40 | Together

101 17 0
                                    

"KISSEU?!!" Sujeong masih akan berteriak jika tangan Nari tak lekas menutup mulut gadis itu. Beberapa mahasiswa bahkan sempat menoleh kearah keduanya yang sedang duduk di sudut kelas.

"Ya!" Nari memukul kepala Sujeong, namun gadis itu masih tetap meledek Nari hingga sakit perut menahan tawanya sendiri. "Demi apapun aku menyesal bercerita kepadamu."

"Iya iya aku minta maaf." Sujeong berusaha menormalkan ekspresi dan menghilangkan tawanya. "Lalu bagaimana?"

"Bagaimana apanya?! Kau pikir saja sendiri," kata Nari masih sedikit kesal.

Sujeong terkekeh kemudian mendekatkan tubuhnya, hingga bahu keduanya bersentuhan. "Hei, ayolaahhh," goda Sujeong seraya menusuk-nusuk pipi Nari dengan jari telunjuknya.

"Berhenti meledekku," kata Nari lalu mendorong pelan tubuh Sujeong agar menjauhinya.

"Iya baiklah." Sujeong tersenyum lebar. "Tapi jujur saja, aku masih tidak percaya dengan Wonu. Berani sekali dia," pikir gadis itu.

Nari tak bergeming. Kalau boleh mengeluh, ia akan mengeluh sepanjang hari karena sakit kepalanya.

"Wonu menyukaimu," kata Sujeong tiba-tiba.

Nari menoleh, "Apa maksudmu?"

"Kau pikir saja, tidak mungkin dia menciummu jika tidak ada perasaan apapun."

Yang dikatakan Sujeong ada benarnya. Tidak mungkin Wonu menciumnya hanya karena iseng. Dan lagi pula, selama dirinya kenal dengan laki-laki itu, Wonu juga tidak pernah melakukan candaan yang berlebihan.

"Lalu bagaimana perasaanmu?" tanya Sujeong penuh selidik.

"Aku bingung." Nari menghela nafasnya berat. Amat berat. "Kau tahu? Sebenarnya ada perasaan aneh jika aku sedang bersama Wonu. Jujur saja, aku selalu merasa nyaman jika dia ada di dekatku, dan selalu merasa jika Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya."

Sujeong kembali menahan tawanya. Gadis itu gemas melihat bagaimana cara Nari menceritakan perasaannya. "Ya! Lalu ajakannya berkencan bagaimana?"

"Ahh, aku tidak tahu ah." Nari mengacak pelan rambutnya dengan satu tangan. "Tadi pagi aku meninggalkannya dan pergi dengan Mingyu."

"Mingyu? Dia ke rumahmu pagi-pagi?" tanya Sujeong.

"Ayah menyuruhnya ke rumah, untuk menemaniku."

"Kau belum mengatakan apa yang terjadi?"

Nari menggeleng pelan, "Aku merasa jika orang tuaku tahu, justru akan memperumit keadaan."

Sujeong mulai mengerti kenapa Nari bersikap seperti itu, karena sahabatnya itu masih memikirkan Mingyu. Nari belum bisa melupakan laki-laki yang selama ini mengisi hari-harinya. Meskipun sebenarnya dirinya sendiri sadar jika ada perasaan nyaman dengan laki-laki lain, selain Mingyu. "Kau masih belum bisa melupakan Mingyu," ucap Sujeong akhirnya.

Kedua mata Nari membelalak, lalu segera berjongkok di bawah meja setelah sebelumnya ia sengaja menjatuhkan pulpen ke lantai. Bukan karena jawaban Sujeong, tapi karena Wonu yang tiba-tiba masuk ke dalam kelas.

"Apa yang kau lakukan hei?" tanya Sujeong keheranan. Gadis itu berusaha menangkap arti dari bahasa tubuh yang Nari berikan. Namun nihil, ia sama sekali tak paham apa maksudnya, karena Nari terus berbicara tanpa suara dan menempelkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Kenapa dia?" tanya Wonu yang sudah berdiri di samping Sujeong. Laki-laki itu menatap heran pada Nari yang kini menutupi kepalanya dengan kedua tangan sembari menunduk.

Mendengar suara berat khas Wonu, secara perlahan Nari mendongakkan kepalanya kemudian tersenyum lebar dengan sangat terpaksa. Ia meraih pulpen yang sebelumnya ia jatuhkan, kemudian duduk kembali ke kursinya. "Pulpenku terjatuh."

"Dosen Ahn mencarimu," kata Wonu.

"Ah? Benarkah? Dimana sekarang?" Nari buru-buru mengemasi bukunya dari atas meja dan memasukkannya kembali kedalam tas.

"Gedung pertunjukan. Ayo, aku juga akan pergi kesana." Kalimat Wonu baru saja membuat Nari mematung tak berkedip. Hari ini benar-benar sial pikirnya. Susah payah ia menghindari laki-laki itu, namun pada akhirnya tetap harus pergi bersama. Sedangkan Sujeong hanya tertawa kecil melihat Nari tersenyum kecut kearahnya sebelum akhirnya meninggalkan kelas.

"Ya! Kenapa rokmu pendek sekali sih?" tanya Wonu yang menyadari jika Nari berusaha membenarkan plaid skirt-nya yang terkena hembusan angin, ketika berjalan melewati lapangan. Meskipun tidak terlalu tersingkap, namun gadis itu terlihat tidak nyaman.

"H-hehe, lalu mau bagaimana lagi." Nari menjawab seadanya tanpa menoleh Wonu yang terus memerhatikan tingkahnya. Ia memercepat langkah kakinya hingga berhasil mendahului Wonu.

"Pakai ini untuk menutupi rokmu." Wonu menyodorkan kemeja lengan panjangnya begitu berhasil menyamai langkah Nari. "Kau tidak akan memakainya?" tanya Wonu lagi karena Nari hanya menatap kemejanya tanpa ada niatan untuk mengambilnya.

"O-oh iya, baiklah." Nari meraih kemeja dari tangan Wonu dan segera melilitkan ke pinggangnya.

"Apa kau sedang berusaha menghindariku?" tanya Wonu tiba-tiba.

"Tidak. Kenapa juga aku menghindarimu." Nari tertawa kecil, namun terlihat sekali jika tawanya dipaksakan.

Baru saja ia ingin memercepat langkahnya kembali, namun tangan Wonu sudah menahannya. "Aku serius, kau masih mencintai Mingyu?" pertanyaan Wonu barusan seolah memaksa Nari untuk menatap lekat-lekat kedua mata laki-laki itu.

Bimbang. Mungkin kata itu adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan Nari saat ini.

Jujur saja, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Wonu selalu ada untuknya ketika Mingyu mulai mencampakkan dirinya demi gadis lain. Wonu selalu memberinya waktu untuk menormalkan emosinya hingga merasa tenang. Meskipun menyebalkan, namun sekalipun laki-laki itu tidak pernah bersikap kasar padanya. Nyaman? Sudah pasti. Jika mengingat bagaimana cara laki-laki itu memerlakukanya dengan sangat manis, Jantungnya kembali berdetak tak menentu.

Sementara Mingyu? Meski sudah melukai dan menenggelamkannya di dasar lubang hitam yang menyesakkan, namun di dalam hati kecil Nari, ia masih menyayangi laki-laki bertubuh jangkung itu. Demi apapun, sampai detik ini Otak dan Hatinya masih terus berperang. Ketika Otaknya meminta untuk melupakan Mingyu, memaksanya untuk menjauhi laki-laki itu, namun Hatinya berkata lain.

Nari menghela nafas entah yang keberapa kali. Ia akan menjawab pertanyaan Wonu sebelum akhirnya, teriakan Dosen Ahn yang berdiri di depan Gedung pertunjukan di seberang lapangan membuyarkan pikirannya.

"Kita bahas lagi nanti," kata Wonu lalu berjalan menjauhi Nari.

@@@

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang