12 | Don't Wanna Cry

121 15 0
                                    

Nari berjalan kearah halaman belakang, ia berkeliling mencari Mingyu, namun tak berhasil. Langkahnya kini berganti menuju kolam renang yang berada tak jauh dari halaman. Matanya menelusuri tiap sudut berharap segera menemukan sosok laki-laki yang sangat dicintainya itu.

"Dia pergi kemana sih?" gumam Nari sambil memutar tubuhnya untuk kembali ke dalam rumah.

Grrpp..

Tiba-tiba seseorang memeluk tubuhnya dari belakang. Sepasang tangan berukuran besar melingkar manis di perut ratanya. Nari terdiam. Ia tahu ini tangan Mingyu. Laki-laki itu menempelkan dagu pada bahu Nari, sehingga nafasnya sangat terasa menyentuh kulit. Mingyu memeluknya erat. Tangan itu tak bergerak sedikitpun. Sesekali Nari mendengar isak tangis dari balik tubuhnya.

Nari membalikkan tubuhnya lalu membalas pelukan Mingyu. "Menangislah sampai kau merasa lebih baik."

Mingyu mempererat pelukannya. Ia menangis sejadi-jadinya. Mingyu benci keadaan ini. Keadaan dimana ia tak lagi bisa merasakan hangatnya pelukan seorang ibu ketika ayahnya memarahinya. Keadaan dimana ia sulit sekali mencari waktu yang tepat hanya untuk bertemu ibunya. Mingyu benar-benar merindukan ibunya. Ia rindu semuanya. Dan saat ini hanya Nari yang mengerti perasaannya. Sejauh ini ia tak bisa menemukan gadis sebaik dan sehebat Nari dalam hidupnya. Mingyu pun rasanya enggan untuk mencari, karena ia hanya mau gadis di dalam pelukannya inilah yang bersamanya hingga tua nanti.

"Tenangkan dulu dirimu gyu," ucap Nari sembari tangannya mengusap-usap punggung Mingyu.

"Kau mau pergi ke rumahku?" tawar Nari lalu melonggarkan pelukannya. "Biar aku saja yang menyetir," tambahnya lalu tersenyum pada Mingyu begitu pelukannya terlepas seluruhnya.

Mingyu menganggukan kepala pelan lalu tersenyum sekilas. Setidaknya dengan adanya Nari disisinya dapat mengurangi sedikit beban. Ia sadar untuk saat ini ia hanya memiliki ayahnya dan Nari, namun hanya Nari lah yang bisa menemani hari-harinya.

Keduanya lalu segera bergegas masuk ke dalam mobil. Mingyu tak berpamitan kepada ayahnya. Hanya Nari yang kembali ke dalam rumah untuk meminta izin pada ayah Mingyu lalu kembali dan mengemudikan mobil.

Untuk sementara, Mingyu memilih diam. Suasana hatinya tidak begitu baik melihat ayahnya sudah berani membawa wanita lain ke rumah. Dadanya terasa sesak. Rasanya ingin sekali ia menumpahkan semua kekesalannya di depan ayahnya, namun tidak pernah bisa. Mingyu memang membenci ayahnya. Tidak, bukan membenci. Lebih tepatnya sedikit kesal. Mingyu tidak pernah berbagi cerita dengan ayahnya selama ia pindah ke Seoul. Hubungannya dengan sang ayah terasa kaku. Meski sebenarnya jauh di dalam hatinya, ia begitu menyayangi pria paruh baya yang selama ini merawatnya.

"Mingyu-ya, kau tidak apa-apa?" tanya Nari pelan dari balik kemudi.

Mingyu menoleh lalu tersenyum, "Ya, aku baik-baik saja."

"Apa kau tahu kau membuatku khawatir?" Nari tak menoleh kearah Mingyu. Ia hanya melirik melalui ekor matanya.

"Maafkan aku." Mingyu tersenyum pahit.

"Sungguh aku ingin membuat hubunganmu dengan ayahmu membaik."

Mingyu menghela nafas lalu membuang pandangan menghadap jendela, "Berhentilah melakukan hal itu sayang. Kau hanya buang-buang waktu."

Nari tak lagi menjawab perkataan Mingyu. Ia terus berpikir bagaimana cara menghidupkan tawa dalam keluarga kekasihnya itu. Hatinya ikut teriris tiap kali melihat Mingyu beradu mulut dengan ayahnya sendiri.

"Baiklah kalau begitu, mari kita turun," ucap Nari begitu mobil memasuki halaman rumahnya yang luas.

Nari segera turun dari mobil kemudian berlari menutup gerbang yang masih terbuka. Mingyu memperhatikan tingkah gadisnya itu sambil tersenyum. Nari tetap ramah kepada penjaga gerbang yang yang kini tengah menyantap makanannya di dalam pos berukuran cukup besar yang terletak tak jauh dari gerbang. Bahkan ketika penjaga itu akan menutup gerbang, Nari segera memberi isyarat agar terus melanjutkan kegiatan makannya agar tidak terganggu dengan kedatangannya.

Love BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang