61 | Imperfect Love

75 10 7
                                    

Nari menyeka keringat yang perlahan mengucur dari dahinya. Ia baru saja duduk di dalam bus setelah menyelesaikan kelas terakhirnya di Kampus. Beberapa kali ia mengibaskan tangan kanannya berusaha untuk menurunkan kembali suhu tubuhnya. Akhir-akhir ini suhu di Korea semakin panas dan kelembapan sangat tinggi. Itu tandanya, Musim Semi akan segera berakhir dan berganti dengan Musim Panas. Tak jauh di belakangnya, Wonu sedang duduk bersandar di kursi belakang. Laki-laki itu cukup sadar diri untuk tidak duduk di samping Nari seperti dulu, karena sudah setuju untuk pergi ke Rumahnya saja sudah hal yang bagus.

Butuh ribuan cara hingga akhirnya Nari setuju untuk mengunjungi rumah Wonu terakhir kali sebelum pindah ke Jepang. Wonu tidak bisa lagi meminta gadis itu untuk tinggal. Sesekali tatapan mata Wonu tertuju pada Nari yang terus menatap keluar jendela. Gadis itu tidak menolehnya sama sekali. Ia hanya mengangguk patuh ketika di kelas sesaat setelah Wonu memintanya untuk berpamitan pada Ibu kandungnya.

Rencana Nari untuk pindah ke Jepang jelas membuat Wonu bertanya-tanya, karena perlakuannya pada Wonu malam itu seolah menginginkan untuk terus bersama Wonu apapun yang terjadi. Hingga akhirnya, Nari memutuskan untuk menjauh dari laki-laki yang sangat dicintainya itu tanpa ada penjelasan sedikit pun.

Bus berhenti di Halte yang dituju Nari dan juga Wonu. Keduanya turun lalu berjalan beriringan menuju rumah. Tidak ada satupun yang mau berbicara lebih dulu, hingga akhirnya rumah Wonu sudah terlihat di ujung jalan. Wonu yang hendak membuka pintu gerbang seketika menghentikan langkahnya. Ia berbalik melihat Nari yang enggan menatapnya.

"Nari-ya," panggil Wonu.

Nari tak bergeming.

"Ya! Tatap aku jika sedang bicara denganmu!" Nada suara Wonu meninggi. Ia sudah cukup sabar dengan sikap Nari sejak di Kampus tadi, tapi tidak untuk kali ini. Gadis itu hanya mengangguk dan menggelengkan kepala untuk menjawab semua pertanyaannya. "Mau sampai kapan kau akan terus begini?!"

"..."

Wonu mendekati tubuh Nari, sedangkan gadis itu berjalan mundur beberapa langkah. "Tolong jangan membuatku semakin frustasi," katanya seraya menggenggam kedua pundak Nari. "Nari-ya."

Nari menatap Wonu setelah mengerjapkan kedua matanya berkali-kali berusaha agar air yang mulai menggenang disana menghilang.

"Sudah banyak yang kulakukan demi bertemu denganmu. Aku mohon hanya kali ini saja. Setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku mohon kali ini saja, tolong bersikap baik pada Ibu kandungmu. Setidaknya kali ini saja, untuk terakhir kalinya sebelum kita berpisah."

"Iya." Hanya kata itu yang bisa Nari keluarkan. Lehernya terasa tercekat hingga tidak bisa mengeluarkan kalimat lagi.

Wonu melonggarkan cengkramannya. Membiarkan gadis itu masuk ke rumah lebih dulu. Lagi-lagi dadanya terasa sesak. Wonu mengelus perlahan dadanya seraya menarik nafas dalam-dalam. "Sesakit inikah rasanya," ucapnya pada diri sendiri.

"Wonu­-ya, makanlah dahulu," kata Ibu Wonu setelah meletakkan rajutannya di atas meja. "Nari tidak makan karena sedang berdiet katanya."

"Nanti saja," jawab Wonu pelan. Tak jauh dari posisi Ibunya ia melihat Nari yang duduk dengan kepala sedikit menunduk. "Makanlah dulu." Kali ini pandangan Wonu beralih pada Nari.

"Nari-ya, makanlah sedikit saja, ya?" pinta Ibu Wonu. "Kau sudah sekurus ini kenapa harus berdiet, sayang. Kesehatanmu jauh lebih penting."

"Jika kesehatanku yang terpenting, lalu kenapa Ibu tidak pernah memastikan keadaanku?" tanya Nari tiba-tiba yang berhasil membuat Wonu dan juga Ibunya menahan nafas. "Jika memang Ibu memedulikan keadaanku, kenapa tidak pernah mencariku selama ini? Kenapa tidak pernah mencari tahu apakah aku masih hidup atau tidak!!!" Nada bicara Nari meninggi hingga wanita paruh baya yang duduk di sampingnya itu terkejut.

"NARI-YA!!" kali ini Wonu yang membentak Nari. "Aku tidak memintamu kesini untuk melakukan itu!"

"Aku tidak bicara padamu, Jeon Wonwoo-ssi." Tatapan Nari mengarah lurus pada laki-laki yang berdiri tak jauh darinya. "Kenapa kau mengepalkan tanganmu? Kau mau memukulku? Silahkan," kata Nari lalu menyeka air matanya.

"Kau ini." Wonu sudah maju beberapa langkah untuk membawa Nari keluar rumah, namun tangan Ibunya menahannya.

"Sudah, sudah," ucap Ibu Wonu dengan suara yang teramat lirih. Wanita itu menatap Nari yang kini sudah menangis tersedu-sedu. Tatapannya begitu dalam hingga ia juga bisa merasakan bagaimana perasaan Nari saat ini. Ia tidak menyalahkan sikap Nari yang lancang sedikit pun. Dirinya sangat sadar jika ini semua adalah murni kesalahannya yang dengan sengaja meninggalkan Nari di Panti Asuhan.

"Maafkan Ibu, Nari-ya. Ini semua memang salah Ibu yang memilih untuk menitipkanmu disana, karena dengan begitu, Ibu pikir kau akan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Maafkan Ibu," ucap Ibu Wonu. "Ibu berencana untuk menjemputmu kembali dari sana setelah keadaan keluarga kita membaik, tapi ternyata Ibu kalah cepat dari Ayahmu saat ini, maafkan Ibu sekali lagi."

"Memangnya apa salahku sampai Ibu tega meninggalkanku disana? Bukan aku yang minta untuk dilahirkan, Bu," ucap Nari lirih. "Bukan salahku jika aku terlahir di keluarga Ibu. Itu urusan Ibu untuk menjagaku. Itu tanggung jawab Ibu!!!" Nari menjerit sejadi-jadinya. Ia sudah tidak kuat lagi menahan segala pertanyaan yang ia simpan selama ini. Keterkejutannya masih belum hilang, karena sejak kecil yang ia tahu dirinya adalah anak dari keluarga Hwang. Hidup dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang disana, tanpa kekurangan suatu apapun. Lalu tiba-tiba dihadapkan dengan kenyataan seperti ini, membuat setengah dari hidupnya hancur berkeping-keping. Ini semua bukan masalah harta ataupun tentang kekayaan, tapi tentang sebuah tanggung jawab yang harus dipikul dan diemban dengan baik sebagai seorang Ibu.

"Maafkan Ibu." Tangis Ibu Wonu pecah. Ia mendekatkan tubuhnya pada Nari lalu memeluk erat anak gadisnya itu. Bayi mungil yang ia tinggalkan di Panti Asuhan bertahun-tahun yang lalu kini sudah tumbuh dengan sangat baik. "Maafkan Ibu, Nari-ya. Maafkan Ibu. Ibu sangat menyesal."

Mendengar permintaan maaf yang berkali-kali diucapkan Ibu kandungnya, akhirnya Nari luluh juga. Gadis itu juga memeluk wanita di hadapannya dengan sangat erat. Berharap jika waktu bisa diputar kembali, mungkin ia akan menemukan Ibu kandungnya dengan cepat dan memerlakukannya dengan baik.

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang