Suara mesin mobil terdengar. Seseorang yang berada di dalam rumah segera keluar. Menyambut suaminya dengan senyuman dengan wajahnya yang pucat.
Suaminya turun dari mobil, menyuruhnya untuk mengambil tas dan jas putihnya. Segera ia melakukan titah suaminya lalu mengekor.
"Mas, kamu mau makan apa?" tanya Richel pada Gibran yang kini duduk di sofa ruang tengah.
"Kamu belum masak?" tanya Gibran dengan raut kesal. Jejak lelah sangat kentara di wajahnya.
"Em... itu..." Richel meringis pelan. Harusnya ia memasak sebelum Gibran pulang. Tapi, karena seharian ini ia merasa lemas membuatnya lupa akan hal itu.
Dengan raut kesal Gibran menatap ponselnya. Memesan makanan. Ia melirik Richel yang berdiri di dekatnya dengan ekspresi bersalah. Lalu tatapannya tertuju pada perut Richel yang telah menyembul keluar.
Menghela nafas kasar, ia bertanya pada Richel, tanpa menatap wanita itu. "Kamu mau makan apa?"
"Aku... gak bisa makan."
"Seharian ini kamu gak makan?!" tanya Gibran tajam, kini menatap Richel yang menunduk.
"Aku gak bisa Mas," ujar Richel pelan.
"Ya kamu harus makan!" Suara Gibran meninggi membuat Richel tersentak, Gibran memesan makanan untuk Richel. Lalu berdiri kembali menatap tajam Richel. "Atau emang kamu berniat bunuh anak itu makanya gak mau makan?"
Setelahnya pergi meninggalkan Richel yang termangu.
Richel mengusap air matanya yang terjatuh, ia mengusap perutnya. Meminta maaf pada anaknya tersebut.
Gibran berubah dingin padanya dan sering bersikap sinis setelah ia hamil.
Bukannya Richel tidak ingin memiliki anak dengan Gibran. Richel hanya belum siap. Karena hubungan mereka dengan keluarga belum baik. Meski telah dua tahun menikah, tidak ada perubahan. Papa Gibran tetap saja membenci mereka setelah keputusan Gibran yang menikahi dirinya.
Apalagi sekarang ia hamil, mungkin saja keluarga Gibran semakin tidak merestui hubungan mereka.
Sejak ia mengutarakan ketidaksiapan memiliki anak membuat Gibran salah paham, mengira dirinya tidak ingin memiliki anak dengan suaminya tersebut, padahal bukan seperti itu.
*****
Randa menggigit bibir bawahnya. Rasa cemas menghantuinya saat ini karena sudah dua hari Sabian tidak pulang.
Kini hati dan otaknya berperang. Saling melarang. Hatinya menyuruhnya agar ia menurunkan gengsi. Menghubungi Sabian lebih dulu. Siapa tau saja Sabian mengalami hal yang tidak diinginkan. Sedangkan otaknya melarang keras melakukan hal tersebut. Tetap berpikiran positif jika Sabian mungkin saja sibuk mengurus pekerjaan.
Segera menurunkan egonya, ia menghubungi Sabian. Pada dering kelima barulah pria itu menjawab.
Keningnya mengernyit saat mendengar suara musik yang kencang serta suara wanita yang mengangkat teleponnya.
"Sabian mana?!" tanya Randa tajam.
"Ya? Halo?!" Di seberang sana wanita itu berteriak.
"Sabian mana sialan?!!!" Teriak Randa murka. Menduga jika wanita itu tersentak lalu memberitahunya tentang keberadaan Sabian.
Segera ia meraih kardigan rajut untuk menutupi badannya. Keluar dari apartemen. Menggunakan taksi menuju tempat Sabian berada.
Di saat ia sedang cemas karena takut hal yang tidak diinginkan terjadi pada Sabian, tapi suaminya itu malah bersenang-senang.
Randa meremas tangannya satu sama lain. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu untuk meredam amarahnya.
"Em Mbak Mira!!" Langkah Randa berhenti saat masuk ke area tersebut. Ia menoleh ke arah sosok wanita yang melambai padanya. Wanita itu sedang mempapah Sabian yang sepertinya mabuk berat.
Randa menghampiri mereka. Membantu wanita itu memapah Sabian menuju ke mobil pria itu. Memasukkannya ke kursi belakang.
"Lo siapa?!" tanya Randa tajam pada wanita itu.
"Em... gue Asistennya Bang Sabi, Mbak. Gue Audi." Audi mengulurkan tangannya, tapi Randa tidak mengindahkannya membuatnya tersenyum kikuk.
Randa masuk ke balik kemudi meninggalkan Audi yang melongo. Ditinggalkan begitu saja.
Tiba di basement apartemen, Randa menghela nafas kasar, ia menoleh ke belakang Sabian yang mendengkur halus.
Segera keluar dari mobil lalu membuka pintu belakang. Berusaha membangunkan Sabian yang menepis tangannya lalu meringkuk kasar.
"Gue ngantuk Di, sialan!" Sentak Sabian mengira Audi yang membangunkannya.
"Aku Mira!" Randa menarik tangan Sabian bahkan mencubit lengan Sabian membuat suaminya itu terpekik sakit.
"Audi!" bentak Sabian seraya membuka matanya yang terasa sangat berat. Kepalanya terasa ikut berat.
"Ayo bangun! Aku Mira bukan Audi!" Sentak Randa kembali menarik tangan Sabian. Tapi dengan cepat melepas tangan Sabian saat mencium aroma menyengat. Alkohol.
Rasanya Randa ingin mual. Dengan kesal ia menutup pintu mobil tersebut. Meninggalkan Sabian. Biar saja Sabian tidur di mobil.
*****
Wajah Sabian ditekuk, akibat tidur di mobil. Menjadi santapan nyamuk dan punggungnya terasa sakit. Lalu bangun muntah akibat minuman semalam. Masuk ke apartemen, disambut dengan sikap dingin Randa.
Memilih mandi lebih dulu lalu kembali tidur. Membuat ranjang yang telah dirapikan Randa kembali berantakan.
"Kamu mau makan apa, Bi?"
Kedua mata Sabian terbuka, ia menoleh menatap Randa yang berada di ambang pintu.
Rasa kesalnya seketika tergantikan dengan rasa senang. Akhirnya Randa tidak mendiamkannya.
Segera ia bangun, berujar pada istrinya itu makanan apa saja yang penting Randa yang masak. Mengekor, mengikuti Randa yang ke dapur.
"Aku baru tau kamu punya asisten."
Sabian yang meneguk air hampir saja tersedak.
"Oh itu... iya. Karena akhir-akhir ini kerjaanku banyak jadinya aku pake asisten biar bantuin aku atau gantiin aku kalau aku gak bisa meeting dengan klien." Sabian tersenyum tipis saat Randa menatapnya lalu Randa kembali fokus menumis bumbu masakan.
Sabian menghembuskan nafas lega. Lalu kembali menegang saat mendengar perkataan Randa.
"Selain bantuin kerjaan kamu, dia juga nemenin kamu ke club ya?"
Sabian meneguk ludahnya susah payah. Berdoa saja agar panci yang dipegang Randa tidak melayang ke wajahnya.
"Oh iya. Hari ini jadwal kamu check up, kan?" tanya Sabian. Untung saja tadi ia melihat kalender yang dilingkari. Karena sejak Randa hamil, memang wanita itu akan melingkari tanggal agar tidak lupa dengan jadwal check up.
"Iya. Kenapa?" Randa menoleh membalas tatapannya.
"Ya, aku mau nemenin kamu, Yang." Sabian tersenyum lebar.
"Bukannya kamu gak suka aku hamil? Lagian udah dua kali aku kontrol, tapi kamu gak nemenin aku kan?" Senyum Sabian luntur. Hanya sekali Sabian menemaniya ke Dokter Kandungan. Saat awal ia memeriksa kehamilan. Itupun karena ia memaksa.
Dan karena beberapa minggu ini mereka saling mendiamkan membuatnya seorang diri ke dokter.
.
.
.
.
.
14 July 2021
![](https://img.wattpad.com/cover/263665682-288-k297871.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Makes Hurt [S2-S3]
Fiksi Umum》Sequel Love Makes Hurt《 • • • Pernikahan yang Randa jalani bersama Dera rasanya sangat semu. Mereka memang menjadi orang tua yang baik untuk putra mereka. Arga. Namun, untuk menjadi sepasang suami istri, mereka belum melakukan yang terbaik. Hing...