Sabian melirik Randa yang rebahan di atas ranjang dengan posisi miring membelakangi dirinya yang sedang mengambil baju dari lemari.
Lalu memakai baju tersebut serta celana. Mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Menyampirkan handuk tersebut ke tempatnya karena kalau tidak, Randa nanti mengomel dan ia malas mendengar omelan Randa.
Tapi, sejak dari rumah ibunya, Randa menjadi pendiam, lebih banyak melamun.
"Kan aku udah bilang, kamu gak usah pergi ke sana. Ngeyel sih," ujar Sabian seraya duduk di sofa yang ada di kamar tersebut. Meraih ponselnya. Fokus pada benda tersebut.
"Semuanya gara-gara kamu..." Suara Randa yang terdengar parau membuat Sabian mengernyit heran, kembali menatap istrinya tersebut.
"Gara-gara aku kenapa?"
"Gara-gara kamu hidupku kayak gini! Kalau aja... kalau aja aku gak ngasih kamu nomor hapeku waktu di toko buku itu. Kalau aja aku gak minta tolong ke kamu waktu itu..."
"Astaga Mira!" Sabian menatap frustasi Randa yang masih di posisinya.
"Aku gak kenal kamu. Gak kenal teman-teman kamu! Hidupku gak akan sehancur ini!" seru Randa tertahan suaranya serak karena menahan air matanya agar tak keluar.
"Kamu kenapa ngomong gitu..." Perkataan Sabian berhenti karena Randa melemparnya bantal. Untung saja bukan lampu tidur yang menghantam wajahnya.
Istrinya itu telah duduk, menatapnya dengan pandangan tajam. Mata memerah dan berkaca-kaca.
Sabian menghela nafas kasar. Membuang pandangannya sejenak lalu kembali menatap Randa. "Iya! Semuanya salahku! Salahin aja aku terus!"
Segera Sabian berdiri, meraih dompet serta kunci mobilnya. "Lama-lama aku muak tau kalau sikapmu seperti ini terus!" ujarnya sebelum keluar dari kamar meninggalkan Randa yang terpekur.
Tidak berapa lama kamar yang hening itu diisi oleh suara tangis Randa.
Tangis yang begitu memilukan...
*****
Sejak Sabian melarangnya ke klinik tempatnya biasa memeriksa kandungan, Randa pun malas memeriksakan kandungannya akhir-akhir ini. Apalagi Sabian yang selalu tidak bisa mengantarnya.
Padahal Randa juga ingin seperti ibu hamil lainnya. Ditemani suaminya untuk memeriksa kandungan.
Sejak pulang dari kampung ibunya dan ia bertengkar dengan Sabian, suaminya itu seakan tidak peduli padanya. Untung saja memberinya uang untuk memenuhi kebutuhan dirinya serta anaknya.
Jadi, Randa sendirian yang pergi membeli perlengkapan bayi. Memilih warna merah muda karena anaknya berjenis kelamin perempuan.
Hanya pakaian, sarung tangan dan kaki, serta selimut yang Randa beli. Menenteng tas belanjaannya tersebut seraya keluar dari sana. Menunggu taksi jemputannya. Mengusap perutnya yang membesar.
Apakah Randa harus ke dokter?
Apalagi bulan ini, sudah bulan kesembilan kandungannya?
Besok saja. Randa akan memaksa Sabian menemaninya. Meski suaminya itu tidak mengacuhkannya.
Karena merasa lapar, jadi ia singgah ke tempat makan. Menikmati sup ayam di tengah-tengah hujan yang sangat lebat.
Tatapan Randa fokus pada air hujan yang lebat itu.
Mungkin nantinya jika anaknya lahir, ia bisa merasakan kebahagiaan lagi. Seperti halnya yang pernah ia rasakan dulu saat melahirkan Arga.
"Adeknya Arga bakal lahir. Tapi Bunda gak tau kapan. Mungkin besok Bunda baru tau," ujar Randa seraya menatap layar ponselnya. Menampilkan potret Arga yang tersenyum lebar. "Adeknya Arga perempuan. Nanti jagain ya, Nak?"
Randa mengusap kedua sudut matanya.
Mungkin karena kepedasan, makanya ia ingin menangis.
Menunggu hujan berhenti, hingga ia hampir malam di tempat tersebut. Barulah ia pulang.
Tiba di apartemen, ia melihat sebuah sepatu wanita.
