[S3] 5. Bahagia

1.5K 180 16
                                    

Tangan Randa gemetar pelan memegang benda pipih di tangannya tersebut. Tanpa sadar ia menangis. Segera menghapus air matanya. Lalu keluar dari kamar mandi.

Membangunkan Sabian yang masih terlelap. Menggerakkan lengan kanan Sabian agar pria itu terbangun.

Bukannya bangun, Sabian malah semakin memeluk bantal guling, merubah posisi membelakangi Randa membuat Randa merengut kesal lalu meraih bantal memukul tubuh Sabian membuat pria itu tersentak bangun.

"Kenapa?" tanya Sabian lemas dan suaranya serak akibat masih mengantuk.

"Bangun dulu Bi. Aku punya sesuatu buat kamu!" ujar Randa ceria seraya menarik tangan Sabian agar Sabian duduk.

Akhirnya Sabian duduk, membuka matanya dengan lebar dengan kening mengkerut saat Randa memberikan sebuah benda pipih padanya.

"Kamu bakal jadi ayah!" Sabian melongo lalu menatap Randa, kemudian kembali menunduk benda di tangannya.

"Hah? Serius?!"

Senyum Randa surut saat melihat tidak ada tanda kebahagiaan di wajah Sabian. "Kok ekspresimu gitu?"

"Em... ya kali aja ini gak bener Mir. Belum tentu kan test pack akurat?" ujar Sabian ragu. Randa terlihat berpikir lalu mengangguk pelan.

"Gimana kalau kita ke dokter aja, Bi. Kamu mending mandi cepat deh!"

"Ini masih pagi Mir. Mana ada Dokter Kandungan buka jam segini." Sabian kembali beringsut tidur memeluk gulingnya.

Randa terdiam menatap Sabian. Hatinya mencelos melihat respon Sabian. Mengusap perutnya yang masih rata. Randa yakin jika di dalam sana telah ada buah hatinya.

"Kamu gak seneng ya aku hamil?"

Meski Sabian mendengar, tapi ia tetap diam. Sama sekali tidak merespon perkataan Randa. Bahkan berdoa mudah-mudahan saja test pack tersebut salah. Karena ia enggan Randa hamil.

Kalau sampai itu terjadi, tentu perhatian Randa tidak lagi sepenuhnya untuknya. Apalagi perubahan suasana ibu hamil selalu berubah-ubah yang membuat Sabian tentunya jengkel nantinya.

"Bi..." Randa merengek seraya menggerakkan lengannya pelan.

Akhirnya Sabian mengangguk. "Iya aku seneng." Tapi nadanya begitu malas membuat Randa kesal. Menghempaskan lengan Sabian. Kembali lagi melempar Sabian menggunakan bantal.

Keluar dari kamar dengan membanting pintu.

Sabian menghela nafas kasar, menoleh menatap pintu.

Sepertinya Randa benar-benar hamil. Dan hari-hari mengerikan akan terjadi ke depannya.

Dan seperti dugaan Sabian. Randa benar hamil. Ketika mereka ke Dokter Kandungan. Dokter mengatakan jika Randa positif hamil.

Beda dengan Randa yang tersenyum sepanjang jalan pulang ke apartemen, Sabian menekuk wajahnya. Sangat kesal luar biasa.

"Bi, aku mau makan gudeg." Sabian menoleh menatap Randa yang merengek seraya mengelus perutnya.

Sabian pun mengarahkan mobil menuju ke tempat penjual gudeg. Makanan khas jota tersebut. Walau Randa ingin makan di tempat, tapi ia bersikeras agar dibungkus saja. Untung saja Randa menurut membuat mereka tidak perlu berdebat.

Tiba di apartemen, Randa menawarkan Sabian, tapi Sabian melengos masuk ke kamar. Tidak mengacuhkan Randa yang terpekur.

Makan sendirian hingga habis, Sabian belum keluar dari kamar. Membuatnya masuk ke kamar usai makan.

"Kamu beneran gak seneng aku hamil?!" tanya Randa tajam menatap Sabian yang menatap ke layar ponsel. Sikap Sabian yang dingin seharian ini dan tidak terlihat menunjukkan kebahagiaan saat mengetahuinya hamil membuatnya menyimpulkan jika Sabian memang tidak bahagia dengan kehamilannya.

"Aku seneng kok," jawab Sabian acuh tak acuh. Tetap menatap layar ponselnya.

Terkejut saat Randa merebut ponselnya lalu membantingnya di lantai.

"Mir!" ujar Sabian tertahan. Masih berusaha mengontrol suaranya. Menatap Randa yang kini tatapannya datar. Mengusap wajahnya secara kasar lalu berdiri menghadap ke arah Randa. "Aku seneng kok kamu hamil."

"Kamu bohong!" desis Randa pelan seraya mendorong pundak Sabian. "Kamu bohong!!" teriaknya kesal.

Sabian menghela nafas kasar, berkacak pinggang menatap Randa. "Iya. Aku gak seneng kamu ham..."

Plak!

Belum selesai ucapan Sabian, Randa telah menampar pipinya. Sabian hanya mampu menghela nafas kasar. Menatap Randa yang keluar dari kamar.

Ia menendang udara. Melampiaskan rasa kesalnya.

Baru berumur enam minggu, janin di perut Randa itu telah membuat ulah. Membuat Randa badmood hingga melampiaskannya padanya. Bagaimana jika membesar nanti?

Sangat mengesalkan!

*****

Entah sudah berapa lama Randa dan Sabian perang dingin. Baik Randa maupun Sabian tidak ada yang ingin mengalah untuk mengakhirinya. Meski tiap hari bertemu, bahkan tidur di atas ranjang yang sama. Tapi dengan posisi saling membelakangi.

Sabian akan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali dan pulang larut malam sehingga meminimalisir pertemuannya dengan Randa.

Sebenarnya Randa enggan seperti ini, tapi rasa kesal akibat respon Sabian atas kehamilannya membuatnya kecewa, marah pada pria itu.

Seharusnya sekarang Randa bermanja-manja pada Sabian. Apalagi ia mengalami ngidam. Pagi hari akan mengalami mual dan berakhir muntah.

Meski tidak ekstrim seperti saat mengandung Arga, tapi tetap saja ia mengalami hal yang seperti ibu hamil pada umumnya.

Saat sedang mencuci piring, bel unitnya berdenting hingga ia menjeda kegiatannya. Membuka pintu unitnya dan sosok tetangga di depan yang muncul.

"Hai!" sapa Farzan seraya menyunggingkan senyum tipis yang dibalas dengan hal serupa oleh Randa.

Pria itu menyodorkan sebuah kotak kue pada Randa. "Saya lagi bagi-bagi kue pie buat tetangga sebagai penghuni baru. Em walaupun agak telat ya, soalnya saya baru sembuh."

Randa menerimanya, mengucapkan terima kasih. Terakhir bertemu dengan Farzan, pria itu memang mengenakan kruk. Tangan serta kakinya dibalut perban. Kini pria itu terlihat sehat. Di depan dada pria itu terdapat seekor kucing yang berada dalam gendongan. Seperti seorang bayi saja.

"Oh ini namanya Mocca," ujar Farzan seraya menggerakan salah satu kaki Mocca. "Hai Randa!" sapanya dengan suara yang dibuat-buat.

"Saya kira Brownie?" tanya Randa seraya mengelus kepala kucing tersebut. Mengingat saat berkenalan dengan Farzan, pria itu juga membawa seekor kucing dan mengenalkan padanya jika bernama 'Brownie'.

"Ini Mocca. Yang dulu itu namanya Brownie. Bulunya berwarna cokelat susu, kalau yang ini warna cokelat mocca."

Randa tertawa pelan, ia kembali mengusap kepala Mocca. Lalu tersadar jika mereka berdiri di depan pintu. "Em sorry. Ayo masuk!"

"Eh enggak usah. Saya mau keluar kok. Selamat nikmati kue pie-nya. Dadah Randa!" Farzan kembali menggerakkan salah satu kaki Mocca seakan melambaikan tangan ke arah Randa.

Randa balas melambai. Menatap kepergian Farzan dan Mocca.

Tangannya tiba-tiba terulur ke arau perutnya. "Mau punya kucing juga, Nak? Nanti kita tanya Papa ya?"

Masuk ke dalam unitnya. Lalu menghela nafas pelan. Kembali mengingat jika ia dan Sabian sedang perang dingin.

.

.

.

.

.

Walaupun pendek yang penting up yaa hihi🤭

13 July 2021

Love Makes Hurt [S2-S3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang