Marni merasakan ada sesuatu yang salah sedang terjadi di rumahnya. Mahluk-mahluk gaib menumpuk terlalu padat. Lapisan tipis tubuh mereka memang tak membuat ruangan ini sesak selayaknya keberadaan manusia. Bagi sosok-sosok asing ini, waktu dan ruang bukanlah sesuatu yang membuat mereka terganggu. Bagian konsep keterbatasan itu tak mereka kenal. Tapi Marni merasakan udara menjadi semarak oleh panas. Oksigen menjadi pipih, membuat Marni merasakan paru-parunya kesulitan mendapatkan udara.
"Bangsat, apa ini?" tuturnya.
Pikiran Marni mendadak terbang kepada beragam kemungkinan yang ia benci. Ia tak menyukai ketidaksempurnaan keadaan ini, anomali atau glitch dalam sebuah sistem. Perasaan tak tenang dan menduga-duga membuatnya begitu kesal serasa menggelembung gembung ingin meledak.
Chandranaya sang kuntilanak merah masih mengambang di atas tulisan darah japa-mantra yang dibuat dukun muda itu.
"Kemana anak-anak itu? Harusnya mereka sudah menyelesaikan tugas mereka dan kembali ke sini. Aku harap mereka tak ragu melaksanakan perintah bila tidak aku sendiri yang memotong kelamin mereka dan memberi makan ke anjing-anjing desa sebelah," ujarnya geram pada diri sendiri.
Marni memandang dengan mata batinnya. Hantu-hantu tanpa anggota badan yang lengkap berjalan terseok-seok, mengesot, merangkak, melata, melompat, meloncat, dan berjalan pincang.
Mendadak kedua matanya bersirobok dengan mata sang kuntilanak merah mengambang yang memerah darah.
Marni tersentak mundur terkejut setengah mati dan mengutuk. Entah mengapa ia begitu terkejut dengan pandangan mata mati hantu perempuan ini. Padahal, bukan masalah baginya bertemu dan menghadapi hantu jenis apapun. Pada sang kuntilanak merah inipun awalnya ia sama sekali tak merasa takut atau gentar, selain berpura-pura di depan dukun muda bernama Soemantri Soekrasana tersebut. Namun kali ini perutnya terasa aneh, serasa jantungnya jatuh ke lambung. Apalagi kemudian Chandranaya terkikik mengerikan nan meresahkan. Darah menggumpal keluar dari mulutnya, mengalir bagai lahar kesedihan dan kesengsaraan.
Marni semakin mencium ketidakberesan. Lidahnya saja kelu ketika hendak membentak sang hantu seperti yang biasa ia lakukan. Akibatnya bukannya memaksa berani dengan membentak sang sosok astral itu, Marni berbalik arah dan pergi keluar, menuju ke gudang belakang rumahnya. Ia sangat berharap Soemantri Soekrasana yang telah berhasil ia dan suaminya sekap telah mampus dibunuh dua pemuda budak nafsu berahi yang diperintahkan untuk menghabisinya.
***
Soemantri Soekrasana berlari secepat mungkin menembus pepohonan, melompati parit kecil dan tegalan untuk mengikuti dua sosok tuyul yang berkejaran lincah sehingga saking cepatnya terlihat tak menyentuh tanah.
Kedua sosok dengan tubuh serupa anak-anak namun dengan kepala dan mata besar melebihi porsinya itu memberitahukan keberadaan Girinata kepada Soemantri Soekrasana.
"... Sir eling jatining urip, iua ingsun sejatining urip, ..., Sang ireng jeneng muksa pangreksan, sang ening menenng jati rasane, lakune ora katon, pangrasane manusia," gumam Soemantri Soekrasana. Mantra-mantra terus bermunculan melewati bibirnya dengan tujuan untuk tidak sekadar menguasai kedua sosok tuyul berbadan serupa bayi berumur dua tahunan itu, namun juga untuk melukis semacam peta gaib dan daftar data kehadiran para mahluk supranatural di dusun ini, terutama setelah gerbang gaib telah bobol.
Ketika Soemantri Soekrasana hampir kehilangan dua tuyul tengil itu, ia kembali secepatnya merapal sebuah mantra lain, "Menjangan gendhongen aku kidang kencono pelayokno ingsun, cang palancang malem," sebuah ilmu meringankan tubuh bernama Lepas Lumumpat. Soemantri Soekrasana merasakan tubuhnya kini menjadi seringan kapas namun dapat bergerak secepat seekor menjagangan. Kedua tungkai kakinya bekerja secara otomatis tanpa terasa begitu berusaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...