8 | Bring It

157 21 2
                                    

"Wonu-ya, makan dulu." Suara wanita paruh baya terdengar begitu lirih dari arah dapur. Ia sibuk menyiapkan piring dan juga makanan untuk disantap bersama anak laki-lakinya. Sesaat setelah semua rapi diatas meja, ia lalu membersihkan meja dapur, menyapu lantainya, kemudian mencuci tangan di wastafel.

"Eomma, aku kan bisa menyiapkannya sendiri," kata Wonu ketika melihat meja sudah ditata sedemikian rupa oleh ibunya.

"Sekali-sekali eomma juga mau memasak." Wanita itu tersenyum lalu menarik kursi dihadapannya.

Wonu duduk di samping ibunya kemudian mulai menyantap masakan yang sudah disiapkan, "Hari ini aku akan langsung ke kafe."

"Kau tidak kuliah?"

"Libur."

Ibu Wonu menarik nafasnya perlahan, "Eomma mau kali ini kau kuliah dengan baik. Jangan sampai seperti di Changwon."

Wonu menghentikan kegiatan makannya. Kalimat ibunya terdengar seperti tamparan untuk dirinya. Sejauh ini, pindah ke Seoul hanyalah keterpaksaan baginya. Meski raganya berada dalam kota metropolitan ini, namun sesungguhnya jiwanya masih tetinggal di kota kelahirannya, Changwon. Masih menyatu dengan segala kenangan dan peristiwa yang menyesakkan dada, entah sampai kapan.

"Aku sudah selesai makan. Sepertinya nanti aku pulang telat," kata Wonu lalu meraih tasnya dan meninggalkan dapur serta ibunya yang masih memandangi kepergiannya.

Langkahnya terhenti di ambang pintu masuk. Matanya tertuju pada motor yang dulu sering ia gunakan pergi ke sekolah ketika masih di Changwon. Kuda besi itu bertengger manis di pelataran rumahnya. Wonu ingat betul ketika akan pindah ke Seoul ia memaksa agar Ibunya mengizinkannya untuk membawa serta motor besar itu.

Ia mendekati motor hitam yang tetap terlihat gagah meski sudah hampir 2 minggu belum dicucinya, "Apa sebaiknya hari ini aku pergi denganmu?" tanya Wonu sambil menyunggingkan senyum andalannya kemudian mulai menyalakan mesin.

Tak sampai 15 menit, kini Wonu sudah berada di tengah padatnya kota Seoul. Menerobos puluhan mobil yang berjajar rapi di tengah kota. Semilir angin yang berhembus membuat kemeja yang ia kenakan mulai terbang kesana kemari. Mungkin kini semua pandangan anak gadis tertuju pada dirinya. Terlihat paling mencolok ketika berada di tengah jalan. Menggunakan kaos polos berwarna putih dipadu dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru muda dan juga yang tak boleh ketinggalan adalah celana denim hitam dengan sedikit robek pada bagian lutut.

Setelah melepas helm, Wonu memarkirkan motor kesayangannya di sisi kafe. Tidak akan ada yang berani menyentuhnya. Wonu yakin soal itu. Ia segera berjalan menuju pintu dan memasuki kafenya.

"Selamat pagi bos," ucap Seokmin dengan senyum lebar khasnya.

Wonu menoleh kearah laki-laki yang sering dipanggilnya kuda itu, "Pagi sekali. Ada apa? Kau bertengkar dengan orang tuamu lagi?"

Seokmin tersenyum kecut. Omongan Wonu memang benar. Ia selalu datang pagi-pagi sekali jika sedang bertengkar dengan orang tuanya. Membuka pagar kecil didepan kafe, membuka pintu, kemudian mulai membersihkan meja dan juga kursi di dalam kafe. Itulah yang dilakukan Seokmin jika sang pemilik belum datang. Meski sebenarnya jarak umurnya dengan Wonu hanya berbeda satu tahun.

Kafe yang tidak terlalu besar itu memang milik Wonu. Kafe pemberian ayahnya beberapa tahun lalu, dan diberikan padanya sewaktu masih berada di Changwon. Awalnya Wonu enggan menjalankan kafe itu, karena ia masih ingin mengejar cita-citanya sebagai penyiar radio, namun lama kelamaan dan karena suatu hal, akhirnya ia memutuskan untuk tetap mengejar cita-citanya sekaligus menjalankan kafe.

Bukankah suatu keuntungan? Kita tidak pernah tahu apakah yang kita rencanakan dan korbankan demi menggapai sesuatu akan berhasil atau tidak. Hanya Tuhan yang mengetahui bagaimana akhirnya. Seandainya ia gagal menjadi seorang penyiar radio, Wonu jadi tak perlu pusing-pusing lagi tentang karirnya, karena sudah ada kafe yang ia pegang selama ini.

"Annyeonghaseyo ahjusshi, anda datang lagi pagi ini." Suara Wonu terdengar melembut begitu menyambut seorang pria dengan umur kira-kira 50 tahunan. Pria itu begitu rapi dengan setelan jas hitam dan rambut yang diberi sedikit minyak.

