35 | Hug

106 15 1
                                    

Beberapa saat suasana terasa haru. Laki-laki menyebalkan yang terus mengusik hidupnya itu kini terlihat sedikit menundukkan kepalanya sembari menahan tangis. Beberapa saat kemudian bahunya bergetar hebat dan isak tangis terdengar lirih. Nari mendekatkan tubuhnya, lalu menepuk-nepuk pelan pundak Wonu. "Tak apa. Menangislah agar kau lega."

Tangisan Wonu terasa semakin kencang. Ia berjongkok didepan rak kaca sembari tersedu-sedu. Membuat Nari juga tak bisa menahan tangis. Gadis itu berlutut disamping Wonu. Kedua tangannya merengkuh tubuh Wonu yang terus bergetar hebat akibat tangisannya. "Hanya aku laki-laki brengsek yang membuatnya berakhir seperti ini," ucap Wonu dalam pelukan Nari. "Dia meninggal karena aku. Aku sudah jadi kakak yang tidak berguna."

"Ssshh, tenangkan dirimu, Wonu-ya." Suara Nari bergetar. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana selain menenangkan Wonu. Laki-laki itu terus menerus menyalahkan seraya memukuli kepalanya sendiri.

"Jika aku tidak pernah bersikap seperti itu, kurasa dia tidak akan seperti ini." Setelah mengatakan itu Wonu terdiam cukup lama.

Nari membiarkan laki-laki itu menenangkan dirinya sendiri. Setelah dirasa cukup, ia menegakkan pundak Wonu dan mengajaknya pergi meninggalkan ruangan itu. Mungkin halaman diluar gedung bisa membantu memperbaiki perasaan Wonu.

"Sudah merasa baikan?" tanya Nari lalu duduk disebelah Wonu setelah menyodorkan segelas kopi panas.

Wonu mengangguk pelan.

"Baru kali ini aku melihatmu seemosional itu." Nari meneguk kopinya. Ia menoleh Wonu yang masih tak bergeming. "Tak apa. Sesekali manusia memang perlu melakukan hal seperti itu untuk meluapkan perasaan mereka."

Wonu meneguk kopinya. Ia masih diam, kemudian beberapa saat kemudian menunduk pelan. "Bagaimana cara agar aku tidak terus-terusan dihantui perasaan menyesal?"

"Apa kau merasa seperti itu?"

"Hmm," jawab Wonu pelan.

"Kenapa?"

"Karena aku yang membuat Eunji berakhir seperti itu."

Nari meletakkan gelas kopi diantara dirinya dan juga Wonu. Ia menarik nafas pelan, berusaha memikirkan kalimat apa yang cocok ia ucapkan agar tidak melukai perasaan Wonu. Pikirannya semakin liar dan tak menentu. Tentu saja tentang semua perkataan Wonu yang berhubungan dengan adiknya.

"Kalau kau mau, kau bisa menceritakannya padaku, tapi jika kau merasa itu privasimu, tak apa," kata Nari pada akhirnya.

"Kau itu sangat mirip dengannya. Tiap kali aku melihatmu rasanya seperti aku sedang melihat Eunji," jelas Wonu. Laki-laki itu menghela nafas, "Dulu aku anak berandalan. Satu sekolah tidak ada yang berani melawanku. Asal kau tahu saja, Eunji bunuh diri karena aku."

"Dia bunuh diri? Kenapa?" Nari tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika Eunji meninggal karena bunuh diri.

Wonu menyeka air matanya sendiri. Penyesalan yang dalam tergambar jelas dari raut wajahnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menceritakan satu persatu kejadian yang menimpa adik kesayangannya itu. Ia sadar ini semua salahnya. "Seseorang dendam padaku, hingga menjadikan Eunji bahan taruhan."

Kening Nari berkerut, "Taruhan?"

"Iya. Dia berusaha membalaskan dendamnya melalui Eunji. Dia sengaja mengajak teman-temannya untuk bertaruh, apakah Eunji akan menerima ajakannya berkencan atau tidak."

Nari tidak bergeming. Ia menelan ludahnya. Otaknya sudah sangat amat liar membayangkan bagaimana jahatnya laki-laki yang dimaksud Wonu.

"Hingga akhirnya Eunji menerimanya. Seluruh anak perempuan otomatis membenci adikku karena laki-laki itu termasuk populer di sekolah. Eunji dijadikan bahan bully."

Nari kembali menelan ludahnya. Seketika bulu-bulu di kedua tangannya berdiri. Cerita yang Wonu jelaskan bukanlah kisah dalam drama, namun kisah nyata. Cerita yang sering dijadikan bahan drama itu ternyata benar-benar terjadi di kehidupan nyata. "Sungguh?"

Wonu menoleh Nari sekilas, kemudian menganggukkan kepalanya.

@@@

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang