas meja lalu berdiri menutupi setengah bagian pintu. "Aku harus bilang apa jika nanti ayahmu datang menjemput?" Wonu menatapnya dingin.
"Sebelum jam pulang kerja, aku sudah kembali. Minggir." Nari menarik kasar gagang pintu lalu mendorong Wonu menjauh. Ia sudah tidak ada waktu lagi. Mingyu sudah berada didalam mobil hendak meninggalkan kafe. Dan tepat sedetik sebelum laki-laki itu menginjak pedal gas, Nari sudah berhasil masuk kedalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...