"Ya! Ada apa dengan kalian?" tanya Sujeong penuh selidik. Kedua matanya tak bisa lepas dari Wonu dan juga Nari yang terlihat berbeda. Bagaimana tidak, kedua anak manusia itu terus tersenyum dengan sesekali saling pandang. Selain itu, kini Nari memperbolehkan Wonu untuk duduk di sampingnya. Jelas pemandangan itu membuat Sujeong heran, karena biasanya pertengkaran akan selalu meledak jika mereka bertemu. "Kalian pacaran?"
Wonu menoleh kearah Sujeong yang kini mendekatkan posisi duduknya. "Menurutmu begitu?" katanya lalu tersenyum.
"Wahhh, daebak." Sujeong menutup mulutnya kemudian bertepuk tangan berkali-kali. "Apakah ini serius? Iya? Kalian sungguh berpacaran? Nari-ya, katakan sesuatu."
Nari hanya terkekeh lalu menganggukkan kepalanya.
"Wah wah wah, aku tak bisa mengerti ini. Jadi setiap hari kalian bertengkar itu untuk apa? Ckckck" Sujeong masih tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika Wonu yang selama ini terkenal dingin bisa berubah menjadi sangat manis seperti itu di samping Nari.
"Pergilah ke kafe setelah kelas selesai. Aku akan mentraktir apapun sepuasmu," kata Wonu seraya merapikan semua buku dan alat tulisnya ke dalam tas.
"Ini sungguhan?"
"Kapan aku pernah bercanda?"
"Hehe, tidak pernah sih." Kini Sujeong menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Aku duluan ya," kata Wonu setelah menatap Nari yang masih berkemas di tempatnya. Gadis itu mengangguk pelan dan megalihkan pandangannya pada Sujeong yang terus memerhatikannya dan Wonu.
"Apa?" tanya Nari begitu Wonu sudah meninggalkan kelas. Seolah tahu jika sahabatnya itu punya banyak pertanyaan di dalam kepalanya. "Kau akan bertanya kan?" Nari terkekeh.
"Kau serius? Dengan Wonu?"
Nari mengangguk mantap. "Semalam aku sudah membicarakan semuanya dengannya. Aku bilang pada Wonu, kalau aku sadar aku egois jika menyukainya, tapi masih terus memikirkan Mingyu."
"Lalu apa katanya?"
"Wonu minta supaya aku tidak terlalu memaksakan diri. Dia tidak memermasalahkan itu." Kini Nari menatap dalam kedua manik mata Sujeong. "Entah, aku merasa sangat menyayanginya."
Wajah Sujeong berubah menjadi sangat serius. Bisa ia lihat ketulusan dari Nari, walau gadis itu belum bisa menghilangkan Mingyu dari ingatannya meski sudah berusaha mati-matian. Nari tidak pernah main-main dengan perasaannya. Bertahun-tahun ia mengenalnya, ia tahu betul jika Nari akan fokus pada satu hal sampai ia merasa berhasil. "Baiklah aku mengerti. Jika itu membuatmu bahagia aku akan mendukungmu, tapi ingat kataku, jangan pernah menangis lagi karena Mingyu. Oke?"
"Hmm, aku mengerti." Nari tersenyum lebar melihat Sujeong yang begitu perhatian kepadanya. "Ayo kita ke kafe, aku merasa tidak enak jika terlambat datang."
Sujeong segera bergegas mengejar Nari yang lebih dulu berjalan keluar kelas. "Lalu apa kedua orang tuamu sudah tahu masalah ini?"
"Belum. Aku akan menceritakannya dalam waktu dekat ini," kata Nari pelan. Di wajahnya jelas menggambarkan keraguan yang teramat dalam. Bagaimana caranya agar ia bisa menjelaskan rentetan kejadian itu satu persatu sampai orang tuanya benar-benar mengerti. Bagaimana caranya memberi tahu jika hubungannya dan Mingyu berakhir karena orang ketiga, jelas Ayah dan Ibunya tidak akan percaya begitu saja, terlebih keduanya sudah sangat percaya pada laki-laki itu selama ini.
"Aku yakin, kau masih ragu bukan?" Sujeong menyenggol pelan lengan Nari. Gadis itu menoleh pasrah lalu mengangguk. "Sebaiknya kau ceritakan dulu kalau kau sudah putus dengan Mingyu."
"Ya! Bagaimana caranya? Apa aku harus terang-terangan mengatakannya?"
Sujeong menatap mata sahabatnya itu penuh arti, dan Nari mengerti apa yang dimaksud gadis dihadapannya kini
@@@
Detik jam terus berputar hingga jarum pendek berhenti di angka 8. Langit di luar semakin gelap, dan Nari masih berkutat dengan beberapa buku catatannya di atas meja belajarnya. Malam ini ia izin pada Wonu untuk pulang lebih awal dari kafe karena harus mengerjakan tugas yang menumpuk.
Untuk pertama kalinya, gadis itu mengerjakan tugas tulis di rumah, karena biasanya ia akan merebut catatan milik Wonu dan menyalinnya di perpustakaan kampus. Namun, tidak untuk kali ini. Kini ia menjadi kekasih Wonu, tentu memalukan jika terus-terusan menjarah buku catatannya.
"Ya baiklah, kau sudah melakukan yang terbaik Nari-ya," ucapnya pada diri sendiri seraya menepuk-nepuk pelan kepalanya. Ia tersenyum lalu menatap layar ponselnya. Biasanya ada wajah Mingyu disana, namun kini berubah menjadi fotonya dengan Wonu ketika di kafe. "Ah iya," katanya lalu beranjak keluar kamar.
"Ohh, baru saja Ibu akan memanggilmu," kata Ibu Nari begitu berpapasan dengan putrinya di ambang pintu kamar Nari.
"Hmm? Aku juga akan turun."
"Ada Mingyu di bawah." Kalimat Ibunya sukses membuat Nari menelan paksa ludahnya. "Ayah sedang mengajaknya bicara di ruang tamu. Cepat turun." Kini gadis itu terpaksa berjalan lebih dulu dengan sedikit dorongan dari Ibunya.
Nari berdiri di tengah undakan tangga. Bisa ia lihat bagaimana Mingyu tersenyum menanggapi kalimat Ayahnya yang masih asyik berbicara. Laki-laki itu menatap dalam kedua mata laki-laki paruh baya yang kini menyeruput kopinya. Mingyu menyamankan posisi duduknya hingga akhirnya bertemu pandang dengan Nari yang masih terpaku di posisinya. Sekilas, ia tersenyum, lalu kembali mengalihkan pandangannya.
"Hei, apa yang kau tunggu?" bisik Ibu Nari yang dari tadi ikut diam di belakang anak gadisnya.
"Iya iya baiklah." Nari berjalan menuruni anak tangga hingga sampai di hadapan Ayahnya dan juga Mingyu di ruang tamu.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...