17 | Thinkin' About You

118 14 0
                                    

Semua ini masalah waktu. Keadaan bisa berubah kapanpun dia mau. Sama seperti roda yang berputar, kehidupan pun terus berjalan. Terkadang kita tertawa, namun terkadang kita juga harus merasakan bagaimana rasanya sedih. Dunia ini cukup adil untuk ditempati. Semua orang dengan bergantian akan dapat merasakan bagaimana sensasinya ketika perasaan naik atau turun. Senang dan sedih pasti akan datang. Sekali lagi, ini semua hanya masalah waktu. Cepat atau lambat akan terjadi.

"Kau yakin?" selidik Sujeong dengan wajah panik. Ia menghela nafasnya begitu Nari menamatkan kalimat terakhirnya. Gadis itu tak habis pikir jika Mingyu melakukan hal diluar dugaannya hanya karena cemburu dengan Wonu. Terlebih Mingyu bukanlah tipe laki-laki yang mudah cemburu jika Nari berteman dengan banyak laki-laki.

"Lalu bagaimana tugas iklanmu? Kau kan memintaku untuk jadi model dengannya?" tambah Sujeong.

Nari tersenyum kecut. "Entahlah. Jujur saja aku jadi malas berpikir."

"Sudah membahas ini dengan Wonu?" Sujeong kembali menelisik. Gadis dihadapannya menggeleng pelan.

"Apa perlu kutelepon supaya dia cepat datang?" tawar Sujeong sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.

"Tak perlu."

"Ya, memang tak perlu. Karena dia sudah ada disana." Sujeong mengarahkan dagunya menunjuk Wonu yang berjalan mendekati keduanya.

Nari menoleh. Sedetik kemudian ia menghela nafas. "Entah kenapa aku jadi tidak bisa membencinya."

"Seokmin akan menjadi model kita," ucap Wonu lalu menyeruput minuman milik Nari.

"Ya! Itu milikku," sengit Nari seraya merebut kembali gelas minuman miliknya. "Kau sudah bicara dengannya?" lanjut gadis itu.

Wonu mengangguk pelan. "Ia jadi begitu semangat begitu kuberi tahu jika akan menjadi model iklan denganmu." Kini Wonu terkekeh sambil menghadap Sujeong.

"Aku?" Sujeong menunjuk dirinya sendiri menggunakan jari telunjuk.

"Iya, kurasa dia menyukaimu." Wonu tertawa geli melihat ekspresi kecut Sujeong mendengar kalimatnya.

Nari menghela nafasnya kembali. Setidaknya sekarang ia bisa bernafas lega karena Wonu sudah menemukan model pengganti Mingyu. Meski ia sendiripun tak tahu akan menjadi seperti apa iklan itu nantinya, yang jelas untuk saat ini ia harus membuat gambaran cerita iklan yang menarik dan sesuai dengan kepribadian Seokmin.

"Kau sudah baikan?" kini Wonu memandang gadis disampingnya yang sedang sibuk dengan ponselnya. Nari mengangguk pelan.

Sujeong mengamati kedua temannya itu penuh dengan rasa penasaran. Tentu saja, terakhir kali Nari bertengkar dengan Wonu saat bertemu di kafe. Nari selalu menceritakan keburukan Wonu dan hal-hal menjengkelkan lainnya hingga membuatnya benci dengan laki-laki itu. Namun kini, Nari dan Wonu justru terlihat lebih akur dari biasanya. "Apa kalian baru saja membuat perdamaian?" selidiknya.

Nari refleks memukul tangan Sujeong diatas meja. "Apa maksudmu?!" sengitnya.

"Aneh saja melihat kalian berdua tidak bertengkar." Sujeong terkekeh geli melihat wajah Nari yang memerah.

"Ayo ke kafe. Aku sengaja tutup hari ini supaya kita bisa membuat iklannya. Seokmin juga sudah disana." Wonu bangkit dari duduknya lalu mengeluarkan ponsel. Laki-laki itu menghubungi Seokmin untuk mengatakan jika ia akan datang dengan Nari dan juga Sujeong.

"Aku pergi ke perpustakaan dulu ya, buku milikku ketinggalan," kata Sujeong setelah mengeluarkan semua isi dalam tasnya. "Kalian duluan saja, nanti aku menyusul."

" Ayo kutemani." Nari beranjak dari duduknya lalu mendekati Sujeong.

"Tidak usah, kau pergi dulu saja dengan Wonu. Daahh." Sujeong berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya. Ia berlari kecil menaiki tangga untuk pergi ke perpustakaan yang berada di lantai 4.

Nari menghela nafasnya. Lagi-lagi waktu kembali membiarkannya hanya berdua dengan Wonu. Ia sedikit jengah dengan keadaan ini, karena ia memang belum terlalu akrab dengan laki-laki itu.

Dering ponsel berbunyi dari kantung celana milik Wonu. Ia menghentikan langkahnya tiba-tiba, hingga membuat Nari yang berjalan mengikutinya dibelakang nyaris menabrak tubuh tingginya. "Ck, bisa tidak sih kalau berhenti tidak mendadak," gerutu Nari lalu kembali menjaga jarak dengan Wonu.

"Seokmin sudah memesankan ayam untuk kita." Setelah kembali memasukkan ponsel pada kantung celana, Wonu membalikkan tubuhnya untuk berbicara pada Nari yang masih mematung dibelakangnya. "Sebenarnya kenapa kau selalu berjalan dibelakangku sih?"

Nari menggeleng sambil menggaruk belakang kepalanya. Ia tersenyum kecut mendengar pertanyaan Wonu. "Tidak apa-apa, hehe."

"Ck yasudah ayo cepat ke kafe." Laki-laki itu menarik tangan Nari agar berjalan disampingnya. "Seokmin memang bisa diandalkan."

"Kau yang menyuruhnya?" tanya Nari sambil melepaskan cengkraman Wonu dari tangannya. Laki-laki itu menahan senyumnya lalu menggeleng.

Keduanya terus berjalan melewati taman kampus yang sangat luas. Kampus Nari adalah salah satu kampus dengan fasilitas dan pembelajaran yang mumpuni. Ada banyak dosen yang didatangkan langsung dari luar negeri untuk mengajar para mahasiswa. Tentu saja dosen-dosen yang memang pakar dibidangnya. Selain karena memiliki indeks prestasi yang tinggi, kampus Nari juga terbilang sangat luas. Didalam kampus dengan bangunan bernuansa Eropa itu terdapat danau kecil disalah satu sisi gedung, lengkap dengan bangunan rumah kecil dan jembatan mini untuk melepas penat.

Nari melayangkan tangannya untuk meraih bunga Sakura yang berjatuhan. Pohon-pohon Sakura yang ditanam disepanjang jalan utama menuju kampus pun menjadikan kampus Nari tampak seperti Negeri dongeng. Ia tersenyum ketika tangannya berhasil menggenggam beberapa helai Sakura. Guguran bunga Sakura memang tidak pernah membosankan setiap tahunnya, dan ia sangat menantikan itu.

"Kau sangat menyukainya?" tanya Wonu ketika sadar jika Nari tak berhenti menyunggingkan senyumnya menikmati Sakura.

"Suka sekali. Entah kenapa aku paling suka dengan musim semi. Cuaca cerah dan hangat membuatku begitu tenang." Nari tersenyum lebar menyunggingkan deretan giginya yang rapi.

"Lalu dengan musim lainnya?"

"Aku suka juga, tapi aku paling suka dengan musim semi, hehe."

"Apa hanya aku yang membenci musim semi," kata Wonu lirih lalu tersenyum miring. Ia duduk di bangku halte diikuti Nari disampingnya. Gadis itu terus bertanya kenapa, hanya saja ia malas menjelaskannya. Membiarkan ribuan pertanyaan tengah bergejolak dalam diri Nari.

"Baiklah aku diam sekarang." Nari mendengus kesal ketika sadar Wonu dengan sengaja mengabaikan semua pertanyaannya. Matanya tertuju pada sebuah bus yang mulai mendekat. "Karena kau mengabaikanku, kau harus membayar tagihan busku." Nari berjalan cepat mendahului Wonu yang baru saja berhasil mengeluarkan ponsel dari dalam celananya. Gadis itu tersenyum riang sambil mengatakan kepada sopir bus jika Wonu akan membayar untuk dua orang. Nari terkekeh geli di bangkunya melihat ekspresi Wonu yang tak terima dengan ucapannya.

"Ya! Kau bahkan belum mengganti tagihan bus waktu itu," sengit Wonu ketika menduduki bangku kosong disamping Nari. Sedang gadis disampingnya hanya terkekeh geli.

"Kau kan pemilik kafe, tidak mungkin tidak punya uang." Nari masih menahan tawanya sambil menekan-nekan bahu Wonu dengan ujung jari telunjuknya.

"Kau sendiri juga anak pengusaha kaya, tidak mungkin tidak punya uang," balas Wonu sambil memandang gadis disampingnya agar berhenti menekan bahunya.

--

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang