36 | Fearless

104 17 0
                                    

Sudah nyaris 30 menit Nari diam di depan wastafel. Kedua tangannya sibuk mencuci gelas demi gelas yang seakan tak ada habisnya. Meski tatapan gadis itu tertuju pada kucuran air didepannya, namun pikirannya ada pada kalimat yang Wonu ucapkan beberapa hari lalu tentang adik perempuannya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan laki-laki yang dimaksud Wonu. Tega-teganya berbuat hal mengerikan seperti itu pada perempuan. "Cih," desisnya.

"Nari-ya, apa yang kau pikirkan?" tanya Seokmin yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya.

"Eii Seokmin-ah, sudah berapa lama kau mengenal Wonu?"

Kening laki-laki itu berkerut, "Sudah lama sekali. Ada apa?"

"Apa kau tahu tentang adik perempuannya?" tanya Nari penuh selidik.

"Eunji maksudmu?"

Nari menghentikan kegiatannya. "Kau sungguh mengetahuinya?"

"Hmm." Seokmin menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Ada apa?"

"Beberapa hari lalu Wonu menceritakan Eunji padaku." Gadis itu menghela nafasnya, "Aku benar-benar terkejut. Dia bilang jika aku mirip dengan adiknya."

"Hehe ternyata bukan aku saja yang berpikiran sama." Seokmin terkekeh.

"Sungguh?" pekik Nari. "Semirip itukah?"

"Iya. Eh sudah dulu ya, sepertinya ada pelanggan yang datang," kata Seokmin kemudian belari kecil meninggalkan dapur.

Nari diam beberapa saat. Sebenarnya ada banyak pertanyaan di kepalanya, namun ia segera tersadar untuk menyelesaikan pekerjaan mencucinya. "Apa benar semirip itu?" gumamnya.

"Apa kini kau sudah gila?" tanya Wonu yang tiba-tiba sudah berdiri dibelakangnya menghadap kulkas.

Gadis itu menoleh cepat kearah Wonu yang kini tengah menatapnya seraya berdiri menempel pada pintu kulkas. Laki-laki itu meneguk airnya. "Ya! Sejak kapan kau disitu? Membuatku kaget saja," pekik Nari dengan suara lantangnya.

"Aku pikir kau sudah gila," lanjut Wonu kemudian meletakkan gelas bekas minumnya diatas meja.

"Bisa diam saja tidak sih," sungut Nari. "Kau berhutang padaku ya."

"Berhutang apa?"

"Karena aku sudah menemanimu menangis beberapa hari lalu," kata Nari kemudian terkekeh.

"Iya akan kubayar," jawab Wonu kemudian mendekati Nari yang kini mulai mengelap satu persatu gelasnya. Laki-laki itu berdiri disamping Nari seraya membantunya.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya Nari tanpa menoleh Wonu.

"Lumayan. Berkatmu."

"Kalau begitu kau harus mentraktirku sesuatu," pekik Nari. Kini tatapannya tertuju pada Wonu yang mulai meletakkan gelas pada rak. Ia menggeser sedikit tubuhnya agar lebih dekat dengan wastafel, namun tangannya yang licin justru membuat gelas di genggamannya terjatuh menghantam meja wastafel.

Praaaannnggg....

Wonu refleks menoleh, dan Nari sudah berjongkok memunguti pecahan kaca gelas di lantai.

"Aww..." Nari menjerit kecil begitu pecahan kaca tak sengaja melukai jari telunjuknya. "Maafkan aku."

"Kau ini ceroboh sekali sih," sungut Wonu. Tangannya meraih tangan Nari. "Kuambilkan kotak obat dulu," ucapnya lalu pergi menjauh setelah melihat luka sobek di jari gadis itu.

"Sini jarimu." Wonu kembali meraih tangan Nari, namun gadis itu menepisnya.

"Biar aku sendiri saja," jawab Nari. Wonu tak menjawab ucapannya. Ia tetap menahan tangan Nari lalu membersihkan lukanya dengan alkohol.

Nari melirik wajah Wonu sekilas. Perlahan ia merasa jika detak Jantungnya tak biasa. Berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu betul laki-laki dihadapannya itu adalah Wonu yang ia kenal. Laki-laki kasar yang selalu membuatnya kesal, namun tidak untuk kali ini. Entah kenapa, Nari justru merasa nyaman berada di dekat laki-laki itu. Sorot mata Wonu terlihat begitu khawatir begitu mengetahui luka di jarinya.

"Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali ya," ucap Wonu tanpa mendongak.

"Jangan menatapku seperti itu, karena aku tidak akan bertanggung jawab jika kau menyukaiku." Nari menirukan ucapan Wonu yang sering diucapkan padanya begitu sadar jika sedang diperhatikan.

Mendengar suara Nari yang begitu lucu ketika menirukan ucapannya, Wonu tersenyum tipis.

"Heii, kau bisa tersenyum juga ya," pekik Nari menahan senyumnya.

"Aku bukan robot," kata Wonu yang kini memasang plester pada jari Nari. Laki-laki itu kemudian berdiri untuk mengembalikan kotak obat di tempatnya semula. "Ayo ikut aku."

Nari menoleh, "Hmm? Kemana?"

"Ke rumahku. Gelas yang kau pecahkan itu harus diganti, dan semua stok gelas ada di rumah," kata Wonu lalu bergegas keluar mendahului Nari.

Nari menghela nafasnya pelan. Ia melepaskan celemek yang sebelumnya ia gunakan untuk mencuci kemudian menggantungnya dibalik pintu.

"Tunggu aku," pekik Nari begitu Wonu sudah berjalan menuju pintu keluar kafe.

Gadis itu berjalan cepat kearah Seokmin, lalu membisikkan sesuatu, "Apa bosmu itu tidak bisa santai sedikit?"

Seokmin terkekeh, "Cepat sana pergi."

"Baiklah. Aku pergi dulu Seokmin-ah." Nari melambaikan tangannya lalu menghilang dibalik pintu.

@@@

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang