Nari kembali menyelipkan poni pada telinganya. Baru saja ia akan menguap, tapi pandangannya tertuju pada beberapa orang yang terlihat sibuk dan terburu-buru, hingga ia mengurungkan niatnya. Keadaan Bandara memang cukup padat dan ramai. Mengingat Jepang akan mengadakan Festival yang sangat besar, sehingga pengunjung dari berbagai Negara pun ikut meningkat.
Setidaknya sudah hampir 1 jam Nari duduk manis di ruang tunggu keberangkatan pesawat luar negeri. Penerbangannya ditunda entah sampai kapan, karena mendadak cuaca menjadi tidak bersahabat. Hujan disertai angin kencang terjadi tepat beberapa saat sebelum Nari dijadwalkan berangkat menuju Jepang. Tidak jauh dari posisi duduknya, terlihat Ayah dan Ibu Nari ikut menunggu.
"Lagi-lagi hujan," ucap Nari pelan begitu hujan semakin deras dan belum ada tanda-tanda mereda. "Apa aka nada badai?" tanyanya pada diri sendiri kemudian menatap layar ponselnya. Ada banyak panggilan dari Wonu yang sengaja ia abaikan.
Nari menarik nafas seraya memejamkan kedua matanya sejenak. Keputusannya sudah bulat dan tidak akan goyah. Ia sengaja tidak memberi tahu Wonu tentang keberangkatannya hari ini. Dan kalau boleh memilih, maka ia akan memilih untuk dibenci Wonu seumur hidupnya. Bukan tanpa alasan, Nari sengaja melakukan ini semua hanya untuk melupakan semua kenangannya bersama Wonu dengan cepat. Entah berhasil atau tidak, dirinya sendiri pun tidak pernah tahu.
Sudah cukup jauh langkahnya dengan Wonu. Semua kenangan indahnya dengan laki-laki itu harus dikubur dalam-dalam, karena pada dasarnya ia memang tidak pantas dan tidak seharusnya menyimpan perasaan pada Wonu. Nari tidak akan pernah menoleh lagi pada laki-laki yang pernah memporak-porandakan hatinya itu. Laki-laki yang juga selalu menjaganya dengan sangat baik selama ini.
Ponsel Nari kembali bergetar dan nama Wonu muncul di layar. Dengan cepat, ibu jarinya segera menggeser layar ke kiri untuk mematikan panggilannya. Namun sedetik kemudian Wonu kembali meneleponnya.
"Kau setega itu padaku?" tanya Wonu setelah Nari mematikan daya ponselnya kemudian menaruhnya di dalam tas. Suara beratnya yang datang tiba-tiba, sontak membuat gadis di hadapannya itu terkejut. "Kenapa tak angkat teleponku?" tanya laki-laki itu lagi setelah duduk di samping Nari.
Nari tak bergeming. Ia menggeser sedikit tubuhnya untuk menjauh dari Wonu yang duduk terlalu dekat dengannya. Dalam hati, ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan tidak melakukan apapun diluar kendali.
"Nari-ya," panggil Wonu. Laki-laki itu tetap menatap Nari meski kedua matanya tak bertemu. "Kau marah padaku? Kalau marah kau bisa bilang. Jangan mendadak pergi seperti ini."
"..."
"Aku yakin kau punya alasan untuk ini," tambah Wonu lagi.
"Tolong. Aku mohon." Nada suara Nari terdengar begitu lirih hingga nyaris tak terdengar. "Aku sudah pergi sejauh ini untu berusaha melupakanmu. Jadi aku minta tolong, jangan muncul lagi di hadapanku."
Nari menundukkan sedikit kepalanya. Sebenarnya bukan kalimat itu yang ingin ia katakan pada Wonu, tapi juga kenapa sangat sulit untuk mengatakan yang sesungguhnya. Yang ia mau hanya kembali hidup normal tanpa dibayang-bayangi rasa bersalahnya.
"Lagi pula tidak seharusnya kau pergi kesini. Apa kau tidak lihat di luar sedang hujan?" pekik Nari.
Wonu menoleh kearah dinding kaca di seberang kursi yang mereka duduki, lalu kembali menatap Nari. "Apa peduliku," kata Wonu setelah menyandarkan punggungnya dengan nyaman pada kursi. "Aku akan mengatakannya sekali. Jadi aku harap kau mendengarnya dengan baik." Wonu menarik nafasnya perlahan. "Jujur tidak semudah itu bagiku."
Nari menoleh. Sedangkan laki-laki di sampingnya menatap lurus ke depan. Ia berusaha menangkap ucapan Wonu, karena keadaan Bandara yang cukup ramai dan bising. "Apanya?"
"Melepasmu. Aku tidak bisa melepasmu begitu saja. Aku sudah terlalu nyaman dan terlalu mencintaimu." Wonu menoleh sekilas kearah kedua orang tua Nari yang duduk tidak jauh dari putrinya. Wonu memberi isyarat jika ia hanya sebentar saja disitu. "Setidaknya, jika kau ingin pergi jauh dariku, bukan seperti ini caranya."
"Aku lelah berurusan denganmu," kata Nari pelan. "Aku sudah berkali-kali mengatakannya kepadamu. Aku tidak akan pernah mau bersamamu jika tahu kita bersaudara dan akan berakir seperti ini." Nari menghentikan kalimatnya untuk beberapa saat. Ia melirik sekilas Wonu yang begitu tenang di sisinya. "Aku membencimu."
"Aku tahu. Kau boleh membenciku seumur hidupmu, tapi aku tidak akan pernah membencimu sedikitpun. Aku tidak pernah berpikir jika bertemu denganmu adalah sebuah kesalahan, justru aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan sosok yang selama ini aku inginkan. Seseorang yang secara tidak langsung bisa membantuku berubah menjadi lebih baik dan terbuka. Aku tahu terlambat mengatakan ini semua, tapi aku tidak pernah menyesal sudah menghabiskan hari-hariku bersamamu." Kini Wonu menoleh Nari dan menatap matanya begitu bertemu pandang. "Aku sangat-sangat berterima kasih kepadamu, karena sudah lahir dan datang padaku meski akhirnya seperti ini."
Kedua mata Nari mulai berkaca-kaca lagi. Entah kenapa gadis itu tetap tidak bisa mengontrol perasaannya meski sudah berkali-kali mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terlihat sedih di hadapan Wonu, karena yang seharusnya membencinya adalah Wonu. Bukan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...