"Tentu saja. Aku selalu ingin kesini untuk bertemu denganmu, hahaha," ucap pria itu.

Wonu bergegas ke dapur untuk meracik kopi kesukaan pria yang hampir setiap pagi menjadi pelanggan pertamanya itu. Dengan sigap ia meraih cangkir kecil untuk diletakkan diatas meja. Tangannya bergerak mengambil satu kantong kopi dari laci penyimpanan kemudian menghaluskannya dengan mesin grinder. Ia sangat hapal takaran untuk menciptakan kopi yang pas di lidah pria itu.

"Seokmin-ah, ambilkan dua potong roti disana," kata Wonu sambil menunjuk lemari kecil di sebelah Seokmin berdiri.

"Wuahh, kurasa kau sudah cocok jadi menantunya hyung." Seokmin tertawa geli melihat ekspresi menyeramkan Wonu begitu mendengar ucapannya barusan.

Nampan sudah siap. Wonu meletakkan segelas kopi panas dan juga dua potong roti di atas piring kecil. Senyumnya merekah membayangkan bagaimana senangnya pria itu saat menyeruput kopi buatannya ini.

"Silahkan ahjusshi," kata Wonu sambil menyodorkan nampan diatas meja lalu duduk di hadapan pria itu.

"Terima kasih. Aku tahu kau akan memberiku ini," kata pria itu lalu mengambil sepotong roti dan menyantapnya.

Wonu tersenyum. Seperti yang ia duga, pria itu tersenyum puas begitu menyeruput kopinya. Entah kenapa rasanya begitu senang jika melihat pria paruh baya bermarga Hwang itu selalu datang mengunjungi kafenya. Hati Wonu seolah melemah. Melihat kerutan dan juga kantong mata pada wajah pria itu membuat hatinya sedikit teriris. Wonu teringat ayahnya. Sosok pria yang ia rindukan selama bertahun-tahun. Ia merindukan ayahnya. Sangat merindukannya.

"Apa kau bertengkar dengan ibumu lagi?" tanyanya tiba-tiba.

Wonu menahan senyumnya. Dari wajahnya, pria itu sudah bisa menangkap jika hari ini Wonu masih belum bisa bicara bebas dengan ibunya. Ia sudah tahu jika laki-laki muda dihadapannya itu sering adu mulut dengan ibunya. Dan masalahnya tak pernah jauh-jauh dari kuliah Wonu.

"Kau tahu? Orang tua tak pernah bisa marah lama-lama dengan anaknya. Nanti pulang dari sini, sapalah ibumu terlebih dahulu," kata pria itu.

"Ne ahjusshi." Wonu mengangguk pelan.

"Ratusan kali aku berpikir apa anakku bisa menjadi sepertimu." Pria yang Wonu panggil Hwang ahjusshi itu tiba-tiba tersenyum pahit.

Wonu menautkan keningnya, "Ahjusshi, kalau boleh saya tahu, memangnya ada apa dengan anak anda?"

"Dia sangat manja. Memang salahku terlalu memanjakannya dari kecil. Sekarang dia jadi sulit untuk mandiri. Terkadang aku takut, jika aku sudah tiada apa bisa dia bertahan hidup di dunia ini." Sekali lagi, Hwang ahjusshi tersenyum pahit sambil memikirkan bagaimana masa depan anaknya nanti.

"Anda tidak boleh bicara seperti itu ahjusshi," ucap Wonu perlahan. Ia harus berhati-hati jika ingin merespon perkataan pria itu, karena masalah keluarga merupakan masalah yang sangat sensitif. Sedikit saja ia salah bicara, bisa saja hati pria itu justru semakin terluka.

"Tidak tidak, itu memang benar. Aku sangat khawatir bagaimana dia menghadapi dunia ini. Padahal aku ingin sekali dia tumbuh menjadi anak yang kuat. Paling tidak, aku ingin dia mulai bekerja."

"Bekerja? Bukankah itu akan sulit?"

"Tapi nyatanya kau bisa kan." Hwang ahjusshi tersenyum bangga memandang Wonu yang nampak kikuk didepannya.

Wonu tersenyum kecut, "Euum, itu...."

"Bolehkah anakku bekerja disini? Kau bisa membantunya menjadi rajin kan?"

Wonu diam. Tenggorokannya tercekat. Ia tak mampu menolak permintaan pria itu, meski kalau boleh jujur ia akan menolaknya dalam sekali dengar. Namun kenyataannya justru ia mengiyakan permintaan Hwang ahjusshi, "Baiklah, aku akan membantu anak anda agar lebih rajin," katanya lalu tersenyum.

"Syukurlah. Kalau begitu mungkin di hari minggu aku akan mengajaknya kemari untuk menemuimu," ucap paman Hwang sambil meneguk habis kopinya.

"Aku berangkat dulu," tambahnya lalu melempar senyum pada Wonu yang juga tersenyum lebar melihatnya.

"Hati-hati di jalan ahjusshi." Wonu melambaikan tangannya begitu mobil paman Hwang melaju pelan meninggalkan kafenya.

@@@

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang