Bhanurasmi melesat masuk ke rumahnya melalui pintu yang terbuka lebar dengan paksa. Pintu itu masih bisa tertutup walau memerlukan perbaikan karena tak bisa terkunci lagi.
Anarghya Widagda duduk telanjang bulat di tepian tempat tidur. Kejantanannya tertunduk begitu lesu, sama seperti perasaan hatinya saat ini.
Ia menengadahkan kepalanya melihat kehadiran Bhanurasmi.
"Kau tak apa, Widagda? Siapa yang menerobos masuk ke rumahku?" tanya Bhanurasmi terlihat bingung dan khawatir.
"Ada apa denganku sebenarnya, Bhanurasmi? Apa aku sudah gila? Aku tadi tak bisa melihat diriku sendiri di depan cermin. Juga tidak para pemuda yang mendobrak pintu rumahmu dan masuk seenaknya itu," tukas Anarghya Widagda lesu.
Bhanurasmi menghela nafas lega dan mendeprok di lantai. Ia terkekeh dan mendengus begitu keras sampai Anarghya Widagda memandangnya dengan heran? "Kau pikir ini lucu, Bhanurasmi. Benar bukan bahwa aku sebenarnya sudah gila?" ujar Anarghya Widagda ketus. Laki-laki muda itu memandang ke arah Bhanurasmi tidak percaya dengan perilakunya.
"Kau mengaku telah membunuh seseorang, Widagda. Kulihat kau tak segila itu. Tapi tak melihat bayanganmu di cermin, kau jadi panik seperti itu," ujar Bhanurasmi sedikit geli.
Anarghya Widagda semakin merasa kesal dibuatnya. Seakan kejadian ini sejenaka yang janda itu pikirkan. "Refleksi namanya, Bhanurasmi, bukan bayangan. Dan ya, siapa yang tidak panik karena tak bisa melihat refleksi dirinya sendiri dari pantulan kaca? Untuk sejenak tadi aku menghilang, tak terlihat, mungkin tembus pandang! Orang-orang kasar yang mendobrak pintu rumahmu tadi juga tak dapat melihatku. Padahal aku telanjang bulat berdiri di depan mereka dengan tubuh sekaku batang kayu saking takutnya. Jadi, kau masih tak merasa perasaanku ini wajar? Membunuh orang juga sama kacaunya, Rasmi. Aku sesesat akal itukah? Serusak itukah kewarasanku, Rasmi?" ujar Anarghya Widagda emosional dengan suara bergetar. Ia menunduk, menutup kedua matanya dengan lengan kanannya.
Bhanurasmi mencelos, merasakan sisi lemah laki-laki yang bercinta dengannya semalam itu retak dan bahkan jebol. Ia langsung berdiri dan mendekat ke arah Anarghya Widagda.
Sang janda meraih kepala Anarghya Widagda dan menempatkannya di belahan dadanya.
Anarghya Widagda memeluk Bhanurasmi dan menangis. Ia tak paham dengan keadaan ini. Hidup dan jiwanya hancur lebur. Kegilaan nampaknya sudah mengintip di dinding sanubarinya, siap menjemput.
Sekarang, dalam pelariannya, ia sempat mendapatkan sedikit saja kedamaian dalam buaian berahi bersama perempuan yang tak begitu dikenalnya. Rasa nyaman itu langsung terenggut dengan brutal ketika ia mempertanyakan kewarasannya sendiri ketiga gagal melihat refleksi dirinya yang harusnya terpantul di permukaan cermin.
"Maafkan aku, Widagda. Aku tak bermaksud mencela mu sama sekali. Sebaliknya aku lega bajingan-bajingan sok suci yang masuk ke rumah ku tanpa ijin itu tak melihatmu. Ada beberapa hal yang aku ingin ceritakan agar kau tahu. Tapi sebelumnya, ada baiknya kau ceritakan pula masa lalumu. Kita punya banyak waktu," ujar Bhanurasmi. Tangannya mengusap-usap rambut Anarghya Widagda yang wajahnya masih basah oleh air mata menempel di belahan dadanya.
***
Larutan kemerahan pekat itu masih panas. Bau wanginya terbang menyengat syaraf-syaraf penciuman Anarghya Widagda. Daun-daun teh yang hampir masih berbentuk lembaran-lembaran dan sobekan tebal bercampur dengan bunga melati mengendap di dasar cangkir. Ada beberapa bagian, yaitu yang berbentuk batang, mengambang di permukaan. Uap dari cangkir mengepul di udara pagi, menghangatkan.
Laki-laki itu sepagi ini telah duduk di teras di depan sebuah meja bulat kecil dari kayu jati, memandangi larutan teh buatannya sendiri hingga uapnya yang menghangatkan menyapu wajanya. Pelan-pelan, sesekali, ia sruput airnya dengan nikmat. Hangatnya mengaliri kerongkongannya, membasahi rongga dada dan lalu bermuara di perut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancajiwa
Horror#1 horrorindonesia [30 Desember 2021] #1 ceritahoror [30 Maret 2022] Pada dasarnya novel ini terdiri dari beberapa plot atau jalan cerita dengan tokoh utama yang berbeda-beda. Namun kesemuanya tetap terkait oleh satu titik: Dusun Pon dan kelima bend...