Langkahnya memelan menuju kamarnya dan berhenti tepat di depan pintu. Mendengar suara desahan dan erangan beradu.
Randa menghela nafas kasar, ia beralih duduk di sofa depan televisi. Sama sekali tidak menyalakan lampu. Tatapannya kosong tertuju pada pintu balkon yang terbuka sehingga angin yang berhembus menggerakkan tirai yang tersampir di kanan.
Suara gelak tawa wanita terdengar, pun suara Sabian juga terdengar.
Randa menyeka air matanya dengan kasar. Ia menaruh kedua telapak tangannya di perutnya. Seakan melarang si bayi mendengar suara menjijikkan tersebut.
Entah berapa lama Randa duduk diam di sana hingga suara wanita menjerit dan suara pecahan kaca terdengar.
"Kenapa?" Sabian keluar dari kamar menyusul Audi yang menjatuhkan gelas usai menyalakan lampu ruang tengah.
Sabian terkejut bukan main saat melihat Randa. Ia pikir Randa masih lama di luar, apalagi hujan.
"Mi-mira..." Sabian perlahan mendekat ke arah Randa yang tatapannya masih tertuju pada balkon. "Mira..."
Randa menoleh membuat langkah Sabian berhenti. "Aku gak nyangka kamu masih aja kayak dulu." Suara Randa pelan, tapi begitu datar sera tatapannya datar.
Tertuju pada Sabian yang pucat pasi.
"Sampai-sampai sebut pelacur itu dengan namaku!" Suara Randa mulai mengeras, kini beralih menatap tajam Audi yang menunduk di tempatnya berdiri.
Randa menghela nafas pelan, lalu tertawa seraya mengusap kedua sudut matanya yang berair. "Aku gak tau, apa yang harus aku lakuin biar kamu berubah! Aku ninggalin anakku demi kamu!! Tapi kamu malah seperti ini, sialan!!!" Bersamaan dengan asbak yang berada di atas meja melayang ke kepala Sabian membuat pria itu mengaduh sakit seraya memegang kepalanya.
Audi terkejut, hendak menghampiri Sabian, tapi Randa menatapnya tajam. "Diam di tempat lo pelacur!!!"
Suara Randa menggelegar hingga terdengar parau. Ia kembali menatap Sabian yang meringis sakit seraya memegang kepalanya.
"Lo bawa pelacur lo ke sini! Main di kamar gue! Di atas kasur gue, anjing banget lo, Sabian setan!!!" Randa kalap mulai memukul Sabian.
Seperti di masa lalu, jika Randa mengamuk, maka Sabian akan diam saja karena menyadari dirinya salah. Bahkan saat Randa beralih pada Audi. Menarik rambut wanita itu bahkan menampar wajahnya beberapa kali, tidak lupa mendorongnya ke dinding. Meski Audi menjerit sakit dan meminta tolong, Sabian hanya diam di tempatnya.
"Lo udah tau dia udah punya istri! Tapi tetep aja lo kegatelan pelacur sialan!!" Nafas Randa tersengal karena berteriak, ia menatap tajam Sabian. Lalu tergelak sinis. "Ah kalian sama aja. Sama-sama gatel!! Anjing semua!!"
Randa kembali menghajar Audi tidak mengacuhkan kedua kakinya yang terluka karena pecahan gelas di lantai.
Karena Audi merasakan sakit luar biasa di pipinya akibat tamparan Randa ia mendorong wanita itu hingga Randa jatuh terduduk.
Barulah Sabian bergerak mendekat ke arah Randa. Menatap cemas istrinya yang mengerang sakit seraya memegang perutnya.
"Anjing lo Di!! Lo mau bunuh istri gue!!" Bentak Sabian pada Audi yang memegang pipinya dan menangis sesenggukan.
"En-enggak," ujarnya pelan. Takut dengan Randa, begitupun Sabian.
Sabian melihat darah yang mengalir di paha Randa pun jeritan kesakitan Randa mulai terdengar.
"Ambil kunci mobil gue!" Suruh Sabian pada Audi, ia segera menggendong Randa. Membawa istrinya ke rumah sakit.
.
.
.
.
.
28 July 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Makes Hurt [S2-S3]
Ficção Geral》Sequel Love Makes Hurt《 • • • Pernikahan yang Randa jalani bersama Dera rasanya sangat semu. Mereka memang menjadi orang tua yang baik untuk putra mereka. Arga. Namun, untuk menjadi sepasang suami istri, mereka belum melakukan yang terbaik. Hing...