15 | Change Up

97 16 0
                                    

Mingyu tak memperdulikan kekasihnya yang kini terengah-engah sedang mengatur nafasnya. Ia terus menginjak pedal gas dan melaju kencang ditengah padatnya lalu lintas. Seolah tuli dengan panggilan Nari yang terus memanggilnya. Mulutnya bungkam selama perjalanan. Entah apa yang akan Mingyu tuju, ia sendiri tak tahu. Yang jelas kakinya tak pernah berhenti menginjak pedal gas dan juga rem.

"Maafkan aku gyu. Kalau kau cemburu dengan Wonu, aku benar-benar minta maaf," ucap Nari lirih. Ia menyerongkan posisi duduknya agar bisa melihat ekspresi wajah Mingyu. Nari sadar ada sesuatu yang terjadi pada Mingyu sebelum ini, namun ia sendiri tak tahu. Sekalipun Mingyu tak pernah bersikap kasar padanya. Bahkan jika Nari sedang berkumpul dengan teman laki-lakinya yang lain, Mingyu tak pernah sedikitpun merasa cemburu berlebihan seperti ini.

"Kau tak mau menjawabku? Hm?" Nari terus memandang wajah dingin Mingyu yang pandangannya tak terlepas dari jalan raya. "Kau bukan tipikal laki-laki cemburuan gyu, aku tahu. Aku yakin pasti ada suatu hal yang membuatmu menjadi seperti ini. Bukan aku, bukan juga Wonu, tapi hal lain."

Sekuat tenaga Nari berusaha untuk menahan tangisannya agar tidak pecah dihadapan Mingyu, namun sia-sia. Matanya sudah basah dengan air mata. Sesekali ia menyeka air matanya sendiri, dan laki-laki yang sangat dicintainya itu masih tak bergeming. Sakit? Sangat. Bagaimana jika seseorang yang sangat kau cintai tiba-tiba berubah seperti monster yang bahkan kau sendiri tidak tahu alasannya apa? Rasanya seperti seseorang tengah menyayat hatimu dengan pisau berkarat. Rasa sakitnya semakin lama semakin menjalar keseluruh tubuh.

"Aku tidak suka kau dekat dengannya," ucap Mingyu tiba-tiba. "Dan aku juga tidak suka dengan Wonu."

"Kenapa? Pasti ada alasannya kan? Kau bisa beri tahu aku sayang."

"Apa kau membelanya karena kau sudah menyukainya? Atau mencintainya?" sengit Mingyu.

"Kapan aku membela Wonu? Aku hanya tanya apa alasanmu membencinya gyu."

Mingyu kembali diam. Ia memukul setir dengan kasar saat mobilnya terhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. Laki-laki itu sudah tidak bisa berpikir jernih. Yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana cara membuat Nari jauh dengan Wonu. Ia tak bisa lama-lama berada didekat Wonu, karena Wonu merupakan sebuah ancaman besar baginya. Ancaman yang bisa menyerangnya kapan saja.

"Jauhi Wonu," kata Mingyu dingin.

Nari menoleh, "Maaf aku tidak bisa. Kau tahu sendiri appa yang menyuruhku bekerja disana."

"Jika hanya ingin kau bekerja, bukankah di kantorku juga bisa? Kenapa appa malah menyuruhmu bekerja di kafenya, bukan di kantorku."

"Mingyu-ya, maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu. Sekali lagi itu semua keinginan appa. Berhenti bersikap seperti ini padaku," kata Nari disela isak tangisnya. Tangisannya terdengar semakin kencang. Mingyu seperti tidak memikirkan bagaimana perasaannya begitu mendengar semua tuduhannya sejak di kafe.

"ARRGGHHH!!!" Mingyu berteriak kencang sambil memukuli setirnya berkali-kali.

Nari sudah tidak bisa bertahan lagi. Mingyu benar-benar membuat hatinya terluka. Laki-laki itu bukanlah kekasihnya yang seperti biasanya. Mingyu tidak pernah berbicara kasar padanya. Mingyu selalu mendengarkan dan percaya dengan semua hal yang Nari ceritakan. Dan laki-laki yang kini sedang berteriak kesal disampingnya itu bukanlah Mingyu.

Lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau. Mingyu semakin menjadi-jadi. Ia menginjak pedal gas semakin kuat hingga mobilnya melaju kencang tak terkendali. Beberapa kali ia menekan klakson dengan kasar agar kendaraan didepannya segera menyingkir memberinya jalan dengan bebas. Ia sudah tidak peduli lagi dengan semuanya. Serasa hidupnya sudah semakin hancur. Sehingga ia rasa mati pun tak mengapa.

"Mingyu-ya, pelankan laju mobilmu. Ini bahaya," ucap Nari ketakutan.

Laki-laki itu tak bergeming. Ia masih tetap melajukan mobil seperti sedang kesetanan. Tanpa peduli jika kendaraan di sekitarnya hampir terserempet mobilnya.

"Baiklah, aku tidak akan memintamu menjadi model tugas iklanku dengan Wonu. Aku akan berusaha menjauhinya sebisaku, tapi maaf, jika sedang di kafe sangat tidak memungkinkan untuk melakukan itu." Nari akhirnya mengalah. Ia menuruti permintaan Mingyu untuk menjauhi Wonu. Ia tak mau Mingyu terus menerus memikirkan hal yang menurutnya tidak penting itu. "Sekarang tolong turunkan aku."

"Ini masih jam kerja, aku tahu kau tidak akan mengantarku kembali ke kafe." Nari menyeka air matanya yang kembali membasahi pipinya. "Maafkan aku."

Mingyu melambatkan laju mobilnya lalu sedikit demi sedikit menepi. Ia tak memandang gadisnya sama sekali. Emosi dan amarahnya seakan memaksanya untuk tidak memerdulikan apapun. Termasuk Nari. Egonya lebih tinggi dibandingkan perasaan cintanya kepada gadis itu. "Turun."

Kepala Nari mendongak pelan menatap kekasihnya yang amat dingin itu dengan senyum pahit. Rasanya seperti sudah tidak ada harapan lagi ketika Mingyu benar-benar menurunkannya ditepi jalan seperti permintaannya. Laki-laki itu masih tetap acuh dengannya. Bahkan untuk melirik pun sepertinya Mingyu enggan melakukannya.

"Kau tahu, tidak ada laki-laki lain yang bisa menggesermu dari hatiku. Ada banyak laki-laki yang menjadi temanku, tapi aku tidak pernah terpikirkan mencari penggantimu." Nari meletakkan tangannya diatas tangan Mingyu yang masih menggenggam setir lalu mengelusnya pelan. "Sungguh aku hanya mencintaimu gyu." Nari mendekatkan wajahnya pada pipi Mingyu. Mengecup mesra pipi laki-laki itu. "Kalau kau sudah siap menceritakan satu hal itu, temui aku." Nari tersenyum lalu melepaskan seat belt dan bergegas keluar.

Pintu mobil sudah tertutup beberapa detik yang lalu. Mobil Mingyu juga sudah menghilang dari hadapan Nari, namun gadis itu masih berdiri mematung menghadap jalan. Kedua matanya menatap nanar tepian trotoar. Sesaat kemudian air mata kembali membasahi mata dan pipinya. Dengan cepat ia berjongkok, menutupi wajah dengan tumpuan kedua tangannya yang ada diatas lutut. Gadis itu kembali menangis ditepi jalan. Rasanya tak kuat menopang berat tubuhnya. Kakinya terasa lemas. Bahkan untuk bernafas saja sulit.

Dunia seolah membeku untuk beberapa saat. Oksigen disekitarnya seakan menghilang. Dan waktu pun terasa ikut mendukung keadaannya dengan berhenti sejenak. Nari tak kuat menerima semua ini sendiri. Ia begitu lemah untuk menerima hujaman yang ditujukan padanya dalam satu waktu. Dirinya sendiri masih belum bisa menerima fakta jika saat ini Mingyu memang menyakiti hatinya. Sosok laki-laki manis dengan sikap lembut itu baru saja menunjukkan sifat aslinya.

@@@

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang