Nari membalas pesan Ayahnya begitu sampai di Halte, karena ia sadar jika belum menghubunginya seharian ini. Di samping gadis itu, sudah ada Mingyu yang menemaninya. Sebelumnya, Wonu sudah pergi lebih dulu karena harus kembali bekerja ke Kafe. Bahkan, Wonu juga yang meminta Mingyu untuk menemani Nari belanja untuk kebutuhannya di Jepang nanti.
"Mingyu-ya, kau bisa pergi jika kau keberatan," kata Nari begitu melihat Bus tujuannya mulai mendekat.
"Apa kau mengusirku?" goda Mingyu.
Nari tersenyum sekilas, "Bukan. Aku takut membuatmu repot.
"Tidak. Tenang saja."
Nari mengangguk paham, "Baiklah," jawab gadis itu kemudian menaiki Bus yang sudah berhenti di depannya.
"Mingyu-ya," panggil Nari. Ia membiarkan Mingyu yang memilih untuk duduk tepat di sampingnya.
"Hmm?" Mingyu menoleh. "Ada apa?"
"Terima kasih."
"Untuk?"
"Semuanya."
Mingyu tersenyum. Ia tidak menjawab perkataan Nari. Justru ia memalingkan wajahnya yang memerah entah apa penyebabnya.
"Apa pekerjaan paruh waktumu berjalan dengan baik?" tanya Nari lagi. Sejujurnya gadis itu sangat penasaran dengan bagaimana cara Mingyu menjalani hidupnya setelah sang Ayah menendangnya keluar rumah. Ia tahu betul Mingyu tidak pernah hidup susah sejak kecil. Ia mengenal Mingyu dengan sangat baik, dan laki-laki itu tidak pernah sekalipun terlihat kekurangan.
"Lumayan. Aku mendapatkan banyak uang dari pekerjaan itu." Mingyu kini nampak lebih semangat dari sebelumnya. "Setidaknya aku memiliki 4 jenis pekerjaan paruh waktu," tambahnya.
"Syukurlah. Sebenarnya aku sedikit khawatir padamu."
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa hidup penuh tekanan." Mingyu menyunggingkan senyum lebarnya hingga gigi taringnya terlihat.
Nari tersenyum miris. Yang dikatakan Mingyu benar adanya, karena meski hidup bergelimang harta, nyatanya tidak membuat hidup Mingyu menjadi bahagia. Justru yang terjadi sebaliknya, penuh tekanan dan selalu dipenuhi amarah.
Bus melaju begitu beberapa penumpang turun di Halte tujuan, termasuk Nari dan Mingyu. Keduanya berjalan menuju toko buku yang terletak tidak jauh dari Halte. Seolah terbawa angin, senyuman dan wajah cerah Nari seketika menghilang sejak turun dari Bus.
"Mingyu-ya," panggil gadis itu.
Mingyu menoleh lalu ikut menghentikan langkahnya di sebelah Nari. "Apa?"
"Sebenarnya aku akan berangkat malam ini," ujarnya. Nari menyeka air matanya kemudian mendongak menatap Mingyu yang justru mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu? Kau bilang jadwal keberangkatanmu masi beberapa hari lagi."
Nari tersenyum pahit, "Aku tahu akan sesakit ini melepasnya. Jadi aku memutuskan untuk pergi lebih cepat tanpa mengabarinya lebih dulu."
"Nari-ya," panggil Mingyu pelan. "Kau serius? Kau lihat sendiri bagaimana Wonu menaruh harap padamu sebelum kau pergi ke Jepang."
"Aku tahu, aku tahu." Nari menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan berat. Sangat berat. "Tapi ini sakit Gyu."
Mingyu tercekat. Hatinya berdesir begitu mendengar Nari memanggilnya seperti itu. Panggilan yang selalu Nari ucapkan ketika masih bersama. Ia tahu ini bukan waktu untuk kembali mengingat kenangannya bersama gadis itu, namun hatinya sendiri tidak bisa berbohong.
"Karena sebenarnya aku tidak ingin belanja apapun saat ini. Aku sudah menyiapkannya jauh-jauh hari. Aku sudah bertekat akan pergi tanpa berpamitan dengannya."
"Pikirmu itu mudah?" tanya Mingyu tiba-tiba. "Apa kau pikir kau tidak akan menyakitinya juga?"
"Lebih baik dia membenciku." Nari menghentikan kalimatnya, kemudian menatap Mingyu. "Karena jujur, hidup di sisinya setelah tahu fakta itu, terasa semakin sulit. Dan aku lebih memilih, lebih baik dia membenciku seumur hidupnya."
"Nari-ya," panggil Mingyu pelan. "Pikirkan lagi keputusanmu. Ini bukan pergi dari rumah menuju Kampus, tapi ke Jepang. Kau akan berpisah dengannya, apa tidak apa-apa untukmu?" Mingyu berusaha meyakinkan gadis di hadapannya itu. Sedang Nari hanya menyeka air matanya, namun dilihat dari raut wajahnya, ia sedang berpikir keras.
"Aku sudah memikirkannya berulang kali, dan keputusanku sudah bulat Gyu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Blossom
Fanfictionapa yang akan kamu lakukan jika hidupmu yang sempurna bak kisah drama, tiba-tiba berubah menjadi suatu paksaan yang bahkan kamu tidak inginkan sama sekali? -- paksaan yang menuntutmu melakukan hal-hal diluar zona nyamanmu, hingga akhirnya membuatmu...